Pengantar
Adanya sebuah konstitusi merupakan pemikiran yang telah lama berkembang. Hal ini menghendaki adanya ide terhadap pembatasan kekuasaan pemerintah.
Pembatasan tersebut agar dapat terlaksana dengan baik dan mendapatkan sebuah kepastian maka harus berdasarkan oleh hukum.
Hakikat konstitusi itu sendiri tidak lain adalah pembatasan terhadap kekuasaan pemerintahan di satu pihak dan jaminan terhadap hak-hak warga negara maupun setiap penduduk dipihak lain.
Hak-hak ini mencakup hak-hak dasar seperti hak untuk hidup, mempunyai milik, kesejahteraan (health), dan kebebasan.
Baca juga: Kumpulan Undang-Undang dan Undang-Undang Dasar 1945
Baca juga: PENJELASAN KONSTITUSI (UUD 1945) INDONESIA
Menurut Mc Ilwan, ada dua unsur fundamental dari konstitusi, yaitu batas-batas hukum terhadap kekuasaan yang sewenang-wenang dan pertanggung jawaban politik sepenuhnya dari pemerintah kepada yang diperintah.
Sebuah negara atau sistem pemerintahan apapun harus didirikan berdasarkan hukum, ketika kekuasaan dalam negara dilaksanakan mesti disesuaikan dengan ketentuan dan prosedur hukum.
Struktur lembaga-lembaga pemerintah harus menjamin bahwa kekuasaan yang diberikan dapat dilaksanakan dengan baik guna mencapai tujuan bersama yakni menuju kesejahteraan bersama.
Disini gagasan sebuah konstitusi mengandung arti bahwa penguasa perlu dibatasi kekuasaannya dan karena itu kekuasaannya harus diperinci secara tegas.
Terdapat penekanan bahwa pemegang kekuasaan hanya mempunyai kekuasaan yang sudah dirinci. Tidak ada kekuasaan penguasa di luar kekuasaan yang sudah dirinci.
Dalam kesempatan ini MPR telah mengubah sembilan pasal dalam UUD 1945. Mengingat UUD 1945 hanya terdiri dari 37 pasal, maka perubahan ini dapat dikatakan cukup banyak karena mencakup hampir sperempat bagian.
Meskipun demikian, MPR masih belum merasa cukup sehingga mengeluarkan ketetapan MPR No. IX/MPR/1999 Tentang Penugasan Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia untuk melanjutkan perubahan Undang-undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Bagir Manan terhadap perubahan ini mengatakan telah terdapat beberapa tindakan seperti berikut ini: perubahan terhadap isi (substansi) ketentuan yang sudah ada; penambahan ketentuan yang sudah ada; pengembangan materi muatan yang sudah ada menjadi bab baru; penambahan sama sekali baru; pengahapusan ketentuan yang sudah ada; memasukkan dan memindahkan beberapa isi penjelasan ke dalam Batang tubuh; perubahan struktur UUD 1945 dan menghapus penjelasan sebagai bagian dari UUD 1945.
Amandemen terhadap UUD 1945 memang dimungkinkan untuk dilakukan karena telah diatur dalam pasal 37.
Menurut Sri soemantri didalam pasal 37 mengandung tiga norma, yaitu:
1. bahwa wewenang untuk mengubah Undang-Undang Dasar pada MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara;
2. bahwa untuk mengubah untuk mengubah Undang-undang Dasar kuorum yang harus dipenuhi sekurang-kurangnya adalah 2/3 dari seluruh jumlah anggota MPR; dan
3. bahwa putusan tentang perubahan Undang-Undang Dasar adalah sah apabila disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari anggota MPR yang hadir.
Dalam ketentuan diatas tidak ditemukan ketentuan yang secara sengaja mengatur tentang pembatasan perubahan Undang-undang Dasar.
Maka dari itu untuk menghindari adanya perubahan terhadap kesepakatan luhur bangsa, Fraksi-fraksi MPR RI 1999 sebagaimana terdapat dalam lampiran ketetapan MPR No. IX/MPR/1999 tentang Penugasan Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia untuk melanjutkan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk melanjutkan Perubahan Undang-Undang dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam hal ini Mahfud MD berpendapat keputusan untuk tidak mengubah pembukaan UUD 1945 merupakan keputusan yang tepat, baik secara filosofis maupun secara politis, dalam hidup bernegara bagi bangsa Indonesia.
Secara filosofis, pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya terdapat pancasila merupakan modus vivendi (kesepakatan luhur) bangsa Indonesia untuk hidup bersama dalam ikatan satu bangsa yang majemuk.
Ia juga dapat disebut sebagai tanda kelahiran (akte) karena sebagai modus vivendi didalamnya juga memuat pernyataan kemerdekaan (proklamasi) serta identitas diri dan pijakan melangkah untuk mencapai cita-cita bangsa dan tujuan Negara.
Jika pembukaan diubah maka Indonesia yang ada bukanlah Indonesia yang aktenya dikeluarkan pada tanggal 17 Agustus 1945 melainkan Indonesia yang lain lagi. Secara politik, langkah yang diambil oleh MPR adalah benar adanya. Sebab gerakan reformasi menuntut adanya pembatasan kekuasaan pemerintah agar tidak sewenang-wenang.
Untuk membenahi sistem yang ada diperlukan adanya perubahan terhadap isi dari UUD 1945 tanpa harus mempersoalkan pembukaan karena otoriterisme muncul bukan bersumber dari pembukaan melainkan bersumber dari pasal-pasal UUD tersebut.
Telah banyak perubahan yang terjadi pasca amandemen UUD 1945, diantaranya di bidang hukum, politik dan sebagainya. Lalu apakah implikasi perubahan tersebut terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia?
Baca juga: Amandemen UUD
Tentang Negara Hukum
Pemikiran manusia tentang negara sudah ada dan berkembang sejak dalam kondisi kesejarahan. Secara umum, gambaran negara hukum telah dikemukakan oleh Plato, ketika ia mengenalkan tentang konsep Nomoi.
Perumusan negara yang didasarkan peraturan (hukum) yang baik tidak terlepas dari falsafah dan sosio politik yang melatarbelakanginya terutaman menempatkan setap individu atau setiap warga negara sebagai primus interparesdalam kehidupan bernegara.
Pembatasan kekuasan negara guna untuk melindungi hak-hak setiap individu menempati posisi yang sangat penting. Menurut Lord Acton bahwa manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung menyalahgunakan jabatan atau kekuasaan yang dimilikinya, apalagi kekuasaan yang absolute pasti akan disalahgunakan juga.
Dalam era baru saat ini, unsur-unsur kekuasaan tidak berjalan sebagaimana mestinya sehingga kekuasaan eksekutif berkuasa lebih dominan. Hal tersebut jga bertentangan dengan konsep demokrasi konstituional dan negara hukum yang digunakan oleh bangsa Indonesia bahwasannya pemerintahan demokratis yaitu yang terbatas kekuasaannya dan tidak boleh sewenang-wenang.
Perubahan Undang Undang Dasar Melalui Tafsir Hakim
Menurut KC Wheare, ada tiga cara untuk mengubah undang-undang dasar, yaitu:
(i) formal amandement atau perubahan resmi, (ii) constitutional convention atau konvensi ketatanegaraan; dan (iii) judicial interpretation atau penafsiran pengadilan. Bagi George Jellinek, perubahan konstitusi pada dasarnya dibagi menjadi dua, yaitu; pertama, melalui prosedur formal (verfassungsanderung) dan kedua, melalui caracara informal (verfassungswandlung).
Perubahan formal adalah perubahan yang mekanismenya telah diatur di dalam konstitusi suatu negara sedangkan perubahan diluar ketentuan konstitusi disebut sebagai perubahan informal atau melalui kondisi yang disebut Djokosutono secara onbewust (lambat-laun).
Walaupun dalam perkembangannya perubahan informal juga dapat memiliki kekuatan hukum mengikat seketika itu juga. Dalam bahasa Soehardjo Sastrosoehardjo, verfassungsanderung dimaknai sebagai bentuk perubahan yang sesungguhnya, dimana terjadi perubahan terhadap pokok-pokok pikiran, asas-asas, bentuk negara, sistem pemerintahan dan lainnya.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 Mengubah UUD NRI 1945
Realitas kasus di Indonesia, pernyataan KC Wheare yang mengemukakan bahwa konstitusi dapat berubah secara informal melalui penafsiran hakim, dapat ditemui dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 tentang hasil uji konstitusionalitas produk hukum Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UUP3). Pemohon dalam perkara tersebut ialah DPD secara kelembagaan.
DPD merasa bahwa kewenangan konstitusionalnya dirugikan terhadap berlakunya UUMD3 dan UUP3. Permohonan Pengujian Undang-Undang (PUU) terhadap UUD NRI 1945 yang dilakukan oleh DPD ke Mahkamah Konstitusi terdapat lima pokok persoalan konstitusional yang dimohonkan oleh Pemohon, yaitu:
1) Kewenangan DPD dalam mengusulkan RUU sebagaimana diatur di dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945, yang menurut Pemohon, RUU dari DPD harus diperlakukan setara dengan RUU dari Presiden dan DPR; (Sebelum putusan ini dijatuhkan, RUU dari DPD posisinya disamakan dengan usul RUU dari anggota DPR. Antara RUU dan Usul RUU mempunyai implikasi hukum yang berbeda);
2) Kewenangan DPD ikut membahas RUU yang disebutkan dalam Pasal 22D UUD 1945 bersama DPR dan Presiden;
3) Kewenangan DPD memberi persetujuan atas RUU yang disebutkan dalam Pasal 22D UUD 1945;
4) Keterlibatan DPD dalam penyusunan Prolegnas yang menurut Pemohon sama halnya dengan keterlibatan Presiden dan DPR;
5) Kewenangan DPD memberi pertimbangan terhadap RUU yang disebutkan dalam Pasal 22D UUD 1945.
Usulan Penguatan DPD
Akhir-akhir ini MPR aktif melakukan sosialisasi hasil perubahan UUD 1945 dan sekaligus ’berkampanye’ menggalang dukungan agar dilakukan perubahan kembali UUD 1945, khususnya mengenai keberadaan MPR supaya lebih ditingkatkan lagi menjadi kelembagaan yang permanen.
Karena MPR dalam desain yang sekarang (hasil perubahan UUD 1945) tidak jelas kedudukannya, berkayuh antara sistem dua kamar ataukah tiga kamar.
Demikian pula dengan DPD, belakangan ini juga gencar mencari dukungan untuk penguatan DPD melalui perubahan Pasal 22D UUD 1945.
Parlemen bikameral memang biasanya dihubungkan dengan bentuk negara federasi yang memerlukan dua kamar majelis. Kedua majelis itu perlu diadakan untuk maksud melindungi formula federasi itu sendiri.
Penerapan sistem bikameral itu, dalam prakteknya sangat dipengaruhi oleh tradisi, kebiasaan, dan sejarah ketatanegaraan negara yang bersangkutan.
Seperti halnya negara federasi, negara kesatuan juga bertujuan melindungi wilayah tertentu, melindungi etnik, dan kepentingan-kepentingan khusus dari golongan rakyat tertentu (seperti kelompok kepentingan, golongan minoritas, dan sebagainya) dari suara mayoritas (tirani mayoritas).
Perubahan susunan MPR yang terdiri dari DPR dan DPD, seolah mengarah pada pembentukan sistem dua kamar (bikameral), Tetapi dari susunan yang menyebutkan terdiri dari anggota-anggota DPR dan DPD, tidak tergambar konsep dua kamar.
Dalam susunan dua kamar, bukan anggota yang menjadi unsur, tetapi badan yaitu DPR dan DPD. Seperti Congress Amerika Serikat yang terdiri dari Senate dan House of Representatives. Kalau anggota yang menjadi unsur, maka MPR adalah badan yang berdiri sendiri di luar DPR dan DPD.
Konstitusi tidak menentukan hubungan DPR dengan DPD baik sebagai hubungan antar kamar maupun hubungan “antar kelompok anggota” di bawah naungan MPR. Artinya tidak ada hubungan antar lembaga (atau antar kamar). Dengan demikian, MPR merupakan parlemen unikameral dengan keanggotaan ganda (utusan partai-partai dan utusan daerah-daerah).
Untuk agenda perubahan kelima UUD 1945, perlu ada rencana induk (grand design) sebelum mengamandemen kembali UUD 1945. Disamping itu, perlu dilakukan penataan ulang lembaga legislasi yaitu DPR-DPDPresiden.
Selain melakukan penguatan fungsi legislasi DPD, kekuasaan presiden dalam pembentukan undang-undang harus mulai dibatasi dan dialihkan ke DPD dan DPR, Presiden harus diberi hak tolak atau hak veto.
Ada beberapa skenario pemberdayaan DPD yang diusulkan sejumlah ahli dan politisi. Pertama, dalam bidang legislasi kedudukan DPD tidak perlu sepenuhnya setara atau sama luasnya dengan DPR.
Kedua, kewenangan legislatif DPD cukup terbatas pada bidang-bidang yang sekarang sudah tercantum dalam UUD 1945 dan itu pun tetap bersama dengan DPR.
Ketiga, kewenangan legislasi DPD dirumuskan dengan berbagai cara, seperti di negara-negara lain, mulai dari hak menolak (veto), mengembalikan ke DPR, atau hanya menunda.
Keempat, kewenangan pengawasan DPD memiliki kekuatan hukum sama dengan DPR agar fungsi pengawasan efektif. Untuk menghindari duplikasi dengan DPR, dapat diatur pembagian kewenangan dan tanggungjawab pengawasan antara keduanya.
Demikian pula halnya dengan MPR, meskipun MPR dilengkapi dengan sejumlah kewenangan oleh UUD 1945 (Perubahan) sebagaimana dibahas di atas, tetapi kewenangan tersebut sifatnya insidental.
Kewenangan mengubah UUD, memilih Wakil Presiden dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, memilih Presiden dan Wakil Presiden jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, sifatnya insidentil.
Dengan demikian, MPR yang merupakan forum joint session DPR dan DPD tidak perlu permanen sehingga lebih tepat pimpinan MPR ad hoc saja, tidak perlu sekretariat dan pimpinan yang terpisah.
Kewenangan DPD juga perlu ditambah ‘kualitasnya’ agar aspirasi daerah mendapat tempat yang lebih proporsional, sehingga semangat otonomi daerah yang diamanatkan UUD 1945 dapat segera terwujud dan mendapat pengawalan dari DPD.
Usulan amandemen UUD 1945 yang diusung oleh DPD melalui amandemen ‘terbatas’ pada Pasal 22D, dapat dipandang sebagai usulan yang sangat elitis. Kenapa?
Pertama, dari hasil amandemen UUD 1945 yang telah berlangsung empat kali dari tahun 1999 s/d 2002 menunjukkan bahwa salah satu titik lemahnya terletak pada lembaga yang melakukan amandemen yaitu MPR.
Kalau amandemen masih tetap dilakukan oleh MPR sendiri dan mendesakkan waktu harus pada sisa periode ini (2007 s/d 2009), jangan-jangan kesalahan yang sama akan berulang, apalagi usulan kali ini berkaitan dengan kelembagaan MPR.
Nampaknya diperlukan semacam Komisi Konstitusi yang independen untuk melakukan persiapan dan kajian amandemen.
Kedua, DPD dan MPR mendesak untuk ada penguatan di masing-masing lembaga agar lebih memperjelas kedudukan masing-masing.
Kalau terhadap dua lembaga ini akan dilakukan perubahan, pasti akan berpengaruh terhadap pasal-pasal yang lain. Misalnya, hubungan antara DPD dengan DPR; DPD dengan MPR; DPD dengan Presiden; DPD dengan Daerah. Demikian pula kalau dilakukan perubahan terhadap kelembagaan MPR, juga akan bersinggungan dengan lembaga lain, misalnya hubungan antara MPR dengan Presiden dan Wakil Presiden; MPR dengan DPD; MPR dengan DPD dan DPR. Apakah MPR sudah melakukan kajian yang komprehensif terhadap kompleksitas persoalan tersebut.
Usulan perubahan UUD 1945 yang diajukan oleh DPD nampaknya perlu disinkronkan dengan kelembagaan yang lain supaya penyempurnaan UUD 1945 pasca amandemen 2002 lebih komprehensif, tidak parsial. Dengan demikian, penyelesaian atas persoalan ini. Nampaknya tidak tepat kalau ditempuh dengan sekedar merubah UU tentang Susduk MPR, DPR, DPD dan DPRD.
Usulan yang sifatnya akademis tersebut memang masih memerlukan kajian yang lebih mendalam dan komprehensif. Tetapi penilaian bahwa hasil perubahan UUD 1945 masih memerlukan penyempurnaan nampaknya sebagian besar masyarakat sudah memahaminya.
Untuk itu, sebelum melakukan perubahan (kelima) UUD 1945, sebaiknya disiapkan dahulu grand design agar nampak jelas sistem pemerintahan, sistem perwakilan dan sistem kekuasaan kehakiman (peradilan) yang dianut Indonesia.
Pekerjaan besar ini sebaiknya dikerjakan oleh sebuah lembaga/ badan khusus semacam Komisi Konstitusi yang benar-benar independen, agar tidak terkontaminasi dengan kepentingan politik jangka pendek, apakah dibentuk atas dasar mandat dari MPR, dan hasilnya nanti disahkan oleh MPR, ataukah perlu diatur keberadaannya secara tegas di dalam UUD 1945.
Usulan Amandemen Kekuasaan Kehakiman
Kompleksitas persoalan kelembagaan pengemban kekuasaan kehakiman juga tidak kalah peliknya dan butuh penyelesaian segera.
Beberapa persoalan yang berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman antara lain, pertama, putusan judicial review MK yang membatalkan kewenangan KY untuk mengawasi perilaku hakim, mengecualikan hakim konstitusi dari pengawasan KY, dan menyatakan KY bukan lembaga negara yang secara fungsional setingkat dengan MA dan MK (meskipun dimuat dalam satu Bab Kekuasaan Kehakiman), menarik untuk dikaji kembali secara mendalam tentang desain kekuasaan kehakiman dalam UUD 1945.
Dampak dari pembatalan kewenangan pengawasan dalam UU KY tidak bisa direspon hanya dengan merubah UU KY, tetapi harus dibenahi dari desain konstitusionalnya dalam UUD 1945.
Kewenangan KY untuk mengawasi perilaku hakim ditentukan dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945. Tepatkah putusan MK membatalkan kewenangan itu dan membuat tafsir sendiri bahwa kalau seluruh hakim sudah diseleksi oleh KY maka hakim-hakim inilah yang nantinya akan diawasi oleh KY.
Sedangkan ketentuan didalam Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 menegaskan, sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden diajukan masing-masing tiga orang oleh MA, tiga orang oleh DPR, dan tiga orang oleh Presiden.
Apakah dengan demikian hakim konstitusi terhindar dari pengawasan KY? Siapa yang mengawasi hakim konstitusi?
Ke depan, perlu diatur bahwa seluruh hakim baik hakim agung maupun hakim konstitusi pengusulannya harus dilakukan oleh KY.
Sehingga seluruh hakim akan diawasi oleh pengawas ekternal yaitu KY. Baik MA maupun MK tidak perlu membentuk majelis kehormatan yang bertugas mengawasi perilaku hakim, yang anggotanya diambil dari lingkungan hakim itu sendiri. Hakim seharusnya bertugas menyelenggarakan proses peradilan, sedangkan urusan administratif misalnya pengawasan perilaku hakim, tidak perlu dikerjakan oleh sesama hakim.
Dengan kata lain, tugas mengawasi hakim (hakim agung, hakim konstitusi dan hakim) cukup diserahkan kepada Komisi Yudisial. Hasil pengawasan Komisi Yudisial direkomendasikan kepada Ketua MA maupun Ketua MK untuk ditindaklanjuti.
Dewan Kehormatan di MA maupun Majelis Kehormatan di MK bersifat ad hoc saja, dan mereka ada dan bertindak setelah adanya rekomendasi dari KY. Jadi tidak perlu permanen bentuknya.
Mengapa hakim konstitusi juga perlu diawasi oleh KY? Putusan MK yang menyatakan bahwa hakim MK tidak termasuk yang diawasi oleh KY, sesungguhnya tidak tepat karena hakim konstitusi juga hakim yang perlu diawasi perilakunya oleh lembaga pengawas eksternal supaya tidak terjadi disparitas pengawasan oleh KY terhadap pelaku kekuasaan kehakiman.
Dengan putusan tersebut justru terjadi conflict of interest dalam diri MK. Apalagi putusan MK dalam uji materi UU KY tersebut bersifat ultra petita.
Selain UU KY, putusan MK yang ultra petita misalnya UU KKR, UU KPK (kasus Pengadilan Tipikor) dll. Potensi menyimpang dari MK pun sesungguhnya perlu diawasi, supaya MK tidak tumbuh menjadi super body menggantikan MPR di masa lalu.
Perlu dipikirkan kembali oleh lembaga legislatif berkenaan dengan kewenangan MK dalam pengujian undang-undang. Benarkah MK lembaga penafsir konstitusi? Sejauh mana kewenangan MK dalam menafsirkan konstitusi? Nampaknya juga perlu rambu-rambu yang jelas dan tegas.
Pemberian kewenangan pengujian undang-undang kepada MK tanpa adanya pembatasan tertentu juga berpotensi terjadinya penyelewengan kekuasaan. Terbukti beberapa putusan MK yang ultra petita menimbulkan ‘kekacauan baru’ dalam perspektif yuridis maupun politis.
Moh. Mahfud MD, mengusulkan untuk melakukan hak uji materiil kewenangan MK perlu dibatasi oleh minimal 3 hal sebagai berikut.
Pertama, dalam membuat putusan, MK tidak boleh memuat isi yang bersifat mengatur. MK hanya boleh menyatakan sebuah UU atau sebagian isinya batal karena bertentangan dengan bagian tertentu di dalam UUD. Betapapun MK mempunyai pemikiran yang baik untuk mengatur sebagai alternatif atas UU atau sebagian isi UU yang dibatalkannya, sebab urusan mengatur itu adalah hak lembaga legislatif.
Kedua, MK tidak boleh memutus batal atau tidak batal sebuah UU atau sebagian isi UU yang bersifat terbuka yakni yang oleh UUD diatribusikan (diserahkan pengaturannya) kepada UU. Kalau Mk melakukan itu, berarti ia sudah masuk ke ranah legislatif yang tidak boleh dilakukannya.
Ketiga, MK tidak boleh memutus hal-hal yang tidak diminta (ultra petita). Betapa pun MK melihat ada sesuatu yang penting dalam sebuah permintaan dan dianggap penting untuk diminta, maka jika hal itu tidak diminta untuk diuji, MK tidak boleh melakukan itu.
Kalau hal itu dilakukan, maka selain melanggar prinsip bahwa MK hanya boleh memutus hal yang secara jelas diminta, MK juga melanggar asas umum di dalam hkum bahwa setiap permintaan pemeriksaan harus diuraikan dalam ‘posita’ yang jelas yang juga dimuat dalam Peraturan MK sendiri.
Gagasan amandemen UUD 1945 yang meniadakan penjenjangan kelembagaan negara dan beralih kepada sistem pemisahan kekuasaan (horizontal) dimaksudkan supaya ada keseimbangan dan saling mengawasi diantara lembaga negara.
Kalau prinsip checks and balances tidak lagi dihormati oleh masing-masing lembaga negara untuk apa kita memilih sistem itu ke dalam ketatanegaraan kita.
MPR perlu mengkaji ulang kewenangan pengujian UU oleh MK, apakah MK akan diberi kewenangan judicial review (JR), judicial preview (JP), ataukah kedua-duanya.
Ketiga, kemajemukan lembaga peradilan khusus harus jelas desainnya dalam bingkai kekuasaan kehakiman. Ketika UU No. 4 Tahun 2004 telah membuat kebijakan (politik) satu atap, ternyata beberapa peradilan khusus mulai dibentuk, seperti peradilan perikanan, peradilan agraria, peradilan pajak, peradilan perindustrian, dan peradilan profesi kedokteran, peradilan tipikor, peradilan HAM, dll.
Anehnya, berkembang biaknya peradilan khusus tersebut sama sekali tidak melibatkan Mahkamah Agung. Kemana peradilan khusus itu akan bermuara atau akan ditangani sendiri oleh instansi yang bersangkutan, tidak ada kejelasan.
Keempat, nampaknya perlu dipikirkan pula dalam agenda perubahan (kelima) UUD 1945 mengenai pengaduan konstitusional (constitutional complaints) menjadi salah satu tambahan kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Karena UUD 1945 belum mengatur siapa yang berwenang menangani serta mengadili kasus pengaduan konstitusional oleh perorangan dengan alasan bahwa hak-hak asasinya selaku warga negara atau salah satu hak asasinya yang termaktub dalam konstitusi telah dilanggar oleh pejabat publik.
Dari beberapa persoalan kelembagaan di bidang kehakiman tersebut, revisi UU KY, UU MA maupun UU MK bukanlah jalan keluar yang tepat untuk mengatasi carut marutnya penegakan hukum di Indonesia. UUD 1945 harus memetakan secara tepat dan cermat desain kekuasaan kehakiman Indonesia.