PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia
Dialog  

Apakah Dalam Hukum Adat, Hak Atas Tanah dan Hak Atas Rumah Berbeda?

Apakah Dalam Hukum Adat, Hak Atas Tanah dan Hak Atas Rumah Berbeda?

Daftar Isi

Pertanyaan

Min aku belajar hukum adat nih, kalo hukum atas tanah sama hak atas rumah itu beda yaa?

Jawaban

Menjawab pertanyaan sobat, hukum atas tanah dan hak atas rumah adalah dua hal yang berbeda. Alangkah baiknya penulis akan menjelaskan secara terpisah antara Hukum atas tanah dan Hak atas rumah.

Hak atas tanah

Hukum atas tanah dalam konteks hukum dikenal dengan Hak atas tanah. Hak-hak atas tanah adalah salah satu hak-hak perseorangan atas tanahnya. Dalam peraturan perundang-undangan di bidang pertahanan, ada 4 cara terjadinya hak atas tanah, yaitu:

Baca juga: Asas Primum Remedium dan Ultimum Remedium dalam Hukum Pidana

  1. Hak atas tanah terjadi karena Hukum Adat

Seperti yang ditanyakan sobat, hak atas tanah dalam hukum adat, hak kepemilikan tanahnya dapat terjadi melalui pembukaan lidah (Aanslibbing). Pembukaan lidah yang dimaksud adalah pembukaan hutan yang dipimpin oleh kepala desa/adat bersama dengan penduduk desa tersebut. Kemudian tanah tersebut dibagikan oleh kepala adat/desa kepada masyarakat untuk digunakan sebagai lahan tani atau bercocok tanah kepada masyarakat hukum adat.

Bukan hanya itu, hak atas tanah adat yang ada di suku Indonesia terbagi menjadi dua yaitu hak ulayat dan hak pakai. Hak ulayat adalah hak perseorangan mengumpulkan hasil hutan dan hak untuk berburu. Sedangkan hak pakai adalah memperbolehkan seseorang untuk menggunakan sebidang tanah untuk kepentingan biasanya terjadi untuk tanah persawahan dan ladang yang dibukakan dan diusahakan untuk masyarakat desa/adat setempat.

Dalam tulisan Van Dijk hak-hak atas tanah menurut adat terbagi menjadi 3, yaitu hak memungut hasil tanah, hak perorangan dan hak persekutuan.

  1. Hak Atas Tanah Terjadi Karena Penetapan Pemerintah

Hak atas tanah disini adalah kekuasaan hak atas tanahnya dikuasai langsung oleh negara. Berdasakan pasal 1 ayat (8) Peraturan Menteri Negara Agraria/ kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 tahun 1999, bahwa yang dimaksud dengan Pemberian hak-hak atas tanah adalah bahwa pemerintah berdasarkan penetapannya memberikan hak atas tanah negara, perpanjanagan hak, pembaharuan hak, perubahan hak, meliputi pemberian hak diatas hak pengelolaan. Dapat terjadinya pemberian hak atas tanah negara dilakukan melalui permohonan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Koa dengan syarat-syarat yang telah diatu dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  1. Hak Atas Tanah Terjadi Karena Ketentuan Undang-Undang

Hak atas tanah ini disebabkan karena undang-undang. Diatur dalam ketentuan Konversi pada Undang-undang Nomor 5 tahun 1966 tentang Undang-undang Pokok Agraria. Jadi semua hak atas tanah sebelumnya diubah menjadi hak atas tanah yang diatur dalam UUPA tersebut. Sebagaimana konversi yang dimaksud dalam pasal 16 UUPA, menyatakan bahwa terdapat hak-hak atas tanah antara lain sebagai berikut: “hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan.”

  1. Hak Atas Tanah Terjadi Karena Pemberian Hak

Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai dapat berdiri diatas hak milik. Untuk mewujudkan terjadinya hak pakai dan hak guna bangunan perlu dibuatkan dengan akta PPAT yaitu akta pemberian hak guna bangunan atau hak pakai diatas tanah hak milik. Yang kemudian akta ini didaftarkan di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota untuk dicatat dalam buku tanah.

Baca juga: Hukum Acara Perdata Menurut Para Ahli

Legalitas Hak Guna Bangunan (HGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM)

Menjawab dari pertanyaan sobat mengenai hak atas rumah, untuk membeli rumah atau bangunan sebaiknya sobat harus memahami perbedaan Sertifikat Hak Milik (SHM) dan Hak Guna Bangunan (HGB). Perbedaan SHM dan HGB utamanya terlihat ada pada kekuatan legalitasnya, di mana SHM memilliki status yang lebih tinggi.

  • Mengenal SHM

Sertifikat Hak Milik (SHM) atau hak milik adalah hak tertinggi dan terkuat atas kepemilikan tanah, karena tidak ada campur tangan pihak lain dalam kepemilikannya. Karena sifatnya turun-temurun, tetap dan berlaku seumur hidup, bangunan dengan SHM lebih mudah dipindahtangankan, diperjualbelikan atau sebagai warisan. Selain itu karena kepemilikannya tidak ada campur tangan orang lain, SHM akan memiliki nilai lebih untuk investasi jangka panjang.

Baca juga: Bjorka dan Urgensi Pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP)

  • Mengenal HGB

Hak Guna Bangunan adalah kewenangan yag diberikan oleh pemerintah atau suatu hak yang didapatkan untuk menggunakan lahan yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu 30 tahun dan dapat diperpanjang maksimum 20 tahun. Artinya, pemilik sertifikat HGB hanya diberi kekuasaan untuk memberdayakan lahan baik untuk mendirikan bangunan ataupun keperluan lain dalam jangka waktu tertentu. Dalam kepemilikannya HGB berisiko menjadi Beban hak Tanggungan dan tidak disarankan untuk investasi jangka pendek dan menengah.

Sumber:

  • Undang-undang Nomor 5 tahun 1966 tentang Undang-undang Pokok Agraria
  • Pasal 16 Undang-undang Pokok Agraria
  • Pasal 1 ayat (8) Peraturan Menteri Negara Agraria/kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 tahun 1999

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *