PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia
Opini  

Bantuan Hukum: Sebuah Panduan Praktis

Bantuan Hukum

Bantuan Hukum

Bantuan hukum diberikan negara kepada warganya sebagai bentuk pemenuhan hak dan perlindungan hukum. Sebagaimana diatur dalam konstitusi Indonesia. Bahwa dasar hukum tertulis yang mengatur mengenai kehidupan bernegara itu adalah konstitusi. Konstitusi menentukan apa yang menjadi tujuan negara, model pemerintahannya, serta berbagai  hak warga negaranya.

Dalam konteks Indonesia, konstitusi adalah UUD 1945 yang mana di pasal 28D ayat (1) nya menentukan bahwa pengakuan, jaminan, perlindungan, dan ada adilnya kepastian hukum pun perlakuan yang setara di hadapan hukum adalah hak semua warga negara. Jadi di sini negara wajib memberikan kepedulian terhadap warga negaranya untuk bisa melakukan kegiatan hukum seperti kegiatan proses hukum yang ada di pengadilan dengan bantuan hukum.

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum mengatur bahwa yang dimaksud dengan bantuan hukum adalah layanan hukum yang diperuntukkan kepada penerima bantuan hukum oleh pemberi bantuan hukum.

Baca juga: Konsultan Hukum: Pengertian dan Tugasnya

Di sini kemudian muncul pertanyaan: Apa tujuan Pemberian Bantuan hukum? Apa saja ruang lingkup pemberian bantuan hukum? Siapa yang berhak untuk menerima bantuan hukum? Siapa yang berwenang memberikan bantuan hukum? Bagaimana caranya mendapatkan bantuan hukum? Berikut adalah ulasannya.

Tujuan dan Ruang Lingkup Bantuan Hukum

Pasal 3 huruf a, b, c, dan d dari UU Bantuan Hukum sendiri menyatakan bahwa tujuan dari dilakukannya pemberian bantuan hukum itu supaya dapat terealisasi hal-hal berikut:

  • Akses terhadap keadilan dapat terjamin dan terpenuhi;
  • Adanya prinsip kesamaan di hadapan hukum sebagaimana perintah konstitusi;
  • Adanya jaminan kegiatan bantuan hukum yang bersifat pasti dan merata di semua wilayah Negara Republik Indonesia; dan
  • Adanya unsur-unsur efektif, efisien, dan mampu dipertanggungjawabkan di dalam peradilan.

Poin pertama mengindikasikan bahwa orang yang haknya dirampas bisa dipenuhi kembali dan orang yang telah merugikan pihak yang pertama mesti dihukum sesuai dengan tindakannya.

Poin kedua menyatakan dari mana pun latar belakang seseorang itu berasal, maka ia tetap berhak mendapatkan kesamaan akses saat berproses hukum.

Poin ketiga mengindikasikan bahwa pemberian bantuan hukum wajib bersifat jelas dan tetap serta tersedia di Indonesia secara penuh.

Poin keempat menyatakan bahwa pemberian bantuan hukum wajib berdaya guna dengan mengandalkan usaha minimal dengan hasil maksimal serta pihak-pihak yang terlibat dapat dihadapkan ke pengadilan karena tindakannya yang menyimpangi norma hukum.

PP Nomor 42 Tahun 2013 sendiri mengatur bahwa ruang lingkup bantuan hukum mencakup dua hal: litigasi dan non-litigasi. Pasal 1 angka 8 nya menjelaskan bahwa litigasi adalah tahapan pengurusan kasus hukum di dalam pengadilan, sementara pasal 1 angka 9 nya mengatur bahwa non-litigasi adalah tahapan pengurusan kasus hukum di luar pengadilan.

Penerima dan Pemberi Bantuan Hukum

Pasal 1 angka 2 dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum mengatur bahwa golongan atau seseorang yang datang dari latar belakang miskin memiliki akses untuk menjadi penerima bantuan hukum. Ini sesuai dengan perintah konstitusi UUD 1945 pasal 34 ayat (1) yang mengatur bahwa negara wajib untuk memelihara fakir miskin.

Seseorang yang datang dari latar belakang miskin atau tidak mampu adalah orang yang kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya seperti makanan, minuman, rumah, dan sanitasi yang layak karena pekerjaan atau usaha yang ia lakukan itu sedikit imbal hasilnya atau tak memiliki pekerjaan sama sekali.

Dengan menjadi penerima bantuan hukum, diharapkan fakir miskin dapat menikmati layanan hukum sebagaimana orang lainnya. Ia tetap bisa memperoleh rasa keadilan. Rasa keadilan dalam arti juga orang yang telah merugikannya bisa dihukum setimpal dengan perbuatannya dan korban mendapatkan restitusi atau ganti rugi yang layak. Ini kemudian yang meningkatkan rasa aman dan percaya kepada institusi hukum.

Pasal 1 angka 3 UU Bantuan Hukum sendiri mengatur bahwa lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan dapat menjadi pemberi bantuan hukum.

Syarat supaya pemberian bantuan hukum bisa dilaksanakan menurut pasal 4 huruf a, b, c, d, dan e PP Nomor 42 Tahun 2013 adalah sebagai berikut:

  • Statusnya adalah badan hukum;
  • Memiliki akreditasi;
  • Mempunyai tempat kerja atau sekretariat yang pasti;
  • Mempunyai pengurus; dan
  • Adanya tujuan bantuan hukum.

Penulis menganggap syarat-syarat ini dicantumkan supaya seorang pencari keadilan dapat mendapatkan bantuan hukum yang resmi, berkualitas, dan memiliki kepastian tentang tujuan dan arah kegiatannya. Ini menghindari pencari keadilan atau pemohon bantuan hukum dalam mendapatkan malpraktik akses bantuan hukum.

Tentu saja dalam melakukan kegiatannya, Lembaga Bantuan Hukum atau Organisasi Kemasyarakatan mendelegasikan wewenangnya untuk memberikan bantuan hukum lewat pengacara atau advokat.

Dasar hukumnya terdapat di pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang mengatur bahwa terdapat kewajiban untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu yang dilakukan oleh Advokat.

Baca juga: Jasa Hukum: Pengertian dan Pentingnya

Lalu selanjutnya pada pasal 13 ayat (1) PP Nomor 42 Tahun 2013 nya mengatur yang berperan sebagai pemberi bantuan hukum di dalam jalan litigasi adalah seseorang yang memiliki kedudukan sebagai advokat yang dipilih oleh Pemberi Bantuan Hukum atau seorang advokat yang berkedudukan sebagai Pengurus Pemberi Bantuan Hukum.

Cara Mendapatkan Bantuan Hukum

Supaya bisa mendapatkan bantuan hukum, maka pemohon bantuan hukum wajib untuk mengikuti syarat-syaratnya sebagaimana sudah diatur oleh pasal 14 ayat (1) huruf a, b, dan c UU Bantuan Hukum sebagai berikut:

  • Adanya permohonan dalam bentuk tulisan yang minimal mengandung biodata pemohon dan penjelasan ringkas tentang permasalahan hukumnya;
  • Mengirim dokumen yang berhubungan dengan perkara; dan
  • Adanya surat keterangan miskin di tempat tinggal pemohon yang berasal dari lurah, kepala desa, atau pejabat yang setingkat wajib diikut sertakan di dalam permohonannya.

Kesemuanya ini mesti dikirimkan ke kantor Lembaga Bantuan Hukum atau Organisasi Kemasyarakatan yang memberikan layanan bantuan hukum.

Lalu ayat (2) nya sendiri mengatur bahwa kalau pemohon tidak bisa menyerahkan permohonannya lewat tulisan, maka hal tersebut bisa diekspresikan secara lisan.

Semoga penjelasan penulis dapat membantu pembaca dalam menemukan bantuan hukum.

Referensi

Undang-Undang Dasar 1945.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *