PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia

Evaluasi Dinamik UU Pencucian Uang dalam Restitusi Aset Korupsi: Antara Potensi dan Batasan

Pencucian Uang

Abstrak

Latar belakang evaluasi dinamik undang-undang pencucian uang dalam restitusi aset korupsi di Indonesia semakin mendesak karena kompleksitas fenomena korupsi dan pencucian uang yang terus berkembang. Artikel ini akan mengevaluasi efektivitas Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) dalam konteks restitusi aset korupsi. Fokus penulis adalah pada potensi dan

batasan-batasan yang dihadapi dalam implementasi UU TPPU, serta rekomendasi untuk meningkatkan efisiensinya.

Kata Kunci: UU Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU); Restitusi Aset; Perampasan Aset; PPATK

Pendahuluan

Tindak Pidana Pencucian Uang memiliki hubungan yang sangat kental dengan Tindak Pidana Korupsi. Hasil dari Tindak Pidana Korupsi ini seringkali disembunyikan melalui berbagai cara pencucian uang agar tidak diketahui asal-usulnya dan untuk menghindari deteksi yang dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum (APH). Praktik ini sangat merugikan negara secara finansial dan di sisi lain, praktik ini juga mengancam integritas sistem keuangan dan perekonomian nasional. Oleh karena itu, upaya pemberantasan korupsi tidak bisa dipisahkan dari pemberantasan pencucian uang, terutama dalam konteks pengembalian aset hasil kejahatan.

Latar belakang evaluasi dinamik Undang-Undang Pencucian Uang dalam restitusi aset korupsi di Indonesia menjadi semakin krusial mengingat meningkatnya kompleksitas fenomena korupsi dan pencucian uang yang terus berkembang. Data yang diambil dari Transparency International mengindikasikan bahwa Indonesia pada tahun 2022 duduk di peringkat 102 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perceptions Index) 2022 dan pada tahun 2023, peringkat Indonesia menurun menjadi peringkat 115 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perceptions Index) 2023.

Ini menandakan bahwa dalam 2 tahun terakhir, tingkat kejahatan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia tidaklah membaik dan malah memburuk, yang juga mencerminkan sebuah tantangan besar dalam upaya pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Dalam kasus ini, Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) berperan penting sebagai instrumen hukum untuk menangani dan merestorasi aset hasil tindak pidana korupsi.

UU TPPU memberikan landasan yuridis yang kuat untuk restitusi aset yang didapatkan melalui tindak pidana, terutama Tindak Pidana Korupsi, yang dapat dilakukan tanpa harus menunggu adanya ketukan palu hakim terhadap tindak pidana yang dilakukan sebelumnya. Keadaan ini berpotensi mempercepat proses restitusi aset yang seharusnya kembali ke negara. Namun, meskipun UU TPPU memiliki potensi yang signifikan, terdapat berbagai batasan dan tantangan dalam implementasinya yang perlu dianalisis secara mendalam. Masalah hukum yang akan dibahas dalam esai ini mencakup efektivitas dan potensi UU TPPU dalam konteks restitusi aset korupsi serta batasan-batasan yang dihadapi dalam pelaksanaannya.

Penulis dalam melakukan analisis masalah hukum ini menggunakan metode penelitian berupa pendekatan kualitatif dengan studi kasus serta analisis dokumen hukum terkait. Pendekatan ini memungkinkan penulis untuk memahami dinamika UU TPPU serta tantangan-tantangan yang dihadapi dalam penerapannya. Melalui kajian ini, diharapkan dapat ditemukan gambaran yang lebih jelas mengenai efektivitas UU TPPU dan bagaimana undang-undang tersebut dapat ditingkatkan untuk mencapai tujuan pemberantasan korupsi secara lebih efektif.

Akhir kata, esai ini bertujuan untuk mengevaluasi potensi dan batasan UU TPPU dalam restitusi aset korupsi, serta memberikan rekomendasi bagi perbaikan kebijakan dan praktik hukum di Indonesia. Penulis sangat berharap agar hasil dari tulisan ini dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap pengembangan kebijakan hukum yang lebih baik dan efektif, terutama dalam memberantas korupsi serta mengembalikan aset negara yang hilang akibat tindak pidana tersebut.

Pembahasan

  1. Potensi UU Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Restitusi Aset Korupsi

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, atau UU TPPU, memiliki potensi signifikan dalam konteks restitusi aset hasil dari Tindak Pidana Korupsi. UU TPPU menyediakan landasan yuridis yang kuat dengan pasal-pasal yang ada yang memungkinkan dilakukannya restitusi terhadap aset hasil Tindak Pidana Korupsi. Pasal 2 Ayat (1) UU TPPU menjelaskan, secara garis besar, hasil tindak pidana dalam UU TPPU merupakan hasil dari berbagai tindak pidana, termasuk Tindak Pidana Korupsi. Ini menunjukkan bahwa UU TPPU mengakomodir penyelesaian Tindak Pidana Pencucian Uang yang merupakan hasil dari Tindak Pidana Korupsi.

Langkah awal dari perampasan aset melibatkan tindakan pemberhentian sementara secara penuh atau sebagian suatu transaksi yang diketahui atau dicurigai sebagai hasil dari Tindak Pidana Korupsi. Institusi yang memiliki peran penting dalam tahap awal ini adalah Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

PPATK mempunyai berbagai tanggung jawab dan fungsi yang diatur dalam Pasal 39 dan 40 UU TPPU. Selanjutnya, Pasal 65 Ayat (1) UU TPPU memberikan wewenang kepada PPATK untuk pemberhentian sementara secara penuh atau sebagian suatu transaksi yang diketahui atau dicurigai sebagai hasil dari Tindak Pidana Korupsi kepada Penyedia Jasa Keuangan (PJK). Sesuai dengan Pasal 66 UU TPPU, penghentian sementara transaksi ini biasanya dilakukan dalam 5 hari kerja dan PPATK dapat memperpanjangnya selama 15 hari kerja, sehingga totalnya menjadi 20 hari penghentian sementara transaksi untuk memperkuat analisis terkait keuangan yang dicurigai dan diserahkan pada penyidik.

Apabila selama periode 20 hari kerja tersebut tidak ditemukan pihak yang mengajukan keberatan atas dilakukan penghentian transaksi untuk sementara, maka PPATK akan mengalihkan Harta Kekayaan restitusi tersebut yang diduga merupakan hasil dari Tindak Pidana Korupsi kepada penyidik agar segera dilakukan penyidikan, seperti yang dijelaskan pada Pasal 67 Ayat (1) UU TPPU.

Selanjutnya, ayat kedua pasal yang sama menyatakan bahwa penyidik diberikan waktu selama 30 hari untuk mencari pelaku tindak pidana dan jika pelaku tersebut tidak ditemukan, penyidik dapat mengajukan permohonan ke pengadilan untuk membuat hartanya menjadi aset negara atau dikembalikan kepada pemilik yang sah. Meskipun Pasal 67 UU TPPU sudah ada, detail cara berlalu lintasnya tidak lagi tercantum dalam UU TPPU sendiri. Oleh karena itu, untuk mengatasi kekosongannya, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Penanganan Harta Kekayaan Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang Atau Tindak Pidana Lain telah diterbitkan untuk mengatur prosedurnya.

Melalui analisis yang dilakukan oleh PPATK, Pasal 67 UU TPPU memungkinkan perampasan aset yang diduga berasal dari tindak pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU TPPU, tanpa memerlukan putusan pidana terhadap pelaku atau jika pelaku tidak dapat ditemukan, sistem ini disebut dengan Non-Conviction Based (NCB) Asset Forfeiture. Hal ini memberikan kemudahan dan mempercepat proses perampasan aset yang merupakan hasil dari tindak pidana korupsi. Dalam sistem NCB ini, aset yang dihasilkan dari tindak pidana korupsi dianggap sebagai subjek hukum.

Dalam hal ini, negara melalui penyidiknya bertindak sebagai pemohon dalam persidangan melawan aset hasil tindak pidana korupsi yang menjadi pihak termohon. Selain Pasal 67, terdapat juga pasal lain dalam UU TPPU yang mendukung penerapan sistem NCB Asset Forfeiture, yaitu Pasal 69, yang pada dasarnya menyatakan bahwa seluruh rangkaian proses hukum yang dimulai dari penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan sidang terkait TPPU tidak perlu menunggu adanya pembuktian apakah tindak pidana asal telah terjadi.

Berdasarkan Pasal 2 Ayat (1) UU TPPU, tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana asal yang jika hasilnya diselimuti oleh tindak pidana pencucian uang dapat segera disidik dan diperiksa di pengadilan tanpa menunggu pembuktian mengenai terjadinya tindak pidana korupsi. Selain itu, Pasal 79 Ayat (4) UU TPPU juga menerapkan sistem NCB Asset Forfeiture. Pasal ini menyatakan bahwa apabila terdakwa meninggal sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat indikasi yang kuat bahwa ia melakukan tindak pidana pencucian uang terkait aset korupsi, hakim dapat menjatuhkan putusan berdasarkan tuntutan penuntut umum dan merampas aset hasil tindak pidana tersebut.

Dengan demikian, sistem NCB Asset Forfeiture dalam UU TPPU dapat dikatakan sebagai salah satu potensi utama undang-undang ini dalam konteks restitusi aset hasil tindak pidana, khususnya tindak pidana korupsi. Melalui kekuatan ini, UU TPPU memberikan kerangka hukum yang kuat dan efektif dalam konteks restitusi aset hasil tindak pidana, mempercepat proses pengembalian aset ke negara, serta meningkatkan integritas sistem hukum di Indonesia.

Kekuatan ini juga membuka peluang untuk memperbaiki mekanisme penegakan hukum di masa depan. Jika dilaksanakan secara benar, sistem NCB Asset Forfeiture ini dapat mereduksi secara masif Tindak Pidana Pencucian Uang yang memiliki berbagai tindak pidana asal, terutama Tindak Pidana Korupsi dan restitusi aset kembali kepada negara akan terlaksana secara efektif pula. Namun, keberhasilan pelaksanaan perampasan aset dari tindak pidana, terutama tindak pidana korupsi dalam UU TPPU sangat bertumpu pada integritas para aparat penegak hukum di Indonesia dalam menjalankan tugas mereka.

2. Analisis Kekurangan Penerapan Undang Undang Pencucian Uang (UU TPPU) Terkait Restitusi Aset Korupsi

Undang-Undang Pencucian Uang (UU TPPU) di Indonesia, yang terakhir direvisi melalui UU No. 8 Tahun 2010, merupakan instrumen hukum krusial dalam upaya pemberantasan korupsi dan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Namun, dalam implementasinya, UU TPPU menghadapi berbagai tantangan sistemik dan struktural yang signifikan, terutama terkait dengan proses restitusi aset korupsi. Dalam analisis ini, penulis akan menguraikan secara mendalam kekurangan-kekurangan terkait hakikat dan implementasi Undang-Undang Pencucian Uang dengan pendalaman akar permasalahannya serta mengevaluasi dampaknya terhadap efektivitas pemberantasan korupsi dan pemulihan kerugian negara.

Salah satu kelemahan terbesar UU TPPU terletak pada keterbatasan cakupannya dalam mengatur berbagai jenis aset hasil korupsi, terutama dalam menghadapi perkembangan teknologi finansial yang pesat. Undang-undang yang disusun sebelum era blockchain dan cryptocurrency ini, belum memiliki kerangka hukum yang memadai untuk menangani berbagai jenis aset digital. Sebagai contoh, kasus Bitconnect pada tahun 2018, di mana investor Indonesia kehilangan miliaran rupiah, menunjukkan ketidaksiapan regulasi dalam perkara berbasis cryptocurrency.

Merujuk pada muatannya, UU TPPU belum memiliki ketentuan spesifik mengenai pelacakan dan penyitaan cryptocurrency yang memiliki karakteristik yang sangat berbeda dari aset konvensional. Sifat pseudo anonymous cryptocurrency, seperti penggunaan alamat wallet yang dapat dibuat tanpa batas dan transaksi peer-to-peer tanpa perantara, menciptakan level kompleksitas baru dalam pelacakan aliran dana. Perkara semacam ini semakin sulit untuk diselesaikan dengan adanya fakta bahwa banyak bursa cryptocurrency beroperasi di yurisdiksi dengan regulasi yang longgar, seperti Seychelles atau British Virgin Islands, sehingga semakin menyulitkan proses pertukaran informasi dan penegakan hukum.

Lebih lanjut, tantangan yurisdiksi dalam pengembalian aset yang disimpan di luar negeri juga merupakan satu dari sekian banyak problematika dalam prosesi pengembalian aset hasil pencucian uang kepada negara. Indonesia, sebagai negara berkembang, seringkali berada di posisi yang kurang menguntungkan dalam negosiasi bilateral dengan negara maju yang menjadi tujuan penyimpanan aset hasil korupsi. Hal tersebut menyebabkan adanya kendala tambahan terkait proses pengembalian aset yang disebabkan oleh perbedaan sistem hukum, variasi standar pembuktian antar negara, proses birokrasi yang panjang dan kurangnya political will dari negara yang diminta bantuan.

Selain yang telah dipaparkan di atas, kompleksitas proses pembuktian asal-usul aset hasil korupsi juga merupakan kendala serius dalam penerapan UU TPPU. Teknik-teknik pencucian uang yang semakin canggih, seperti penggunaan shell companies di berbagai yurisdiksi dan pemanfaatan professional enablers (seperti pengacara, akuntan, dan banker), menciptakan rangkaian transaksi yang sulit untuk dilacak. Walaupun pada prinsipnya telah ditetapkan prinsip pembuktian terbalik, pada kenyataannya, hal ini seringkali berbenturan dengan prinsip praduga tak bersalah yang dijamin oleh konstitusi.

Koordinasi antar lembaga yang belum optimal juga menjadi hambatan signifikan dalam efektivitas penerapan UU TPPU. Ego sektoral antara lembaga seperti Kepolisian, Kejaksaan, KPK, dan PPATK bukan hanya masalah kultur organisasi, tetapi juga berakar pada tumpang tindih kewenangan yang belum sepenuhnya dipecahkan oleh kerangka hukum yang ada. Misalnya, dalam kasus Jiwasraya, terjadi ketegangan antara KPK dan Kejaksaan mengenai siapa yang seharusnya menangani kasus tersebut, menunjukkan kurangnya mekanisme koordinasi yang jelas9. Sistem pertukaran informasi antar lembaga juga masih primitif, dengan banyak data yang masih disimpan dalam bentuk fisik atau sistem yang tidak terintegrasi. Hal ini tidak hanya memperlambat proses investigasi tetapi juga meningkatkan risiko kebocoran informasi.

Lemahnya penegakan hukum dan integritas aparat penegak hukumnya, terutama terhadap pelaku korupsi kelas atas, mencerminkan permasalahan struktural yang lebih dalam lagi. Fenomena selective justice merupakan peristiwa di mana terdapat perbedaan signifikan antara perlakuan terhadap pelaku kejahatan kelas atas dan pelaku kejahatan kelas bawah. Fenomena tersebut hingga kini dianggap sebagai ‘budaya’ yang telah terintegrasi dalam mayoritas lembaga negara dan belum ditemukan penyelesaiannya. Sebagai contoh, dalam kasus korupsi e-KTP yang merugikan negara triliunan rupiah, sejumlah terdakwa utama hanya dijatuhi hukuman penjara di bawah 10 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa faktor deterrence (efek jera) dari UU TPPU belum optimal dalam mencegah tindak pidana pencucian uang skala besar dan masih kentalnya unsur ‘tajam ke bawah tumpul ke atas.’

Keterbatasan sumber daya, baik dari segi manusia maupun teknologi, juga menjadi kendala serius dalam penerapan UU yang efektif. Kurangnya tenaga ahli dalam bidang forensik keuangan dan teknologi informasi tidak hanya disebabkan oleh terbatasnya anggaran, tetapi juga oleh sistem rekrutmen dan pengembangan SDM di lembaga penegak hukum yang belum berorientasi pada kebutuhan spesifik anti-pencucian uang. Sebagai contoh, dalam penanganan kasus First Travel yang melibatkan ribuan korban dan transaksi kompleks, penyidik menghadapi kesulitan dalam menganalisis volume data yang besar karena keterbatasan alat analisis data, keahlian forensik digital, dan keterbatasan akses ke database internasional seperti SWIFT (Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication) Implementasi UU TPPU juga terkendala oleh belum lengkap dan tidak sinkronnya aturan turunan dan petunjuk teknis.

Hingga saat ini, belum ada peraturan yang lebih komprehensif dan menyeluruh mengenai mekanisme pengelolaan aset sitaan, yang mengakibatkan banyak aset yang disita hilang ataupun mengalami penurunan nilai signifikan selama proses berlangsungnya hukum. Sampai saat ini, belum adanya lembaga khusus yang bertanggung jawab atas pengelolaan aset sitaan, seperti Asset Recovery Agency yang dimiliki oleh beberapa negara maju, menyebabkan banyak aset yang disita tidak dikelola secara optimal.

Hal ini tidak hanya mengakibatkan penurunan nilai aset, tetapi juga membuka peluang untuk penyalahgunaan. Hal ini menimbulkan efek domino terhadap kepercayaan rakyat kepada pemerintah yang berwenang. Tidak adanya sistem pelaporan yang komprehensif dan mudah diakses publik mengenai status pengembalian aset hasil korupsi menciptakan ruang bagi spekulasi dan ketidakpercayaan. Kasus seperti pengembalian aset Soeharto yang hingga kini belum jelas statusnya menunjukkan betapa pentingnya transparansi dalam proses restitusi aset.

Dalam akhir kata, meskipun UU TPPU merupakan instrumen hukum yang penting dalam usaha pemberantasan korupsi dan pengembalian aset hasil tindak pidana, implementasinya masih menghadapi berbagai tantangan struktural dan sistemik yang kompleks. Keterbatasan cakupan undang-undang dalam menghadapi perkembangan teknologi finansial, kompleksitas yurisdiksi internasional, lemahnya koordinasi antar lembaga, keterbatasan sumber daya dan teknologi, serta kurangnya transparansi dan akuntabilitas, merupakan hambatan-hambatan serius yang perlu diatasi.

3. Saran dan Rekomendasi

Untuk mengatasi berbagai tantangan dalam implementasi UU TPPU, diperlukan serangkaian langkah strategis yang komprehensif. Pertama, dibutuhkan pembaruan regulasi dalam menghadapi perkembangan teknologi finansial yang pesat. Revisi UU TPPU harus dilakukan secara menyeluruh untuk mengakomodasi realitas baru yang terjadi pada era teknologi ini. Undang-undang perlu mencakup definisi dan ketentuan khusus terkait cryptocurrency dan aset digital lainnya dan mengakui secara eksplisit cryptocurrency sebagai bentuk aset yang dapat menjadi objek pencucian uang. Definisi “penyedia jasa keuangan” juga perlu diperluas untuk mencakup perusahaan fintech dan teknologi yang menyediakan layanan keuangan. Lebih lanjut, pengembangan mekanisme untuk melacak dan membekukan aset digital menjadi penting untuk mencegah penggunaan perusahaan shell companies dalam pencucian uang.

Penguatan kerjasama internasional merupakan langkah kedua yang tidak kalah pentingnya. Mengingat sifat transnasional dari kejahatan pencucian uang, Indonesia perlu mengambil langkah-langkah signifikan menyangkut kejahatan dalam arena internasional. Hal ini termasuk negosiasi dan penandatanganan perjanjian bilateral khusus tentang asset recovery dengan negara-negara yang diidentifikasi sebagai tujuan utama pencucian uang dari Indonesia. Tak kalah pentingnya adalah peningkatan kapasitas penegak hukum Indonesia dalam menangani kasus-kasus internasional, termasuk pelatihan khusus tentang hukum internasional dan prosedur Mutual Legal Assistance (MLA).

Langkah ketiga adalah peningkatan koordinasi antar lembaga yang menjadi kunci dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas penanganan kasus. Pembentukan Satuan Tugas Nasional Anti Pencucian Uang yang terdiri dari perwakilan berbagai lembaga terkait seperti PPATK, Kepolisian, Kejaksaan, KPK, dan Bea Cukai, dengan wewenang koordinasi yang kuat dan mekanisme pengambilan keputusan yang cepat, dapat menjadi solusi untuk masalah koordinasi yang selama ini menjadi hambatan. Pengembangan sistem informasi yang terstruktur yang mudah diakses oleh semua lembaga penegak hukum terkait juga akan memungkinkan pertukaran data dan informasi secara real-time sehingga mengurangi tumpang tindih dan meningkatkan efisiensi.

Investasi dalam teknologi canggih menjadi langkah keempat yang tidak kalah penting dalam meningkatkan kemampuan untuk melacak dan menganalisis transaksi keuangan mencurigakan. Pengembangan sistem artificial intelligence dan machine learning untuk mendeteksi pola transaksi mencurigakan secara otomatis, terutama dalam volume data yang besar, akan sangat membantu dalam mengidentifikasi aktivitas pencucian uang yang semakin kompleks. Pengadaan perangkat lunak forensik keuangan canggih yang mampu menganalisis data dari berbagai sumber, termasuk media sosial dan laman internasional lainnya, akan memperluas jangkauan investigasi.

Langkah kelima yang dapat dilakukan adalah peningkatan transparansi untuk meningkatkan akuntabilitas dalam pengelolaan aset yang disita. Pengembangan portal online publik yang menampilkan informasi tentang aset yang disita, proses hukum yang sedang berlangsung, dan status pengelolaan aset akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap proses penegakan hukum. Implementasi sistem blockchain untuk mencatat setiap pergerakan dan pengelolaan aset yang disita dapat menjamin integritas data dan mencegah manipulasi. Pelibatan auditor independen untuk melakukan audit rutin terhadap pengelolaan aset yang disita dan mempublikasikan hasilnya, serta pembentukan komite pengawas yang terdiri dari perwakilan masyarakat sipil, akademisi, dan profesional, akan semakin memperkuat akuntabilitas.

Langkah terakhir dan terpenting dalam usaha peningkatan efektivitas UU TPPU dalam kaitannya dengan Restitusi Aset Korupsi adalah pengesahan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. RUU Perampasan Aset diproyeksikan dapat menjadi instrumen hukum komplementer yang memperkuat efektivitas UU TPPU dalam upaya pemulihan aset negara.

Undang-undang ini akan menerapkan lebih jauh konsep non-conviction based (NCB) asset forfeiture, yang memungkinkan perampasan aset tanpa menunggu terbitnya putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap, Mekanisme ini dapat mempercepat proses pengembalian kerugian negara dan mencegah para pelaku kejahatan mengalihkan atau menyembunyikan aset mereka selama proses hukum yang seringkali memakan waktu lama. Lebih lanjut, RUU Perampasan Aset berpotensi memperkuat kerangka kerjasama internasional dalam pelacakan dan perampasan aset lintas negara.

Dengan adanya landasan yuridis yang lebih komprehensif, diharapkan dapat mempermudah proses asset recovery dari luar negeri. Dengan demikian, pengesahan RUU Perampasan Aset menjadi langkah krusial dalam menutup celah yang ada pada UU TPPU saat ini. Integrasi kedua instrumen hukum ini diproyeksikan dapat menciptakan kerangka hukum yang lebih ketat dalam upaya pemberantasan tindak pidana pencucian uang, pemulihan aset negara, dan penegakan keadilan secara lebih efektif.

Dengan mengimplementasikan rekomendasi-rekomendasi ini secara menyeluruh, diharapkan efektivitas UU TPPU dalam upaya pemberantasan korupsi dan pencucian uang di Indonesia dapat ditingkatkan secara signifikan sehingga tidak hanya menangani kejahatan keuangan, tetapi juga akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan dan komitmen pemerintah dalam memberantas korupsi.

C. Kesimpulan dan Saran

Evaluasi Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) menunjukkan bahwa undang-undang ini mempunyai potensi signifikan dalam konteks restitusi aset hasil tindak pidana korupsi. Dengan menyediakan landasan yuridis yang kuat, UU TPPU memungkinkan dilakukannya restitusi terhadap aset tindak pidana dengan tidak harus menunggu putusan pengadilan, sehingga mempercepat proses pengembalian aset ke negara. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memainkan peran yang krusial dalam tahap awal perampasan dengan wewenang untuk menghentikan transaksi yang dicurigai, serta memfasilitasi penyidikan lebih lanjut.

Sistem Non-Conviction Based (NCB) Asset Forfeiture dalam UU TPPU juga memberikan kemudahan dalam perampasan aset yang diduga berasal dari tindak pidana, tanpa memerlukan putusan terhadap pelaku. Namun, meskipun UU TPPU menawarkan kerangka hukum yang efektif, terdapat berbagai batasan dan tantangan dalam implementasinya, seperti keterbatasan dalam mengatur aset digital dan tantangan yurisdiksi dalam pengembalian aset yang disimpan di luar negeri.

Kompleksitas proses pembuktian asal-usul aset hasil korupsi juga menjadi kendala serius, mengingat teknik pencucian uang yang semakin canggih. Oleh karena itu, untuk meningkatkan efektivitas UU TPPU dalam restitusi aset korupsi, diperlukan reformasi regulasi yang lebih adaptif terhadap perkembangan teknologi dan peningkatan kerjasama internasional dalam penegakan hukum.

Langkah terakhir dan terpenting dalam usaha peningkatan efektivitas UU TPPU adalah pengesahan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. RUU ini dirancang sebagai instrumen hukum komplementer yang menerapkan konsep Non-Conviction Based (NCB) Asset Forfeiture yang lebih kuat dibandingkan UU TPPU. Selain itu, RUU Perampasan Aset berpotensi memperkuat kerja sama internasional dalam pelacakan dan perampasan aset lintas negara sehingga mempermudah proses recovery aset dari luar negeri. Oleh karena itu, pengesahan RUU ini sangat penting untuk menutup celah yang ada dalam UU TPPU saat ini dan meningkatkan efektivitas penegakan hukum di Indonesia.

Referensi

Peraturan Perundang-Undangan:

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 122) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Penanganan Harta Kekayaan Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang Atau Tindak Pidana Lain (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 59)

Jurnal

Halif, ‘Model Perampasan Aset Terhadap Harta Kekayaan Hasil Tindak Pidana Pencucian Uang’ (2016) 5(2) Rechtens.[9].

Nurdiana Yuniar Kusumawardhani, Ariyanda Tri Firanti, dan Rafferty Cullen Mantaria, ‘Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan dalam Tindak Pidana Korupsi’ (2024) 6(4) UNES Law Review.[12394].

Refki Saputra, ‘Tantangan Penerapan Perampasan Aset Tanpa Tuntutan Pidana (Non-Conviction Based Asset Forfeiture) dalam RUU Perampasan Aset di Indonesia’ (2017) 3(1) Integritas: Jurnal Antikorupsi.[119].

Wilki Angga Lineleyan; Adi Tirto Koesoemo; Dan Herlyanty Y.A. Bawole, ‘Tinjauan Yuridis Tentang Perampasan Aset Tindak Pidana Korupsi Dihubungkan Dengan Sistem Perampasan Aset Berbasis Properti’

(2024) 12(5) Lex Administratum.[6].

Internet/Media Online:

CNN Indonesia, ‘Kronologi Kasus Jiwasraya, Gagal Bayar Hingga Dugaan Korupsi’ (CNN                                                                Indonesia,                                                      2020)

<https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200108111414-78-463406/kronologi-kasus-j iwasraya-gagal-bayar-hingga-dugaan-korupsi> diakses 11 Oktober 2024

INU, ‘Perampasan Aset Cukup Putusan Hakim Pengadilan Negeri’ (HukumOnline, 2013)

<https://www.hukumonline.com/berita/a/perampasan-aset-cukup-putusan-hakim-pengadil an-negeri-lt51a366c135a9a/?page=2> diakses 11 Oktober 2024

Transparency International, ‘Corruption Perceptions Index’ (Transparency International, 2023) <https://www.transparency.org/en/cpi/2023/> diakses 12 Oktober 2024

Tri Jata Ayu Pramesti, ‘Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan Dalam Hukum Indonesia’ (HukumOnline,                                                                                                              2015)

<https://www.hukumonline.com/klinik/a/perampasan-aset-tanpa-pemidanaan-dalam-huku m-indonesia-lt550190f5671f1/> diakses 11 Oktober 2024

Tulisan Lainnya

FATF, ‘Virtual Assets Red Flag Indicators of Money Laundering and Terrorist Financing’ (FATF 2020).[9].

Penulis

Eugenia Graceinka Simbolon & Marvin Joe

Mahasiswa Universitas Gadjah Mada

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *