Hak-Hak Nafkah (Finansial) Pasca Perceraian
Pada hakikatnya, baik pernikahan yang tidak tercatat (nikah sirri) ataupun pernikahan yang tercatat di Kantor Urusan Nikah (KUA) sama-sama mendapatkan hak nafkah (finansial). Asalkan syarat dan rukun pernikahannya sudah terpenuhi menurut hukum Islam (fiqh), maka pernikahannya sah dan berhak mendapatkan hak nafkah (finansial) pasca terjadinya perceraian.
Baca juga: Pernikahan dalam Islam: Macam-macam Hukum Nikah
Macam Hak Anak dan Istri
Secara umum, ada lima macam hak finansial istri dan anak pasca perceraian, yaitu:
a) Mut’ah
b) Nafkah, maskan , kiswah selama masa iddah.
c) Mahar (jika terhutang).
d) Biaya hadlanah untuk anak-anak yang belum berusia 21 tahun.
e) Harta gono gini
Pemenuhan Hak Nafkah
Hal ini dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang akibat putusnya perkawinan khususnya kewajiban suami atas istri dan anak pada kasus cerai talak.
Penjelasan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) ini disimpulkan dari pendapat para ulama fiqh. Khusus masalah harta gono gini, dengan perkawinan, Hasbi as Siddiqi menjadikan sang istri syirkatur rojuli filhayati (kongsi sekutu seorang suami dalam melayani bahtera hidup), maka antara suami istri dapat terjadi syarikah abadan (perkongsian tidak terbatas).
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, pernikahan yang resmi dicatat di KUA ataupun pernikahan yang tidak dicatat (nikah sirri) berhak mendapat hak finansial pasca terjadinya perceraian. Akan tetapi bedanya, bagi pernikahan yang dicatat, maka hak tersebut bisa diperjuangkan melalui Pengadilan Agama. Dan sebagaimana aturan yang berlaku, akta cerai bisa diambil setelah suami sudah menunaikan hak-hak finansial istri.
Mahkamah Agung Republik Indonesia telah menerbitkan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2019 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2019 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan.
Point istimewa tersebut adalah sebuah ketentuan yang menyebutkan bahwa “Dalam rangka pelaksanaan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan Dengan Hukum untuk memberi perlindungan hukum bagi hak-hak perempuan pasca perceraian, maka amar pembayaran kewajiban suami terhadap istri pasca perceraian dalam perkara Cerai Gugat dapat menambahkan kaliman sebagai berikut: ‘…yang dibayar sebelum Tergugat mengambil akta cerai’, dengan ketentuan amar tersebut dinarasikan dalam posita dan petitum gugatan”.
Ketentuan tersebut merupakan secercah harapan Penggugat dalam perkara Cerai Gugat (istri yang menggugat cerai suami) untuk dengan mudah mendapatkan hak-hak akibat cerainya sebagai istri.
Sedangkan bagi pernikahan yang tidak dicatat, maka tentu tidak bisa didaftarkan ke Pengadilan Agama karena sejak awal pernikahannya tidak memiliki keuatan hukum, bahkan jika pernikahan sirrinya sudah dicantumkan di Kartu Keluarga (KK).
Sebagaimana dijelaskan oleh Dirjen Dukcapil (Prof Zudan), Dukcapil tidak mengatakan atau menjustifikasi bahwa pernikahannya sah atau tidak bagi pernikahan sirri yang dicantumkan di KK, tapi hanya mencamtumkan peristiwa pernikahan yang dilaporkan penduduk dengan menunjukkan SPTJM (Surat Pertanggung Jawaban Mutlak) yang di dalamnya ada keterangan para pihak yang terlibat (pasangan suami istri), wali nikah, orang yang menikahkan, dan adanya 2 saksi. Sedangkan persoalan keabsahan pernikahannya, dikembalikan ke aturan yang berlaku.
Hak Nafkah bagi Istri dan Anak Nikah Sirri
Menurut aturan yang berlaku, pernikahan yang sah dan mempunyai kekuatan hukum hanya nikah yang didaftarkan dan dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Nikah di KUA.
Hal ini dijelaskan secara detail dan tegas dalam pasal 5 ayat (1) dan (2) dan pasal 6 ayat (1) dan (2) Inpres No. 1 Tahun 1991, tentang Kompilasi Hukum Islam, dan juga pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No. 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan
Oleh karena itu, bagi pelaku pernikahan sirri khususnya bagi istri yang mengalami perceraian, maka hak-hak finansial di atas bisa diperjuangkan tidak melalui jalur pengadilan, tapi melalui jalur pribadi, yaitu atas kesadaran mantan suami, dan juga melalui pihak-pihak yang membantu melaksanakan pernikahan sirrinya.
Tentu hal ini bisa menjadi sulit terealisasi, karena bisa jadi mantan suami tidak mau memberikan hak-hak nafkah ( finansialnya), dan mantan istrinya tidak bisa memaksanya karena pernikahannya tidak mempunyai kekautan hukum.
Pemberian hak finansial kepada istri murni atas kesadaran suami yang merasa bahwa dirinya wajib memberikan hak nafkah (finansial) mantan istrinya. Jika suami tahu dan sadar akan kewajiabannya, maka bisa jadi hak finansial mantan istri bisa diberikan.
Baca juga: Dampak Nikah Sirri
Tapi jika suami tidak tahu, atau tahu tapi tidak sadar kewajibannya dan enggan memberikannya, maka sangat sulit si istri mendapatkan hak finansialnya karena tidak ada pihak yang berkekuatan hukum yang bisa memaksa mantan suami untuk memberikan haknya.
Solusi
Mungkin ada cara seperti isbat nikah, tapi ini tentu tidak mudah, apalagi jika tidak bisa memenuhi syarat, dan para pihak tidak mendukung maka isbat nikah bisa ditolak.
Wallahu a’lam bis sowab
Penulis: Dr. Holilur Rahman, M.Hi. (Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya, Penulis, dan Konsultan Pernikahan)
Sangat bermanfaat
Ilmu yg bermanfaat, terima kasih
Artikel yang sangat menarik serta dapat menambah ilmu
Namun beberapa waktu yang lalu saat saya mewawancarai seorang perempuan yang berstatus masih isteri secara nikah sirri, ia mengatakan tidak ingin mengurus status pernikahannya di PA, serta tidak ingin mengurus perceraian, bahkan tidak ingin mengurus hak nafkah anaknya bersama suaminya itu. Saya pun terus menelusuri mengapa ia mengambil keputusan tersebut yang menurut saya mungkin bisa mempengaruhi hak dan kebutuhan anak mereka di kemudian hari. Wanita berusia 30 tahun tersebut dengan tegas mengatakan bahwa ada beberapa faktor, poin utamanya adalah, ia khawatir dan tidak ingin kejadian kurang mengenakan terjadi lagi. Dimana saat ia hamil sampai melahirkan, si suami hampir tidak pernah memberikan nafkah; sering pula terjadi cekcok bersama keluarga dari pihak suami; jika nanti diurus di PA, pastinya keputusan hakim akan memutuskan bahwa si mantan suami wajib menafkahi anaknya. Usut punya usut, kekhawatiran besarnya adalah watak keluarga dari pihak si suami yang di kemudian hari “pasti” akan mengintervensi perkara hak yang seharusnya tidak sepenuhnya dimiliki mereka kecuali ayah dari anak tersebut. Menurutnya, dari pengalaman beberapa tahun ini, keluarga dari pihak suami selalu mencampuri dan mau mengambil kuasa atas anaknya. Maka bisa jadi saat mereka membantu si ayah untuk menafkahi anaknya, mereka pasti akan membuat segala macam upaya dan alibi untuk mengambil anak tersebut.
Dari pemaparan kasus di atas, apakah sebaiknya keluarga dari kedua pihak memberikan mediasi kepada kedua pasutri tersebut, lalu tetap membawa permasalahan mereka ke PA? Bagaimana solusi yang tepat agar baik pernikahan, perceraian maupun hak nafkah anak tersebut dapat diatasi secara hukum? Terima kasih.
Alhamdulillah jadi menambah wawasan saya, jazakallah khairanl🙏
Alhamdulillah jadi menambah wawasan saya tentang hukum keluarga Islam🙏
sangan menarik materiny
Artikel yang Sangat membantu dalam menambah wawasan, terutama bagi wanita pasca perceraian.
Mantap
Informasi yang menambah wawasan untik saya sebagai mahasiswa ilmu hukum
Materi yang sangat membantu
Terimakasih atas artikelnya, insyaallah bermanfaat.
wah jadi tambah luas wawasan
Informatif 👍
Lumayan untuk menjadi rujukan dalam kajian dan diskusi ringan tongkrongan..
Terima kasih ilmunya sangat bermanfaat
MANTAP
Ilmu yang bermanfaat sih ini
menambah wawasan tentang hukum keluarga islam