PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia
Opini  

Integritas Pemimpin: Kunci Utama Pemutus Mata Rantai Korupsi

konsultasi

Fenomena

Diskursus pembangunan bangsa Indonesia, dari dulu hingga saat ini, dibalik fluktuasi kemajuan dan benturan kepentingan, selalu diwarnai oleh masalah laten yang hampir tidak pernah usai, yaitu korupsi. Secara historis, korupsi telah menjadi ‘budaya’ dalam pemerintahan di Indonesia, sejak era penjajahan hingga kontemporer. Vereenigde Oostindische Compagnie atau disingkat VOC, merupakan badan otoritas perdagangan yang memiliki kewenangan pemerintahan sipil, tercatat sebagai instansi korup yang menggerus pundi-pundi keuangan negara jajahan, ia sendiri runtuh pada tahun 1799. Sejarah menawarkan sebuah pelajaran berharga, bahwa korupsi adalah salah satu faktor yang mampu menjatuhkan kehidupan bernegara. Di Indonesia, saat ini, korupsi menjadi ‘musuh bubuyutan’ yang belum kunjung tutup usia.

Berdasarkan akumulasi data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2021, lembaga anti-rasuah itu telah menangani 121 perkara tindak pidana korupsi, hanya dalam jangka waktu Januari-November 2021. Pandemi, yang menyebabkan resesi ekonomi nasional, terbukti tidak mampu menumbuhkan rasa iba dihati para koruptor, sebaliknya kondisi ini justru dimanfaatkan untuk menumpuk keuntungan bagi dirinya sendiri dan kolega. Contoh, dua menteri kabinet Presiden Jokowi, Juliari Batubara dan Eddy Prabowo, yang terjerat kasus korupsi. Hal ini, secara mutatis, merepresentasikan bahwa perilaku korupsi telah menjadi rahasia umum yang membudaya.

Baca juga: Pandangan Islam Tentang Musik

Jika dilihat dari sisi hukum, regulasi yang ada di Indonesia bisa dikatakan sangat tegas dalam upaya menjerat pelaku, seperti yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bahwa tindak pidana korupsi dapat dijatuhkan hukuman paling ringan 4 tahun penjara dan maksimal 20 tahun atau penjara seumur hidup, bahkan jika dilakukan dalam keadaan tertentu seperti pada saat terjadi suatu bencana maka dapat dituntut hukuman mati. Namun, hal itu tampaknya tak membuat para pelaku takut karena terlihat dari kasus korupsi yang masih saja bermunculan.

Pandangan Sosiologis

Jika kita lihat fenomena yang terjadi saat ini, tindak pidana korupsi acap kali dilakukan oleh orang terpandang, orang yang mempunyai jabatan tinggi, serta berpendidikan. Hal ini mempunyai arti bahwasanya pelaku Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) mempunyai kehidupan yang mempuni dalam segi materi. Namun, yang menjadi pertanyaan banyak orang adalah kenapa masih ada pejabat yang sudah bercukupan materi, tetapi masih saja melakukan tindakan korupsi?

Menurut perspektif sosiologi, seseorang bertindak dan berbuat sesuai dengan nilai yang ia yakini, setiap individu mempunyai nilai-nilainya tersendiri yang memberikan pengaruh pada nilai yang dimiliki oleh masyarakat. Menurut Claudia Wood, Nilai merupakan petunjuk umum yang telah berlangsung lama serta mengarahkan tingkah laku seseorang dalam berbuat. Nilai juga menjadi dasar pertimbangan seseorang dalam memilih dan menetukan sikap serta mengambil suatu keputusan. Jadi, asas yang fundamental dalam hidup ini adalah nilai yang kita pelajari dan yakini sebagaimana mestinya.

Baca juga: Korupsi di Indonesia Penyebab, Hambatan, Solusi, dan Regulasi

Dari uraian diatas, ternyata penyebab yang mendasar pelaku tindak pidana korupsi adalah adanya ketidaksempurnaan dalam mempelajari, menyerap, hingga mengaktualisasi nilai-nilai positif yang ada, dan pada akhirnya menyebabkan pelaku memiliki kecenderungan berprilaku menyimpang. Oleh karena itu, edukasi serta proses sosialisasi nilai dan norma menjadi hal yang harus diperhatikan sejak dini, sebab nilai dan norma menjadi dasar yang akan membentuk kepribadian dan perilaku seseorang kedepannya.

Pencegahan

Dalam memberantas korupsi di Indonesia, kegiatan pencegahan dan pemberantasan korupsi dilakukan secara terus menerus oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Salah satu tindakan pencegahannya adalah pendidikan nilai-nilai antikorupsi atau biasa disebut dengan nilai integritas. Upaya pencegahan terhadap tindak korupsi lebih efektif daripada penindakan. Oleh karena itu, mengaktualisasikan nilai-nilai integritas diyakini dapat berperan dalam pembenahan karakter dan moral bangsa secara sistematis yang mendukung sikap antikorupsi di negeri ini (KPK, 2016).

Dalam rangka menanamkan nilai antikorupsi, KPK merumuskan setidaknya 3 (tiga) nilai inti integritas yang harus tertanam dan menjadi nilai fundamental disetiap individu. Yaitu diawali dengan nilai “kejujuran”, diteruskan dengan “tanggung jawab”, dan diakhiri dengan “disiplin”.

Pertama, Kejujuran. Secara harfiah jujur adalah lurus hati, berbuat dan bertindak sesuai dengan yang dikatakan, tidak berbohong dan tidak juga berbuat curang. Orang yang jujur adalah orang yang berani melawan ketidakjujuran dan selalu teguh pendirian pada prinsip yang diyakini benar. Memang berat untuk dilakukan karena berintegritas jujur tidak bisa dilakukan seorang diri, perlu adanya lingkungan yang mendukung seperti keluarga dan rekan sejawat. Namun, seberat apapun itu, hal ini merupakan pondasi dasar dalam membangun jiwa integritas sesorang. Sebagaimana yang kita ketahui selama ini bahwasanya penyebab utama seseorang melakukan tindak korupsi dikarenakan kurangnya nilai kejujuran di dalam dirinya sehingga melakukan tindak kecurangan.

Menurut Cressey (1955) Dalam teori Fraud Trianggle Theory, setidaknya ada 3 (tiga) faktor yang menjadi penyebab ketidakjujuran. Pertama adalah adanya kesempatan untuk berbuat curang. Kedua, adanya dorongan motivasi untuk berbohong dan Ketiga, secara rasio hal itu cukup memungkinkan untuk dilakukan. Ketiga faktor tersebut saling berhubungan sehingga membentuk tindakan curang.

Kedua, Tanggung jawab.  Merupakan keadaan wajib menanggung segala sesuatu yang menjadi sebuah konsekuensi dari objeknya. Dalam konteks kepemimpinan, Seorang pemimpin harus bertanggung jawab dalam menjalankan tugas, mengadakan evaluasi, guna mencapai hasil terbaik. Seorang pemimpin juga mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap bawahannya karena posisi pemimpin adalah di depan untuk menjadi petunjuk bagi anggotanya dalam melaksanakan tugas. Jika ternyata pemimpin tidak bisa melaksanakan tanggung jawab itu, maka kredibilitas pemimpin tersebut harus dipertanyakan. Seperti yang dapat kita lihat dalam dunia perpolitikan di Indonesia, begitu banyak para calon pemimpin yang berusaha memberi sugesti dengan mengumbar janji untuk menarik simpati. Namun, ketika sudah terpilih, janjinya hilang bak ditelan bumi. Hal inilah yang mengakibatkan seorang pemimpin kehilangan integritasnya di mata masyarakat.

Pemimpin yang bertanggung jawab adalah pemimpin yang berani mengakui kesalahan. Bukan malah sebaliknya, menyembunyikan permasalahan merasa seolah tak tahu menahu dengan permasalahan yang terjadi. Ketika melakukan suatu perbuatan melawan hukum dan berani bersifat terbuka serta kooperatif, maka akan meningkatkan kepercayaan serta respect orang lain terhadapnya.

Ketiga, Disiplin. Sikap ini menjadi penutup dari nilai inti yang disebutkan di atas. Dari semua nilai inti yang ada, perlu adanya sikap disiplin untuk menjaga stabilitas nilai-nilai tersebut agar sesuatu yang telah direncanakan berjalan sesuai dengan porosnya. Disiplin erat hubungannya dengan nilai kepemimpinan. Seorang pemimpin haruslah bersikap komitmen serta memliki keteguhan hati walau harus berhadapan dengan banyaknya distraksi yang terus menggerus konsistensi agar setiap rencana berhasil mencapai target yang ditentukan.

Namun, sikap disiplin tidak timbul begitu saja, perlu adanya kesadaran dan pembiasaan mulai dari hal yang terkecil seperti mengumpulkan tugas pekerjaan sesuai deadline atau datang ke kantor tepat waktu sesuai yang telah ditentukan.  Hal ini memang terkesan sepele, tetapi berdampak besar apabila terus dilakukan sehingga akan menimbulkan sikap komitmen terhadap dirinya.

Lemahnya nilai inti diatas merupakan salah satu faktor timbulnya tindakan korupsi seseorang. Sebagaimana kita ketahui penyebab perilaku korupsi karena tidak adanya kejujuran dalam diri pelaku diikuti juga dengan lemahnya kesadaran untuk bertanggung jawab terhadap tugas yang sudah amanahkan serta ketidakdisiplinan seseorang menjadi sebuah konsep hierarki timbulnya perilaku korup.

Dengan adanya konsep ini, diharapkan setiap manusia terutama para pejabat pemerintah di Indonesia mempunyai pondasi dasar dan akar yang kokoh serta terciptanya kepribadian dan keterampilan sesuai dengan nilai-nilai integritas yang diakui secara bersama guna memutus mata rantai korupsi yang dapat dicegah dari sekarang.

Hidup ini adalah pilihan. Jujur dan tidak korupsi juga pilihan. Mari kita ikuti hati nurani yang suci agar menjadi manusia Indonesia yang bersih.

Okki Ramadhan Putra Mahasiswa Hukum Universitas Bangka Belitung

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *