PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia

Mengenal Istilah Pro Bono dalam Surat Pernyataan Jessica Kumala Wongso

Pro Bono

Mengenal Istilah Pro Bono

“Pak Otto Hasibuan memberikan pelayanan pro bono untuk permasalahan hukum ini”. Demikian sepenggal penegasan surat terbukanya tertanggal 10 Oktober 2023 dengan bermaterai itu, menampik tudingan dari sejumlah pihak soal lawyer yang membela Jessica Kumala Wongso mendapat bayaran besar dalam postingan instagram @ottohasibuanprivate. Setelah tayangan Netflix yang berjudul ‘Ice cold: Murder, Coffe and Jessica Wongso’, kasus pembunuhan Mirna Salihin yang melibatkan Jessica Kumala Wongso kembali viral.

Tulisan ini bukan membahas mengenai permasalahan hukum yang terjadi dengan Jessica akan tetapi tulisan ini akan membahas apa si yang dimaksud dengan istilah pro bono?

Baca juga: Konsultan Hukum: Pengertian dan Tugasnya

Pengertian Pro Bono

Istilah “pro bono” berasal dari bahasa latin yang berarti “pro bono publico” yang berarti untuk kepentingan umum. Viswandro dalam buku “Kamus Istilah Hukum: Sumber Rujukan Peristilahan Hukum” (halaman 153) menerangkan bahwa pro bono adalah suatu perbuata atau pelayanan hukum yang dilakukan untuk kepentingan umum atau pihak yang tidak mampu tanpa dipungut biaya. Secara harfiah, pro bono berarti demi kebaikan.

The Law Dictionary mendefinisikan pro bono sebagai “A latin term meaning for the public good. It is the provision of services that are free to safeguard public interest.” Apabila diterjemahkan, “suatu istilah latin yang berarti “untuk kepentingan umum”, berupa penyediaan layanan yang gratis untuk kepentingan umum.” Menurut KBBI, pro bono adalah bantuan hukum yang diberikan secara cuma-cuma kepada seseorang yang tersangkut kasus hukum, tetapi orang tersebut tidak mampu membayar jasa pengacara sendiri.

Sejarah Pro Bono di Indonesia

Pada tahun 1910, ketika banyak dari lulusan pertama Universitas Utrecht dan Leiden yang selanjutnya dikenal sebagai pejuang kemerdekaan. Profesi advokat sudah banyak dikenal dan memilih profesi advokat. Seusai merdeka, Indonesia adalah Negara hukum. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.

Sebagai Negara hukum, Indonesia tentunya mengakui hak setiap warga negaranya untuk semua sama dihadapan hukum serta hak setiap orang untuk pengakuan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, perlakuan yang sama dimata hukum dan masih banyak hak dan kewajiban lainnya sebagaimana termaktub dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 UUD 1945. Upaya untuk memenuhi dan implementasi fitrah Negara Indonesia sebagai Negara hukum yang mengakui, melindungi, dan menjamin hak asasi warga Negara akan kebutuhuan access to justice dan asas equality before the law adalah dengan pemberian bantuan hukum.

Dalam upaya menjamin pemenuhan hak warga Negara terhadap keadilan tidak hanya semata melekat pada Negara. Advokat, sebagai profesi yang mulia atau istilah kerennya officium nobile juga dianggap mempunyai kewajiban itu. Berdasarkan Pasal 22 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat yang berbunyi:

“Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu.”

Dasar Hukum Pro Bono

Pro bono diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU 18/2003), Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma (PP 83/2008), dan Peraturan Perhimpunan Advokat Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma (Peraturan Peradi 1/2010). Dan disebutkan bahwa advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu.

Apabila merujuk pada Pasal 1 angka 3 PP 83/2008, yang berbunyi:

“Bantuan hukum secara cuma-cuma (pro bono) adalah jasa hukum yang diberikan advokat tanpa menerima pembayaran honorarium meliputi pemberian konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan pencari keadilan yang tidak mampu.”

Pasal 3 ayat (1) Peraturan Perhimunan Advokat Indonesia (Peradi) No.1 Tahun 2010, yang berbunyi:

“Advokat dalam melaksanakan pemberian bantuan hukum secara Cuma-Cuma dilarang untuk menerima dana untuk kepentingan apapun dari pencari keadilan yang tidak mampu”.

Sementara maksud dari pencari keadilan yang tidak mampu berdasarkan Pasal 1 angka 4 PP No.83 Tahun 2008 dan Pasal 1 angka 3 Peraturan Peradi No.1 Tahun 2010 adalah orang perseorangan atau sekelompok orang yang secara ekonomis tidak mampu yang memerlukan jasa hukum advokat untuk menangani dan menyelesaikan masalah hukum. Termasuk dalam kategori pencari keadilan tidak mampu adalah orang atau kelompok yang lemah secara sosial-politik, sehingga kesempatannya untuk mendapatkan bantuan hukum tidak sama dengan anggota masyarakat lainnya.

Baca juga: Pengertian Advokat

Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) dan (2) PP No.83 Tahun 2008, Pemberian pro bono pun tidak terbatas di dalam ruang sidang/ pengadilan (pada setiap tingkat proses peradilan), tetapi juga dilakukan di luar pengadilan.            Namun perlu diingat oleh seorang advokat, sebagaimana diatur dalam Pasal 10 PP 83/2008. Bahwa dalam memberikan pro bono, advokat harus memberikan perlakuan yang sama dengan pemberian bantuan hukum yang dilakukan dengan pembayaran honorarium.

Adapun advokat dianjurkan pro bono, sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 11 Peraturan Peradi 1/2010: “Advokat dianjurkan untuk memberikan Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma setidaknya 50 (lima puluh) jam kerja setiap tahunnya.” Pro bono dapat dilaksanakan oleh advokat melalui atau bekerjasama dengan lembaga-lembaga bantuan hukum (Pasal 12 ayat (1) Peraturan Peradi No. 1 Tahun 2010).

Referensi

Frans Hendra Winarta, Pro Bono Publico: Hak Konstitusional Fakir Miskin untuk Memperoleh Bantuan Hukum (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), 29.

Monika Suhayati, “Pemberian Bantuan Hukum Cuma-Cuma Oleh Advokat Berdasarkan Undang-Undang No.18 Tahun 2003 Tentang Advokat,” Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan dan Kesejahteraan, Vol. 3, No. 2 (Desember, 2012), 227. Diakses 17, Oktober, 2023. https://dx.doi.org/10.22212/jnh.v3i2.232.

Exit mobile version