Pengantar
Demokrasi merupakan tatanan hidup bernegara yang menjadi pilihan negara-negara di dunia pada umumnya.
Dalam praktek pelaksanaannya, demokrasi yang memposisikan rakyat dalam penentuan kebijakan negara sering bergeser ketika peranan negara yang terwujud dalam pemerintahan melakukan langkah-langkah yang berusaha membatasi hakekat kehendak dan kekuasaan rakyat dalam penyelenggaran negara.
Pada hakikatnya, demokrasi tidaklah bisa menjamin kebebasan secara mutlak, perlu adanya komitmen untuk membangun tradisi kebebasan, tradisi diantara semua warga yang diwujudkan dalam aturan serta penegakan hukum yang tegas, bahwa setiap orang bebas berbicara dan menyalurkan pendapatnya.
Demokrasi mencakup kondisi, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara.
Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu negara (umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica) dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untukkesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Demokrasi Indonesia dipandang perlu dan sesuai dengan pribadi bangsa Indonesia. Selain itu yang melatar belakangi pemakaian sistem demokrasi di Indonesia.
Hal itu bisa kita temukan dari banyaknya agama yang berkembang di Indonesia, selain itu banyaknya suku, budaya, dan bahasa, kesemuanya merupakan karunia Tuhan yang patut kita syukuri.
Baca juga: SEJARAH DINASTI POLITIK DI INDONESI
Demokrasi dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia
1. Demokrasi Parlementer (1945-1959)
Demokrasi parlementer menonjolkan peranan parlementer serta partai-partai. Sistem parlementer yang mulai berlaku sebulan sesudah kemerdekaan diproklamirkan dan kemudian diperkuat Undang-Undang Dasar 1945 dan 1950.
Undang -Undang Dasar 1950 menetapkan berlakunya sistem parlementer dimana badan eksekutif terdiri dari presiden sebagai kepala negara konstitusional beserat menteri-menterinya yang mempunyai tanggung jawab politik.
Karena fragmentasi parati-partai usia kabinet pada masa ini jarang dapat bertahan lama. Koalisi yang dibangun dengan sangat gampang pecah.
Sistem parlementer mendapatkan legalitasnya di dalam pasal 118 (2) Konstitusi, RIS dan pasal 83 (2) UUDS.
Tidak stabilnya pemerintahan 1945-1959 merupakan salah satu indikasi gagalnya suatu sistem politik, ditandai dengan jatuh bangunnya kabinet selama 14 tahun 17 kali ganti Kabinet.
Koalisi ternyata kurang baik dan partai – partai dalam koalisi tidak segan – segan untuk menarik dukunganya sewaktu-waktu, sehingga kabinetseringkali jatuh karena keretakan dalam koalisi sendiri.
Dengan demikianditimbulkan kesan bahwa partai-partai dalam koalisi kurang dewasa dalammenghadapi tanggung jawab mengenai permasalahan pemerintah.
Anggota partai-partai yang tergabung dalam konstituante untuk mencapai consensusmengenai dasar Negara untuk undang-undang dasar baru, mendorong Ir. Soekarno sebagai presiden untuk mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menentukan berlakunya kembali Undang- Undang Dasar 1945, dengan demikian masa berdasarkan system parlementer berakhir.
2. Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Masa ini ditandai dengan dominasi presiden, terbatasnya partai politik, perkembangan pengaruh komunis dan peran ABRI sebagai unsur politik semakin luas.
Undang-Undang Dasar 1945 membuka kesempatan bagi seorang presiden untuk bertahan selama sekurang-kurangnya lima tahun.
Akan tetapi ketetapan MPRS No. III/63 yang mengangkat Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup telah membatalkan pembatasan waktu lima tahun yang telah ditentukan oleh Undang-Undang Dasar.
Selain itu banyak sekali tindakan yang menyimpang terhadap ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar.
Misalnya dalam tahun 1960 Ir. Soekarno sebagai presiden membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat hasil pemilihan umum, padahal dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 secara eksplisit ditentukan bahwa presiden tidak mempunyai wewenang untuk berbuat demikian.
Selain dari itu terjadi penyelewengan di bidang perundang – undangan dimana berbagai tindakan pemerintah dilaksanakan melalui Penetapan Presiden(Penpres) yang memakai Dekrit 5 Juli sebagai sumber hokum.
Lagi pula didirikan badan-badan ekstra konstitusionil seperti Front Nasional yang ternyata dipakai oleh fihak komunis sebagai arena kegiatan, sesuai dengantaktik Komunisme Internasional yang menggariskan pembentukan front Nasional sebagai persiapan kea rah terbentuknya demokrasi rakyat.
Partai politik dan pers yang dianggap menyimpang dari “ rel revolusi” tidak dibenarkan dan dibreidel, sedangkan politik mercusuar di bidang hubungan luarnegeri dan ekonomi dalam negeri telah menyebabkan keadaan ekonomi menjadi tambah suram G 30 S/PKI telah mengakhiri periode ini dan membuka peluang untuk dimulainya demokrasi Pancasila.
Baca juga: Demokrasi
3. Demokrasi Pancasila Orde Baru (1965-1998)
Demokrasi Pancasila merupakan demokrasi konstitusional yang menonjokan sistem presidensial. Landasan formal periode ini adalah pancasila, UUD 1945, dan Tap MPRS/MPR dalam rangka untuk meluruskan kembali penyelewangan terhadap UUD 1945 yang terjadi pada demokrasi terpimpin.
Ketetapan MPRS No.lll/1963 yang menetapkan masa jabatan seumur hidupuntuk Ir. Soekarno telah dibatalkan dan jabatan presiden kembali menjadi jabatan efektif setiap lima tahun.
Demokrasi Pancasila secara garis besar menawarkan tiga komponen demokrasi. Pertama, demokrasi dalam bidang politik pada hakikatnya adalah menegakkan kembali asas-asas negara hukum dan kepastian hukum.
Kedua, demokrasi dalam bidang ekonomi pada hakikatnya adalah kehidupan yang layak bagi semua warga negara.
Ketiga, demokrasi dalam bidang hukum pada hakikatnya bahwa pengakuan dan perlindungan HAM, peradilan yang bebas yang tidak memihak.
Hal yang sangat disayangkan di masa ini adalah alih-alih pelaksanaan ajaran pancasila secara murni dan konsekuen.
Demokrasi Pancasila yang dikampanyekan oleh orde baru sebatas retorika politik belaka. Dalam praktik kenegaraan dan pemerintahanya, penguasa orde baru bertindak jauh dari prinsip-prinsip demokrasi.
Ketidak demokratisan penguasa orde baru ditandai oleh: (1) domiannya peranan politik (ABRI); (2) birokratisasi dan sentralisasi pengambilan keputusan politik; (3) pengebirian peran dan fungsi partai politik; (4) campur tangan pemerintah dalam berbagai urusan partai politik dan publik.
4. Demokrasi pancasila Era Reformasi (1998-Sekarang)
Periode ini erat hubungannya dengan gerakan reformasi rakyat yang menuntut pelaksanaan demokrasi dana HAM secara konsekuen.
Tuntunan ini ditandai dengan lengsernya Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaan orde baru pada Mei 1998, setelah lebih dari tiga puluh tahun berkuasa dengan Demokrasi Pancasilanya.
Penyelewengan atas dasar negara pancasila oleh penguasa orde baru berdampak pada sikap anti pati sebagian masyarakat.
Dalam masa pemerintahan Presiden Habibie inilah muncul beberapa indikatorpelaksanaan demokrasi di Indonesia. Pertama, diberikannya ruang kebebasanpers sebagai ruang publik untuk berpartisipasi dalam kebangsaan dan kenegaraan.Kedua, diberlakukannya sistem multipartai dalam pemilu tahun 1999.
Habibie dalam hal ini sebagai Presiden Republik Indonesia membuka kesempatan kepadarakyat untuk berserikat dan berkumpul sesuai dengan ideologi dan aspirasipolitiknya.
Dua hal yang dilakukan Presiden Habibie di atas merupakan fondasi yang kuatbagi pelaksanaan demokrasi Indonesia pada masa selanjutnya.
Demokrasi yangditerapkan negara kita pada era reformasi ini adalah demokrasi Pancasila, tentusaja dengan karakteristik yang berbeda dengan orde baru dan sedikit mirip dengandemokrasi parlementer tahun 1950-1959.
Pertama, Pemilu yang dilaksanakan jauhlebih demokratis dari yang sebelumnya. Sistem pemilu yang terus berkembangmemberikan jalan bagi rakyat untuk menggunakan hak politiknya dalam pemilu,bahkan puncaknya pada tahun 2004 rakyat bisa langsung memilih wakilnya di lembaga legislatif dan presiden/wakil presiden pun dipilih secara langsung.
Tidak hanya itu, mulai tahun 2005 kepala daerah pun (gubernur dan bupati/walikota) dipilih langsung oleh rakyat. Kedua, rotasi kekuasaan dilaksanakan dari mulai pemerintahan pusat sampai pada tingkat desa.
Ketiga, pola rekrutmen politik untukpengisian jabatan politik dilakukan secara terbuka dimana setiap warga negarayang mampu dan memenuhi syarat dapat menduduki jabatan politik tersebut tanpa adanya diskrimisi.
Keempat, sebagian besar hak dasar rakyat bisa terjaminseperti adanya kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan pers dan sebagainya.
Kondisi demokrasi Indonesia saat ini bisa diibaratkan sedang menuju sebuahkesempurnaan. Akan tetapi jalan terjal menuju itu tentu saja selalu menghadang.
Tugas kita adalah mengawal demokrasi ini supaya teraplikasikan dalam seluruhaspek kehidupan.