PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia

Penjelasan Gadai atau Rahn, Lengkap!

konsultasi
Gadai/Rahn

Pengertian Gadai (Rahn)

Menurut Bahasa, gadai (rahn) berarti tetap (at-thubut), penahanan (al-habs), lama (al-dawam), dan harus (al-luzum).

adapula yang menjelaskan rahn adalah terkurung atau terjerat.

Sedangkan menurut istilah syara’ ialah menaruh barang (dijadikan) sebagai uang, untuk penguat perjanjian hutang,

dan barang tersebut akan menutup (hutang) ketika terhalang (tidak dapat) melunasinya. Dalam definisi lain, rahn yaitu

penitipan barang kepada orang lain dengan tujuan untuk memperoleh satu pinjaman dan barang tersebut digadaikan

seperti titipan untuk memperkuat jaminan pinjamannya.

Menurut Rahmat Syafi’i rahn ialah: “Penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai

pembayaran dari barang tersebut”. Menurut Muhammad Rawwas Qal’ahji rahn yaitu: “Menguatkan hutang dengan

jaminan barang”. Menurut ulama madzhab Maliki rahn adalah: “Harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan

hutang yang bersifat mengikat”. Menurut ulama madzhab Hanafi rahn yakni: “Menjadikan suatu barang sebagai

jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayaran hak tersebut, baik seluruhnya maupun

sebagiannya”.

Menurut ulama madzhab Syafi’i dan Hanbali mengartikan rahn: ”Menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang,

yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berhutang tidak bisa membayar hutangnya.

Adapun didalam hukum positif terdapat didalam hukum perdata pasal 1150 BW gadai (rahn) adalah: “Suatu hak yang

diperoleh seorang yang mempunyai piutang atau suatu barang bergerak”.

Sedangkan dalam hukum adat pengertian gadai itu diartikan “Penyerahan tanah untuk menerima pembayaran

sejumlah uang secara tunai.

Maka dapat kita kemukakan bahwa rahn merupakan suatu barang yang kemudian oleh penggadai (yang

membutuhkan dana) diberikan kepada murtahin (pemberi dana) agar barang tersebut disimpan dan dipegang dengan

sebagai jaminan bilamana penggadai memiliki iktikad tidak baik atau tidak mampu untuk membayar utangnya maka

murtahin memiliki hak untuk mejual atau menjadikan barang gadai itu sebagai gantinya.

Landasan Rahn dalam Al-Quran

Al-quran merupakan sumber hukum islam yang memiliki tingkatan paling tinggi sehingga rujukan yang awal ialah berdasarkan ayat-ayat al-quran, dalam setiap tindakan muslim haruslah berdasarkan apa yang telah disyariatkan dalam al-quran karna sebagaimana kita ketahui al-quran merupakan berupa petunjuk dan tuntunan tuntunan dalam berkehidupan.

وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ (

٢٨٣

“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Rabbnya dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya dan Allah Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. [Al-Baqarah : 283].

Syaikh Muhammad ‘Ali As-Sayis berpendapat bahwa ayat al-qur’an diatas adalah  petunjuk untuk menerapkan prinsip kehati-hatian bila seseorang akan melakukan muamalah utang piutang yang memakai jangka waktu dengan orang lain, dengan cara menjaminkan sebuah barang kepada orang yang berpiutang (rahn).

Dan rahn dapat dilaksanakan ketika sesorang dalam perjalanan (musafir) dan transaksi yang demikian ini harus dicatat dalam sebuah berita acara (ada orang yang menuliskannyadan ada orang yang menjadi saksi terhadapnya).

Landasan Rahn dalam Hadist

Selanjutnya landasan yang kedua ialah berdasarkan hadis rasulullah yakni berdasarkan sunnah fi’liyah sebagaimana dicontoh dengan amalan Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau pernah melakukan sistem gadai ini, sebagaimana dikisahkan Umul Mukminin A’isyah Radhiyallahu ‘anha.

“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli dari seorang yahudi bahan makanan dengan cara hutang dan menggadaikan baju besinya”[HR Al Bukhari no 2513 dan Muslim no. 1603]

Landasan Rahn dalam Ijma’

Para ulama telah bersepakat bahwa rahn itu diperbolehkan, karena banyak kemashalatan yang terkandung didalamnya dalam rangka hubungan antar manusia.

Menurut jumhur ulama bahwa rahn adalah dibolehkan, tetapi tidak diwajibkan karena gadai hanya jaminan saja jika kedua belah pihak tidak saling mempercayai. Salah satu alasan jumhur ulama membolehkannya gadai adalah berdasarkan pada kisa Nabi Muhammad SAW.

Landasan Rahn dalam Kaidah Fiqh

“Hukum asal segala sesuatu adalah kebolehan sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya”.

Landasan Rahn dalam Fatwa DSN MUI

Dewan syariah Nasional MUI  mengeluarkan dua buah fatwa. Fatwa pertama yaitu fatwa nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn yang isinya antara lain sebagai berikut.

1. Bahwa pinjaman dengan menggandaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn diperbolehkan dengan ketentuan sebagai berikut.

2.   Ketentuan Umum

    a.  Murtahin

    b.  Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin

    c.  Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin

    d. Besar biaya memeliharaan dan penyimpanan marhun  tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman

    e. Penjualan marhun ,apabila jatuh tempo murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera melunasi hutangnya.

Apabila tidak dapat melunasi hutangnya maka marhun dijual paksa/di eksekusi melalui lelang secara syariah hasilnya digunakan untuk melunasi utang ,biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan.Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban rahin.

3. Ketentuan Penutup

    a. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara para pihak, maka penyelesainnya dilakukan melalui badan arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan musyawarah.

    b. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Fatwa Kedua nomer 26/DSN/MUI/3/2002 Tentang Rahn Emas Yang isinya :

1.      Rahn Emas dibolehkan berdasarkan prinsip rahn

2.      Ongkos dan biaya penyimpanan barang ditanggung oleh penggadai

3.      Ongkos yang dimaksud dengan ayat dua besarnya didasarkan pada pengeluaran yang nyata-nyata di perlukan

4.      Biaya penyimpanan barang dilakukan berdasarkan akad Ijarah.

Baca juga: Pandangan Islam Terhadap Pemanfaatan Barang Gadai

Rukun dan Syarat Rahn

Di dalam Rahn (gadai) ada rukun dan syarat-syarat nya yang harus di penuhi agar rahn tersebut sah dan tidak melanggar hukum islam, ada beberapa rukun rahn yaitu antara lain:

Jumhur ulama sepakat bahwa rukun rahn itu diantaranya diwujudkan dengan adanya :

    a. Shigat lafal ijab (pernyataan menyerahkan barang sebagai jaminanyang dalam hal ini dilakukan oleh (pemilik / rahin) dan qabul (ucapan kesedian memberi utang dan menerima barang jaminan, yang dalam hal ini dilakukan oleh pemilik uang/murtahin).

Berkenaan dengan Sigat dalam pelaksanaan praktek gadai tersebut sudah memenuhi kriteria Sigat ‘aqdi, yakni harus memenuhi 3 ketentuan atau aturan (urusan) pokoknya, yaitu:

1) Harus terang pengertiannya dan maksudnya

2) Harus berkesinambungan antara ijab dan qabul

3) Menggambarkan keinginan yang sungguh-sungguh dari pihak-pihak yang bersangkutan.

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa sighat dalam rahn tidak boleh memakai syarat atau berkaitan dengan suatu hal atau dikaitkan dengan masa yang akan datang.

Hal ini karena, sebab rahn sama dengan jual beli, jika memakai syarat tertentu, syarat tersebut batal dan rahn tetap sah.

Ulama Hanbali, Malikiyah dan Syafiiyah menyatakan bilamana syarat itu adalah syarat yang mendukung kelancaraan dan ketertiban terlaksananya perjanjian akad maka syarat itu diperbolehkan, tetapi apabila syarat itu bertentangan dengan tabiat akad rahn maka syaratnya batal dan tidak sah.

b. Aqidain (yakni rahin dan murtahin).

Kedua orang yang ber akad haruslah al ahliyah, menurut Syafiiyah ahliyah ialah berakal dan mumayyiz tetapi tidak disyaratkan harus baligh.

Dengan demikian, anak kecil yang sudah mumayyiz, dan orangh bodoh yang berdasarkan izin dari walinya dibolehkan melakukan rahn.

Sedangkan menurut ulama Hanafiyah al ahliyah adalah bahwa rahn tidak boleh dilakukan oleh orang yang mabuk, gila, bodoh atau anak kecil yang belum baligh.

Begitupula seorang wali tidak boleh menggadaikan barang yang dikuasainya, kecuali jika dalam keadaan darurat dan meyakini bahwa pemegangnya yang dapat dipercaya.

Akad adalah salah satu sebab dari yang ditetapkan syara’, karenanya timbullah beberapa hukum. Secara etimologi, akad antara lain berarti pertalian, persambungan dan janji.

Menurut terminologi, akad adalah suatu perikatan antara ijab Kabul dengan cara yang dibenarkan syara’ yang menetapkan adanya akibat-akibat hukum pada obyeknya sehingga hal itu mengikat kepada masing-masing pembuat akad. Ijab adalah penyampaian pihak pertama mengenai isi perikatan yang diinginkan, sedangkan kabul adalah jawaban pihak kedua untuk menerimanya.

Pada prinsipnya, setiap sesuatu dalam muamalat adalah dibolehkan selama tidak bertentangan dengan syariah, mengikuti kaidah fiqih yang dipegang oleh mazhab Hambali dan para fuqaha lainnya.

Allah SWT, memerintahkan orang- orang yang beriman agar memenuhi akad yang mereka lakukan seperti yang disebut, dalam Al Qur’an :

بالعقود اوفوا امنوا الذین یاأیھا

Syarat-syarat yang berlaku dalam sebuah akad adalah syarat-syarat yang ditentukan oleh masing-masing mereka yang berakad, selama tidak melanggar ajaran Islam maak hal itu diperbolehkan. Rasulullah SAW. memberi batasan tersebut dalam hadist:

الصلح جائز بين المسلمين إلا صلحا أحل حراما أو حرم حلالا، المسلمون على

شروطهم.

Untuk itu, dalam bermuamalat harus berdasarkan pada kerelaan dan tanpa adanya suatu paksaan, serta tidak dibenarkan untuk mengambil hak orang lain dengan cara yang haram seperti disebutkan dalam Al-Qur’an:

ياأيها الذین ءامنوا لاتاكلوا أمو لكم بینكم بالب طل إلا ن تكون تج رة عن تراض منكم, ولاتقتلوا أنفسكم.

Ulama fikih menetapkan bahwa akad yang telah memenuhi rukun dan syaratnya mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak-pihak yang melakukan akad dan wajib untuk ditaati serta dijalani oleh masing-masing pihak.

Setiap manusia memiliki kebebasan untuk meningkatkan diri pada suatu akad dan wajib dipenuhi segala akibat hukum yang ditimbulkan akad tersebut. Dalam persoalan kemerdekaan pihak-pihak yang melakukan akad dalam menentukan syarat-syarat ini, terdapat perbedaan pendapat ulama fikih.

Menurut ulama Mazhab az-Zahiri, bahwa bilamana syarat-syarat yang diajukan para pihak tidak diakui oleh syarak sebagaimana tercantum dalam Al-Quran dan Sunah adalah batal dan tidak sah.

Menurut jumhur ulama fikih, selain ulama Mazhab az-Zahiri, pada dasarnya pihak-pihak yang berakad itu memiliki kebebasan untuk menentukan syarat-syarat tersendiri dalam suatu akad.

Namun demikian, kebebasan menentukan syarat dalam akad tersebut ada yang bersifat mutlak, tanpa batas, selama tidak ada larangan di dalam Al-Qur’an dan sunah, sebagaimana yang dikemukakan ulama Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki.

Menurut ulama mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi’i, sekalipun pihak-pihak yang berakad bebas dalam menentukan syarat, tetapi kebebasannya itu tetap mempunyai batas (terbatas), yaitu selama syarat itu tidak bertentangan dengan kehendak syara’ dan tidak bertentangan dengan hakikat akad itu sendiri, misalkan dalam akad nikah, istri mengemukakan syarat kepada suaminya, bahwa ia tidak boleh digauli atau suami mensyaratkan bahwa ia tidak wajib membayar nafkah.

Syarat ini pun batal, karena sesuai dengan ketentuan syarak, suami berkewajiban membayar nafkah istrinya sesuai dengan kemampuannya.

Oleh sebab itu, ulama Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa setiap orang yang melakukan akad bebas untuk mengemukakan dan menentukan syarat, selama syarat itu tidak bertentangan dengan kehendak syarak dan tidak bertentangan pula dengan hakikat akad.

Menurut ulama Mazhab Hambali dan Mazhab Maliki, pihak-pihak yang berakad diberikan kebebasan dalam mengemukakan persyaratan dalam suatu akad selama syarat-syarat itu bermanfaat bagi kedua belah pihak.

Misalnya, menentukan sifat-sifat tertentu yang bermanfaat terhadap barang yang dibeli, seperti barang yang dibeli itu harus dibungkus rapi dan diantarkan ke rumah Bagus Hermawan: Tinjauan Hukum Islam terhadap Penggunaan.pembeli.

Namun demikian, mereka tetap menyatakan bahwa syarat itu tidak boleh bertentangan dengan kehendak syarak.

a. Syarat dalam Akad

Pada prinsipnya, setiap muamlah yang tidak bertentangan denga  islam ialah boleh, mengikuti kaidah fiqih yang dipegang oleh mazhab Hambali dan para fuqaha lainnya yaitu sebagaimana yang terdapat dalam kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh sebagai berikut:

يصح تعليق العقود والفسوخ والتبرعات والالتزامات بالشروط ولا يمنع منها إلا ما ورد

بالنهي عنه نص من الشارع.

Allah SWT. juga memerintahkan orang-orang yang beriman agar memenuhi akad yang mereka lakukan seperti yang disebut dalam Al Qur’an :

بالعقود اوفوا امنوا الذین یاأیھا

Syarat-syarat yang berlaku dalam sebuah akad, adalah ketentuan dan aturan-aturan yang buat oleh pihak ber akad, dengan catatan selama hal itu tidak bertentangan dengan syarak. Rasulullah SAW. memberi batasan tersebut dalam hadist:

الصلح جائز بين المسلمين إلا صلحا أحل حراما أو حرم حلالا، المسلمون على

شروطهم.

Dalam bermuamalat harus berdasarkan pada Saling suka, rela dan tanpa adanya suatu paksaan, serta tidak dibenarkannya untuk mengambil hak orang lain dengan cara yang haram seperti disebutkan dalam Al-Qur’an:

ياأيها الذين ءامنوا لاتأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إلا أن تكون تجارة عن تراض

منكم، ولاتقتلوا أنفسكم

Berkenaan dengan ma’qud ‘alaih tersebut, baik marhun (barang gadai) maupun marhun bih langsung ada saat akad dilaksanakan dan berlangsung.

Yakni penyerahan uang dari murtahin secara langsung, dan penyerahan jaminan secara lisan oleh rahin . Setelah serah terima, jaminan berada di bawah kekuasaan murtahin. Namun, bukan berarti murtahin boleh memanfaatkan harta jaminan itu.

Sebab, jaminan hanyalah tawtsîq, sedangkan manfaatnya, tetap menjadi hak pemiliknya, yakni ar-rahin . Karena itu, ar-rahin berhak memanfaatkan barang yang diagunkan; juga berhak menyewakan barang agunan, misal menyewakan rumah atau kendaraan yang dia jaminkan, baik kepada orang lain atau kepada al-murtahin, tentu dengan catatan tidak mengurangi manfaat barang yang dijaminkan marhun).

Ia juga boleh menghibahkan manfaat barang itu, atau mengizinkan orang lain untuk memanfaatkannya, baik orang tersebut adalah murtahin (yang mendapatkan jaminan) maupun bukan.

c. Marhun (jaminan/borg)

 Kemudian berkaitan dengan syarat gadai diantaranya yaitu:

Berkenaan dengan syarat yang melekat pada jaminan, para ulama menyepakati bahwasanya yang menjadi syarat yang harus melekat pada jaminan merupakan syarat yang berlaku pada barang yang dapat diperjual-belikan, dalam praktek gadai tersebut marhun yang dimaksudkan ialah berupa jaminan.

Ulama Hanafiyah mensyaratkan marhun sebagai berikut:

1.      Dapat diperjual belikan

2.      Bermanfaat

3.      Jelas

4.      Milik rahin

5.      Bisa diserahkan

6.       Tidak bersatu dengan harta lain

7.      Dikuasai oleh rahin

8.      Harta yang tetap atau dapat dipindahkan

Baca juga: Pegadaian

d. Marhun bih (utang)

Sementara itu yang berkaitan dengan marhun bih ini harus merupakan barang yang dapat dimanfaatkan dan berguna, apabila marhun bih ini tidak dapat dimanfaatkan, maka dianggap tidak sah.Selain itu, marhun bih haruslah merupakan barang yang dapat dihitung jumlahnya, dalam praktek gadai tersebut marhun bih-nya berupa uang.

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *