PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia
Opini  

Pemisahaan dan Pembagian kekuasaan

hukum
Pembagian dan pemisahan kekuasaan

Pengantar

Dalam sebuah praktik ketatanegaraan tidak jarang terjadi pemusatan kekuasaan pada satu orang saja, sehingga terjadi pengelolaan sistem pemerintahan yang dilakukan secara absolut atau otoriter.

Maka untuk menghindari hal tersebut perlu adanya pemisahan dan pembagian kekuasaan, sehingga terjadi kontrol dan keseimbangan diantara lembaga pemegang kekuasaan.

Dengan kata lain, kekuasaan legislatif, eksekutif maupun yudikatif tidak dipegang oleh satu orang saja.

Baca juga: PEMBAGIAN KEKUASAAN HORIZONTAL DAN VERTIKAL

Pengertian

Pemisahan kekuasaan memiliki arti bahwa kekuasaan negara itu terpisah-pisah dalam beberapa bagian, baik mengenai organnya maupun fungsinya.

Maka dari itu, lembaga pemegang kekuasaan negara yang meliputi legislatif, eksekutif, dan yudikatif merupakan lembaga yang terpisah satu sama lainnya, berdiri sendiri tanpa memerlukan koordinasi dan kerjasama.

Setiap lembaga menjalankan fungsinya masing-masing. Contoh negara yang menganut mekanisme pemisahan kekuasaan adalah Amerika Serikat.

Berbeda dengan mekanisme pemisahan kekuasaan, di dalam mekanisme pembagian kekuasaan, kekuasaan negara itu memang dibagi-bagi dalam beberapa bagian (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) tetapi tidak dapat dipisahkan.

Hal ini membawa konsekuensi bahwa diantara bagian-bagian itu dimungkinkan ada koordinasi atau kerjasama. Mekanisme pembagian ini banyak sekali dilakukan di banyak negara di dunia, termasuk Indonesia.

Pendapat Tokoh

Terdapat dua istilah yang berhubungan dengan teori pemisahan kekuasaan yang diutarakan oleh Jhon H Garvey dan T. Alexander Aleinikooff.

Kedua istilah tersebut dijabarkan dalam teori pemisahan kekuasaan yang mengenal dua bentuk pembagian kekuasaan yaitu pembagian kekuasaan secara vertikal dan horizontal.

Desentralisasi berhubungan dengan pembagian kekuasaan secara vertikal antara pemerintah pusat dan daerah atau negara bagian, sedangkan fungsi negara berhubungan dengan pembagian kekuasaan secara horizontal antara fungsi negara legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Teori yang mencakup kedua pembagian kekuasaan baik dalam tatanan pembagian kekuasaan fungsi negara maupun tatanan pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan negara bagian atau pemerintah daerah juga dikemukakan oleh Arthur Maass.

Menurut Arthur Maass pembagian kekuasaan dapat bersifat horizontal disebut sebagai capital division of powers, sedangkan pembagian kekuasaan secara vertikal disebut sebagai areal division of power.

Dalam rangka capital division of powers, fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif masing-masing diberikan kepada suatu badan.

Sedangkan dalam rangka areal division of powers, fungsi-fungsi tertentu misalnya moneter dan hubungan luar negeri diberikan kepada pemerintah pusat, sedangkan fungsi-fungsi lainnya diberikan kepada negara bagian atau pemerintah daerah.

Pemisahan kekuasaan berarti bahwa kekuasaan negara itu terpisah-pisah dalam beberapa bagian, baik mengenai orangnya maupun mengenai fungsinya.

Sedangkan pembagian kekuasaan berarti bahwa kekuasaan itu memang dibagi-bagi dalam beberapa bagian, tetapi tidak dipisahkan. Hal ini membawa konsekuensi bahwa diantara bagian-bagian itu dimungkingkan adanya kerjasama.

Istilah yang digunakan dalam bahasa indonesia sebagai penerjemahan konsep trias politika adalah pemisahan kekuasaan.

Namun jika kita melihat pada pelaksanaan trias politika sebagai yang dicitakan ideal oleh Montesquieu di Inggris ternyata tiap-tiap kekuasaan tidak dapat terpisah.

Akan lebih tepat jika konsep ini disebut sebagai pembagian kekuasaan (distribution of power). Sebab tak ada kekuasaan yang berdiri sendiri. Kekuasaan eksekutif pun memiliki bagian dalam kekuasaan legislatif dan yudikatif.

Baca juga: Montesquieu

Kelemahan Trias Politika

Walaupun ajaran trias politika Montesquieu ini paling berpengaruh dalam penyusunan konstitusi dan didalam praktek ketatanegaraan di dunia, namun pelaksanaannya secara murni mendapatkan keberatan. Alasannya adalah sebagai berikut:

Pemisahan mutlak akan mengakibatkan adanya badan kenegaraan yang tidak ditempatkan di bawah pengawasan suatu badan kenegaraan lainnya.

Tidak adanya pengawasan ini berarti adanya badan kenegaraan untuk bertindak melampaui batas kekuasaanya dan kerjasama antara badan-badan kenegaraan itu menjadi sulit.

Karena ketiga fungsi tersebut masing-masing hanya boleh diserahkan kepada satu badan kenegaraan tertentu saja atau dengan perkataan lain tidak mungkin diterima sebagai asas tetap bahwa tiap-tiap badan kenegaraan itu hanya dapat diserahi satu fungsi tertentu saja, maka hal ini akan menyukarkan pembentukan suatu negara hukum modern (modern rechstaat) dimana badan kenegaraan yang diserahi fungsi lebih dari satu macam dan kemungkinan untuk mengkoordinasi beberapa fungsi.

Pembagian atau Pemisahaan Kekuasaan

Secara institusional, lembaga-lembaga negara merupakan lembaga kenegaraan yang berdiri sendiri yang satu tidak merupakan bagian dari yang lain.

Akan tetapi, dalam menjalankan kekuasaan atau wewenangnya, lembaga Negara tidak terlepas atau terpisah secara mutlak dengan lembaga negara lain, hal itu menunjukan bahwa UUD 1945 tidak menganut doktrin pemisahan kekuasaan.

Dengan kata lain, UUD 1945 menganut asas pembagian kekuasaan dengan menunjuk pada jumlah badan-badan kenegaraan yang diatur didalamnya serta hubungan kekuasaan diantara badan-badan kenegaraan yang ada yakni Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkmah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *