Negara Republik Indonesia adalah negara yang didasarkan atas hukum berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara hukum.” Dampak dari adanya negara hukum adalah segalanya harus didasarkan atas hukum yang ada. Negara hukum adalah negara yang berlandaskan atas hukum dan keadilan bagi warganya. Hukum dalam sebuah negara hukum ini tentunya tidak terlepas dari adanya aparat penegak hukum. Dengan demikian, hukum ini dapat terlaksana jika masyarakat itu sendiri yang patuh didukung dengan adanya pihak-pihak yang mampu untuk mengawasi terlaksananya hukum agar dapat terlaksana dengan baik, maka dibentuklah lembaga-lembaga yang mampu menegakkan hukum untuk mencapai tujuan dari hukum itu sendiri yaitu untuk mencapai keadilan.
Salah satu faktor yang memengaruhi penegakan hukum di antaranya adalah faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang terkait secara langsung dalam proses penegakan hukum yang sangat menentukan bagi keberlangsungan proses penegakan hukum di masyarakat terciptanya suatu keadilan. Permasalahan yang paling mendasar dalam proses penegakan hukum di Indonesia bukan hanya semata-mata terhadap produk hukum yang tidak responsif, melainkan juga berasal dari aparat penegak hukumnya. Untuk meletakkan pondasi penegakan hukum, maka pilar yang utama adalah penegak hukum yang mampu menjalankan tugasnya dengan integritas dan dedikasi yang baik. Karena sepanjang sapu kotor belum dibersihkan, maka setiap pembicaraan tentang keadilan akan menjadi omong kosong belaka (Ahmad Ali, 2001: 74).
Baca juga:
Integritas Pemimpin: Kunci Utama Pemutus Mata Rantai Korupsi
Saat ini banyak kasus pelanggaran hukum yang turut menyeret para aparat penegak hukum. Mulai dari Polisi, Jaksa, hingga Hakim. Dilihat dari beberapa kasus yang melibatkan aparat penegak hukum saat ini, menunjukkan bahwa “mafia” yang berada dalam lembaga peradilan masih tetap eksis di Indonesia. Kasus-kasus yang turut menyeret para aparat penegak hukum menjadi bukti adanya praktik mafia peradilan di Indonesia. Salah satu bukti nyata yang terjadi yaitu terkait kasus tertangkapny lima orang dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Jawa Timur. Lima orang yang ditangkap tim satgas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu adalah hakim, panitera pengganti, hingga pengacara. “Kegiatan tangkap tangan ini atas dugaan tindak pidana korupsi berupa suap pengurusan perkara di PN Surabaya Jawa Timur,” ujar Wakil Ketua KPK di Gedung KPK, Kamis, 20 Januari 2022.
Pemeriksaan tersebut dilakukan langsung Badan Pengawasan Mahkamah Agung, setelah para pihak yang bersangkutan telah ditetapkan menjadi tersangka. Adapun pemeriksaan yang dilakukan nantinya berkaitan penerapan Maklumat Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 01/Maklumat/KMA/IX /2017 perihal Pengawasan dan Pembinaan Hakim, Aparatur Mahkamah Agung, dan Badan Peradilan di bawahnya. Padahal, Mahkamah Agung telah melakukan berbagai upaya untuk mewujudkan integritas aparatur peradilan melalui pembinaan secara terus menerus dan berjenjang serta pengawasan secara melekat. Sesuai dengan ketentuan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2016 tentang Pengawasan dan Pembinaan Atasan Langsung di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di Bawahnya.
Sudah lama sekali agenda pemberantasan korupsi dicanangkan dan digalakkan di negeri ini, namun nyatanya sampai saat ini masih saja menjamur. Bahkan maraknya praktik korupsi di sebuah negara menandakan kalau negara tersebut benar-benar sedang sekarat. Benar sekali, di negara ini, praktik korupsi begitu mudahnya terjadi. Apapun itu, asalkan bisa memperlancar tujuan, semuanya akan dihalalkan melalui korupsi.
Hakim dikenal sebagai seorang yang berkuasa sebagai pemberi hukuman dan keputusan pada seseorang yang sedang berada di wilayah negara yang memiliki kedaulatan secara hukum. Hakim memiliki aturan profesi yang harus ditaati dan berfungsi agar tidak berlaku semena-mena atas stasus sosial dan kedudukan yang dimiliki. Kode etik hakim yang harus dijalani dengan baik dan benar sesuai dengan keputusan bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial. Hakim tersebut tentunya telah melanggar salah satu pelanggaran kode etik hakim di pengadilan, yaitu kasus suap menyuap yang pelanggarannya setara dengan pelanggaran hak asasi manusia, karena telah mendukung pelaku yang melanggar, bukan korbannya. Kasus pelangaran suap dan gratifikasi yang dilakukan oleh hakim di Indonesia telah banyak memenuhi kabar berita di media massa Indonesia. Kasus gratifikasi dan suap yang banyak dilakukan oleh hakim antara lain adalah jual beli perkara, jadi yang bisa membayar hakim dengan harga tinggilah yang bisa memenangkan perkara. Kasus seperti ini banyak tetapi pemberantasan belum bisa dilakukan secara menyeluruh karena banyaknya pengadilan yang ada di seluruh Indonesia.
Jumlah pelanggaran etika yang dilakukan hakim dari tahun ke tahun cukup signifikan. Tercatat periode Januari-Juni 2018, Komisi Yudisial (KY) memberikan rekomendasi sanksi dengan sanksi beragam kepada 30 hakim terlapor yang disampaikan kepada Mahkamah Agung (MA) untuk ditindaklanjuti.
Padahal dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, seorang aparat penegak hukum juga harus berpegang pada kode etik profesinya yang mana hal tersebut harus dijadikan patokan dan pedoman moral di setiap bidang profesinya. Aparat penegak hukum yang harusnya sebagai benteng dalam menegakkan keadilan di tengah masyarakat namun kenyataannya kini berbanding terbalik. Lembaga peradilan yang seharusnya menjadi tempat mencari keadilan malah menjadi tempat layaknya pasar gelap. Hal ini tentunya membuat masyarakat sangat kecewa, karena mereka yang dianggap sebagai sosok pemberi keadilan tetapi justru malah mematok harga untuk sebuah keadilan. Tawaran demi tawaran baik itu uang maupun jabatan yang disuguhkan pada aparat penegak hukum membuat mereka menjadi buta akan dosa dan tugas utama mereka terhadap masyarakat maupun negara.
Berdasarkan analisis KY, ada dua faktor penyebab maraknya pelanggaran tersebut:
Pertama, MA belum menerapkan secara optimal mekanisme cek integritas dalam manajemen hakim. Misalnya, proses penunjukkan hakim yang ikut pelatihan, mutasi hakim, sampai bidding untuk promosi pimpinan pengadilan. MA sering mengabaikan aspek integritas sebagai instrumen penting penilaian. Melalui cek integritas, maka sejak awal dapat dihindari bibit-bibit pelanggaran yang lebih besar. Jadi, hal ini bukan hanya sebagai upaya preventif tapi justru menekan jauh cacat integritas ke depannya. Namun, MA seringkali hanya memfokuskan dan menilai pada aspek terkait kognitif atau kapasitas.
Dalam pandangan KY, seharusnya aspek integritas masih menjadi hal dominan sebagai syarat sosok hakim yang ideal. Memastikan rekam jejak seorang hakim, sama pentingnya dengan menjaga kepercayaan publik demi nama baik peradilan Indonesia.
Kedua, perlunya terus menerus melakukan pembinaan integritas kepada para hakim. Hal ini perlu diikuti dengan memberikan contoh atau keteladanan dari para pimpinan pengadilan sesuai dengan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Fakta yang terungkap dalam pemeriksaan hakim yang dilakukan KY, diketahui ada sejumlah hakim senior yang sama sekali tidak paham bahwa tindakan yang dilakukannya merupakan pelanggaran etika. Ketidakpahaman tersebut karena hakim tersebut belum mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan pembinaan integritas berupa pelatihan etika dari manapun. Akibatnya, seringkali pelanggaran yang dilakukan bukan karena kesengajaan tetapi memang karena ketidaktahuan.
Dua hal tadi, menurut KY sebagai penyebab berulangnya kasus pelanggaran etika hakim. Sekalipun sudah ada upaya perbaikan maupun peningkatan kesejahteraan yang naik signifikan. Panitera MA mengemukakan bahwa Kepaniteraan MA telah rutin melakukan pembinaan. Tujuannya adalah meningkatkan efektivitas pencegahan terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan tugas atau pelanggaran perilaku hakim, pejabat struktural dan staf kepaniteraan. Selain itu kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka meningkatkan disiplin kerja hakim dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan memberikan pemahaman terhadap tentang penanganan dan pengaduan (whistleblowing system).
Dikatakan Panitera MA, penyelenggaraan kegiatan pembinaan seperti ini sebagai pelaksanaan dari Maklumat Ketua Mahkamah Agung RI nomor 1/Maklumat/KMA/IX/2017 tentang pengawasan dan pembinaan hakim, aparatur Mahkamah Agung dan Badan peradilan di bawahnya. Kemudian contoh kasus lain dalam hukum perdata khususnya hukum dagang, makelar atau juga sering disebut dengan istilah calo. Sebenarnya, secara normatif istilah tersebut mengandung konotasi positif. Makelar adalah pekerjaan atau jabatan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang untuk membantu terselenggaranya suatu hubungan dagang yang bersifat keperdataan. Namun akhir-akhir ini kita mendengar penyebutan istilah makelar dengan konotasi negatif. Makelar identik dengan makelar kasus, mafia hukum ataupada masa lalu sering disebut dengan istilah mafia peradilan. Praktek mafia hukum terjadi hampir di semua lini. Di dalam sistem peradilan khususnya peradilan pidana, praktek mafia hukum mulai terjadi pada tahap penyelidikan sampaipada tahap pemasyarakatan. Praktek mafia hukum disebabkan oleh tiga faktor yaitu faktor substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum.
Sebenarnya masih banyak lagi beberapa kasus terkait hal serupa seperti praktik jual beli putusan dan kasus suap menyuap yang menjerat hakim-hakim di negeri ini. Kasus di atas hanyalah sedikitnya contoh yang menunjukkan bahwa mafia peradilan terus ada keberadaannya di Indonesia. Praktik mafia peradilan masih saja terjadi di dalam lembaga peradilan. Bahkan hakim yang seharusnya memiliki kewajiban sebagai bagian dari penegak hukum terpenting di lembaga peradilan juga ikut mengambil peran di dalamnya. Jika ditarik ke belakang, sebenarnya masih banyak lagi kasus-kasus yang bisa dijadikan bukti bahwa mafia peradilan memang tumbuh dan berkembang pesat di negara kita Indonesia.
Penyimpangan dalam proses peradilan pidana sebenarnya bukan hanya dapat terjadi pada tahap penyelidikan, penyidikan (pra-adjudikasi), penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan (adjudikasi), tetapi juga dapat terjadi pada tahap pelaksanaan putusan pengadilan (pasca adjudikasi). Penelitian ini membahas masalah peranan hakim pengawas dan pengamat dalam mencegah terjadinya penyimpangan pada tahap pelaksanaan putusan pengadilan, kendala apa saja yang dihadapi, dan bagaimana upaya mengatasinya. Penelitian ini merupakan penelitian normatif yang sebagian besar datanya diperoleh dari studi kepustakaan didukung oleh penelitian observatoris selama peneliti melaksanakan tugas sebagai jaksa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama ini peranan hakim pengamat dan pengawas belum dijalankan secara maksimal sehingga belum cukup efektif dalam mencegah terjadinya penyimpangan pada tahap pelaksanaan putusan pengadilan. Adapun kendala penyebab hakim pengamat dan pengawas kurang berperan secara efektif, pada umumnya terkait dengan kesibukan hakim pengamat dan pengawas itu sendiri, karena selain dibebani tugas sebagai pengamat dan pengawas yang bersangkutan juga masih dibebani tugas-tugas penanganan perkara. Bahkan tugas sebagai hakim pengamat dan pengawas jutsru dianggap sebagai tugas sampingan. Kendala lain yang dihadapi ialah belum tersedianya sarana dan prasarana, serta tidak adanya biaya operasional. Oleh karena itu ke depan perlu ada reformulasi terhadap keberadaan lembaga hakim pengamat dan pengawas agar dapat berfungsi secara efektif.
Lantas terpikirkan pertanyaan mengapa aparat penegak hukum yang seharusnya menegakkan hukum malah justru melanggar hukum itu sendiri dan apakah itu pantaskah bagi seorang penegak hukum melanggar hukum? Pertanyaan tersebut tentunya bisa memiliki segudang jawaban. Hal tersebut bisa saja terjadi karena berbagai faktor, bisa saja disebabkan karena pengawasan yang lemah didalam lembaga peradilan itu sendiri maupun karena adanya faktor lainnya seperti adanya benturan berbagai kepentingan. Tetapi yang pasti, bukan tidak mungkin hal ini dapat terjadi karena faktor moralitas dan integritas dari para aparat penegak hukum yang lemah, yang menjadi salah satu faktor yang memungkinkan adanya penyalahgunaan wewenang dan praktik suap. Padahal moralitas adalah sesuatu hal yang tidak bisa dilupakan oleh para aparat penegak hukum. Ketika hukum yang ada sudah disusun sedemikian rupa baik, akan tetapi jika tidak didukung dengan aparat penegak hukum yang baik pula maka yang dapat terjadi adalah penyelewengan.
Menjadi suatu ironi apabila aparat penegak hukum yang seharusnya menegakkan hukum malah mereka sendirilah yang melanggar hukum. Bukankah jika hal ini terus terjadi akan membuat masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap aparat penegak hukum saat ini. Meskipun demikian, penulis sangat menyadari bahwa tidak semua penegak hukum terlibat dalam praktik mafia peradilan ini. Penulis yakin bahwa di negeri ini masih banyak aparat penegak hukum yang berupaya menegakkan hukum dengan seadil-adilnya. Hanya saja, kasus-kasus di atas seakan menodai wibawa lembaga peradilan. Sehingga membuat masyarakat berspekulasi bahwa beginilah wujud asli lembaga peradilan di Indonesia.
Menjadi penting untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat yang telah hilang kepada lembaga peradilan. Dibutuhkan peradilan yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme untuk membenahi proses penegakan hukum di Indonesia. Harus ada upaya yang dilakukan untuk memperbaiki citra aparatur penegak hukum. Koreksi dan reformasi terhadap seluruh lembaga peradilan. Dimulai dari proses rekruitmen aparat penegak hukum yang harus dilakukan secara objektif dan lebih meningkatkan lagi pengawasan. Dan hal yang paling penting adalah membangun integritas dan moralitas dalam diri aparat penegak hukum. Karena sebaik apapun hukum itu dibuat tetapi jika tidak didukung dengan aparat penegak hukum yang bermoral dan berintegritas maka semuanya akan sia-sia.
Menjadi penegak hukum harusnya tidak pilih-pilih dalam melakukan tugasnya. Semuanya sama di mata hukum, baik rakyat biasa, pengusaha, penjabat, hingga presiden semuanya sama. Semoga saja, komitmen dan kinerja baik KPK untuk terus memberantas korupsi di negeri ini dapat menular ke badan penegak hukum lainnya. Sehingga mereka dapat saling bekerja sama menciptakan negara Indonesia terbebas dari praktik korupsi dan juga perlunya dukungan penuh dari pemerintahan baru Indonesia saat ini.
Ekspan Duari Mahasiswa Hukum Universitas Bangka Belitung
artikelnya sangat bermanfaat
sgt bermanfaat untuk pengetahuan.
sangat bermanfaat untuk pengetahuan.
Sngt bgus dan in sngt bermnfaat
Hidup ini adalah pilihan, integritas juga pilihan , mari ikuti kata hati guna menuju Indonesia bersih
Sangat bagus
bermanfaat