Konstitusi menjadi dasar negara karena itu konstitusi memuat visi dan tujuan bernegara serta juga mengemukakan prinsip dan aturan dasar yang mengatur tata kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakan.
Salah satu instrumen penting yang utama dalam sistem kekuasaan suatu negara adalah kekuasaan kehakiman, Kekuasaan dimaksud harus senantiasa dijaga kemandiriannya dan ditingkatkan akuntabilitasnya.
Ada 2 (dua) periode perubahan konsitusi dalam perspektif sejarah ketatanegaraan, yaitu: pertama, perubahan konstitusi pasca kemerdekaan; dan kedua, perubahan konstitusi di akhir periode Orde Baru dan/atau di awal periode Orde Reformasi.
Terdapat 4 (empat) kali amandemen, yaitu pada tahun 1999 hingga tahun 2002. Rumusan pasal yang dikemukakan di dalam UUD tahun 1945 pasca amandemen menyatakan secara tegas “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.
Baca juga: Kumpulan Undang-Undang dan Undang-Undang Dasar 1945
PERJALANAN KONSTITUSI INDONESIA
Sejak tanggal 18 Agustus 1945 hingga sekarang, di negara Indonesia pernah menggunakan tiga macam UUD yaitu UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUD Sementara 1950. Dilihat dari periodesasi berlakunya ketiga UUD tersebut, dapat diuraikan menjadi empat periode yaitu:
UNDANG UNDANG DASAR 1945
UUD 1945 pertama kali disahkan berlaku sebagai konstitusi negara Indonesia dalam sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, yaitu sehari setelah kemerdekaan Indonesia. Naskah UUD 1945 ini pertama kali dipersiapkan oleh suatu badan pemerintahan yang dibentuk Jepang yaitu Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Pimpinan dan anggota badan yang diketahui oleh K.R.T Radjiman Wedyodiningrat ini dilantik oleh Pemerintahan Jepang pada tanggal 28 Mei 1945 dalam rangka memenuhi janji pemerintahan Jepang untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia.
Persidangan badan ini dibagi dalam dua periode, yang pembicaraannya terfokus pada upaya mempersiapkan pembentukan sebuah negara merdeka.
Hal ini terlihat selama masa persidangan pertama, yang membicarakan mengenai philosofische grondslag, dasar falsafah yang harus dipersiapkan dalam rangka Indonesia merdeka.
Pembahasan mengenai hal-hal teknis tentang bentuk negara dan pemerintahan bau dilakukan dalam masa persidangan kedua.
Dalam masa persidangan kedua itulah dibentuk Panitia Hukum Dasar yang terdiri dari 19 orang dan diketuai oleh Ir. Soekarno.
Kemudian panitia ini membentuk Panitia Kecil yang diketuai oleh Prof. Dr. Soepomo yang bertugas untuk menyusun rancangan Undang-Undang Dasar yang kemudian disetujui oleh BPUPKI. Kemudian setelah pelantikan resmi panitia ini, diadakan sidang PPKI pada tangal 18 Agustus 1945, dengan susunan acara untuk menetapkan UUD, memilih presiden dan wakil presiden, dan lain-lain. Walaupun UUD 1945 telah resmi disahkan, namun UUD 1945 ini tidak langsung dijadikan referensi dalam setiap pengambilan keputusan kenegaraan dan pemerintahan.
KONSTITUSI RIS 1949
Dalam keadaan terdesak, atas pengaruh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pada tanggal 23 Agustus 1949 diadakannya Konferensi Meja Bundar (Round Table Conference) di Den Haag.
Konferensi ini dihadiri oleh wakil-wakil dari Indonesia dan Bijeenkomst voor Federal Overleg (BFO) serta wakil Nederland dan Komisi PBB untuk Indonesia. Konferensi ini berhasil menyepakati tiga hal, yaitu:
Naskah konstitusi Republik Indonesia Serikat disusun bersama delegasi Republik Indonesia dan delegasi dari BFO ke konferensi tersebut yang kemudian disepakati sebagai Undang-Undang Dasar RIS yang mulai berlaku pada tanggal 27 Desember 1949.
Dengan berdirinya RIS, wilayah RI sendiri masih berdiri di samping RIS dengan UUD 1945 sebagai konstitusinya. Hal itu dikarenakan sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Konstitusi RIS, RI diakui sebagai salah satu negara bagian, yaitu mencakup wilayah yang tersebut dalam persetujuan Renville.
Konstitusi RIS yang disusun dalam rangka Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada tahun 1949 itu, pada pokoknya juga dimaksudkan sebagai UUD yang bersifat sementara.
Dengan demikian, berlakunya UUD 1945 dalam sejarah awal ketatanegaraan Indonesia, baru berakhir bersamaan dengan berakhirnya masa berlakunya Konstitusi RIS yaitu tanggal 27 Agustus 1950, ketika UUDS 1950 resmi diberlakukan.
UNDANG UNDANG DASAR SEMENTARA 1950
Bentuk negara federal mengandung banyak sekali nuansa politis, berkenaan dengan kepentingan penjajahan Belanda. Oleh karenanya, penggagasan bentuk negara federal dianggap memiliki relevansi sosiologis yang cukup kuat untuk diterapkan di Indonesia, tetapi terkait dengan kepentingan penjajahan Belanda maka ide feodalisme menjadi tidak popular.
Apalagi, sebagai negara yang baru terbentuk, Indonesia memang membutuhkan tahap-tahap konsolidasi kekuasaan yang efektif sedemikian rupa, sehingga bentuk negara federasi RIS tidak berlangsung lama dan bentuk negara kesatuan dinilai jauh lebih cocok untuk diterapkan.
Perlahan wibawa pemerintah RIS berkurang, dan akhirnya dicapaikan kesepakatan antara pemerintah RI dan RIS untuk kembali bersatu dan mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kesepakatan itu dituangkan dalam satu naskah persetujuan bersama pada tangal 19 mei 1950, yang pada intinya disepakati dibentuk kembali NKRI sebagai kelanjutan dari negara kesatuan yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Untuk menuju langkah mempersiapkan kembali naskah UUD, maka dibentuklah panitia untuk menyusun kerangkanya. Setelah rancangan selesai, kemudian disahkan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat pada tanggal 12 Agustus 1950, dan oleh Dewan Perwakilan Rakyat serta Senat Republik Indonesia Serikat pada tanggal 14 Agustus 1950.
Selanjutnya, naskah UUD baru ini diberlakukan secara resmi pada tanggal 17 Agustus 1950 yaitu dengan ditetapkannnya Undang-Undang No. 7 Tahun 1950. Undang-Undang Dasar ini bersifat mengganti, sehingga isinya tidak hanya mencerminkan perubahan dari bentuk Konstitusi RIS melainkan juga menerangkan mengenai penggantian naskah Konstitusi RIS dengan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950.
UUDS 1950 ini bersifat sementara juga, seperti halnya yang tercantum dalam Pasal 134 yang mengharuskan Konstituante harus bersama-sama dengan Pemerintah segera menyusun Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan UUDS 1950.
Berbeda dengan Konstitusi RIS yang tidak sempat membentuk Konstituante sebagaimana diamanatkan di dalamnya, amanat UUDS 1950 telah dilaksankan sedemikian rupa, sehingga pemilihan umum untuk pertama kalinya berhasil diselenggarakan di Indonesia pada bulan Desember 1955. Pemilihan umum ini diadakan berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 7 Tahun 1953. Undang-undang ini berisi dua pasal yaitu:
Sayangnya, Majelis Konstituante ini tidak atau belum sampai berhasil menyelesaikan tugasnya untuk menyusun Undang-Undang Dasar baru, maka dari itu Presiden Soekarno menilai bahwa Konstituante telah gagal, dan atas dasar itulah Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 yang salah satu isinya memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai UUD Republik Indonesia selanjutnya.
KEMBALI KEPADA UNDANG UNDANG DASAR 1945
Memang kemudian timbul kontroversi yang luas berkenaan dengan status hukum berlakunya Dekrit Presiden tersebut yang dituangkan dalam Keputusan Presiden itu sebagai tindakan hukum yang sah untuk memberlakukan kembali UUD 1945. Professor Djoko Soetono memberikan pembenaran dengan mengaitkan antara dasar hukum Dekrit Presiden itu dengan prinsip staatsnoodrecht.
Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, prinsip tersebut pada pokoknya sama dengan pendapat yang dijadikan landasan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara masa Orde Baru untuk menetapkan Ketetapan MPR No. XX/MPRS/1966.
Adanya istilah Orde Baru saja menggambarkan pendirian MPRS bahwa masa antara tahun 1959 sampai dengan 1966 adalah masa Orde Lama yang mencerminkan tidak adanya pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Oleh karenanya, MPRS mengeluarkan TAP MPR No XX/MPRS/1966 dengan asumsi bahwa perubahan drastis perlu dilakukan karena adanya prinsip yang sama, yaitu keadaan darurat ( staatsnoodrecht).
Pada masa pemerintahan Orde Lama, kehidupan politik dan pemerintahan sering terjadi penyimpangan yang dilakukan Presiden dan juga MPRS yang justru bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Artinya, pelaksanaan UUD 1945 pada masa itu belum dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hal ini terjadi karena penyelenggaraan pemerintahan terpusat pada kekuasaan seorang Presiden dan lemahnya kontrol yang seharusnya dilakukan DPR terhadap kebijakan-kebijakan Presiden.
Selain itu muncul pertentangan politik dan konflik lainnya yang berkepanjangan sehingga situasi politik,keamanan, dan kehidupan ekonomi semakin memburuk. Puncak dari situasi tersebut adalah munculnya pemberontakanG-30-S/PKI yang sangat membahayakan keselamatan bangsa dan negara. Mengingat keadaan semakin membahayakan, Ir. Soekarno selaku Presiden RI memberikan perintah kepada Letjen Soeharto melalui Surat Perintah 11 Maret 1966(Supersemar) untuk mengambil segala tindakan yang diperlukan bagi terjaminnya keamanan, ketertiban, dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintah. LahirnyaSupersemar tersebut dianggap sebagai awal masa Orde Baru.
Terlepas dari kontroversi-kontroversi di atas, yang jelas, sejak Dekrit 5 Juli 1959 sampai sekarang, UUD 1945 terus berlaku dan diberlakukan sebagai hukum dasar. Sifatnya masih sebagai UUD sementara.
Akan tetapi, karena konsolidasi kekuasaan yang makin lama makin terpusat di masa Orde Baru, dan siklus kekuasaan mengalami stagnansi yang statis karena pucuk pemerintahan tidak mengalami pergantian selama 32 tahun, akibatnya UUD 1945 mengalami proses skaraklisasi yang irasional selama kurun masa Orde Baru itu.
UUD 1945 tidak boleh tersentuh dengan ide perubahan sama sekali. Padahal, UUD 1945 itu jelas merupakan UUD 1945 yang bersifat sementara. Semboyan Orde Baru pada masa itu adalah melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Ternyata tidak, dilihat dari prinsip demokrasi, prinsip negara hukum, dan keadilan sosial ternyata masih terdapat banyak hal yang jauh dari harapan. Hampir sama dengan pada masa Orde Lama, sangat dominannya kekuasaan Presiden dan lemahnya kontrol DPR terhadap kebijakan-kebijakan Presiden/pemerintah.
Selain itu, kelemahan tersebut terletak pada UUD 1945 itu sendiri, yang sifatnya singkat dan luwes (fleksibel),sehingga memungkinkan munculnya berbagai penyimpangan. Tuntutan untuk merubah atau menyempurnakan UUD 1945 tidak memperoleh tanggapan, bahkan pemerintahan Orde Baru bertekat untuk mempertahankan dan tidak merubah UUD 1945.
PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR
Maksud dari perubahan disini adalah pembaruan Undang-Undang Dasar yang baru saja dapat tercapai setelah bangsa Indonesia memasuki era reformasi pada tahun 1998, yaitu setelah Presiden Soeharto berhenti dan digantikan oleh Presiden B.J. Habibie, barulah pada tahun 1999 dapat dilakukan perubahan terhadap UUD 1945 sebagaimana mestinya.
Perubahan konstitusi Indonesia dilakukan dengan memisahkan naskah dari teks aslinya, yang kemudian disebut sebagai amandemen. Perubahan seperti ini merupakan tradisi yang dipelopori oleh Amerika Serikat, dan tidak ada salahnya jika negara demokrasi lain, seperti Indonesia mengikuti prosedur yang baik seperti itu.
Perubahan pertama ditetapkan oleh Sidang Umum Majelis Perusyawaratan Rakyat pada tahun 1999, disusul dengan Perubahan Kedua dalam Sidang Tahunan 2000 dan Perubahan Ketiga dalam Sidang Tahunan 2001.
Pada Sidang Tahunan 2002 dilakukan pula naskah Perubahan Keempat yang melengkapi perubahan sebelumnya, sehingga keseluruhan materi perubahan itu dapat disusun sekali secara lebih utuh dalam satu naskah Undang-undang dasar yang mencakup keseluruhan hukum dasar yang sistematis dan terpadu.
Melalui empat tahap perubahan tersebut, UUD 1945 telah mengalami perubahan yang cukup mendasar. Perubahan itu menyangkut kelembagaan negara, pemilihan umum, pembatasan kekuasaan Presiden dan Wakil Presiden, memperkuat kedudukan DPR, pemerintahan daerah, dan ketentuan yang terinci tentang hak-hak asasi manusia.
Baca juga: Pengertian Konstitusi
ALASAN DAN TUJUAN PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR
Dasar pemikiran yang melatarbelakangi dilakukannya perubahan UUD 1945 antara lain:
Perubahan UUD 1945 memiliki beberapa tujuan, antara lain :
Dalam melakukan perubahan terhadap UUD 1945, terdapat beberapa kesepakatan dasar yang penting dipahami. Kesepakatan tersebut adalah:
EMPAT PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945
UUD 1945 telah mengalami empat kali perubahan, yaitu Perubahan Pertama pada tahun 1999, Perubahan Kedua Tahun 2000, Perubahan Ketiga Tahun 2001, dan Perubahan Keempat Tahun 2002. Dalam empat kali perubahan itu, materi UUD 1945 yang asli telah mengalami perubahan besar-besaran dan dengan perubahan materi yang dapat dikatakan sangat mendasar.
Secara substantive, perubahan yang telah terjadi atas UUD 1945 telah menjadikan konstitusi proklamasi itu menjadikan proklamasi itu menjadi konstitusi yang baru sama sekali, meskipun tetap dinamakan sebagai Undang-Undang Dasar 1945.
Perubahan pertama UUD 1945 disahkan dalam Sidang Umum MPR-RI yang diselenggarakan antara tanggal 12 sampa dengan tanggal 19 Oktober 1999. Pengesahan naskah Perubahan Pertama tepatnya dilakukan pada tanggal 19 Oktober 1999 yang dapat disebut sebagai tonggak sejarah yang berhasil mematahkan semangat konservatisme dan romantisme di sebagian kalangan masyarakat yang cenderung mensakralkan atau menjadikan UUD 1945 bagaikan sesuatu yang suci dan tidak boleh disentuh oleh hide perubahan sama sekali.
Perubahan Pertama ini mencakup perubahan atas 9 Pasal UUD 1945, yaitu atas Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9 (ayat 1) dan ayat (2), Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20 ayat (1) sampai dengan ayat (4), dan Pasal 21.Kesembilan Pasal yang mengalami perubahan atau penambahan tersebut seluruhnya berisi 16 ayat atau dapat disebut sebagai ekuivalen dengan 16 butir ketentuan dasar.
Setelah tembok romantisme dan sakralisme berhasil dirobohkan, gelombang perubahan atas naskah UUD 1945 terus berlanjut, sehingga dalam Sidang Tahunan pada tahun 2000, MPR-RI sekali lagi menetapkan Perubahan Kedua yaitu pada tanggal 18 Agustus 2000.
Cakupan materi yang diubah pada perubahan ini memual lebih banyak lagi, yaitu mencakup 27 Pasal yang tersebar dalam 7 bab, yaitu dalam Bab VI tentang Pemerintah Daerah, Bab VII tentang dewan Perwakilan Rakyt, Bab IXA tentang Wilayah Negara, Bab X tentang Warga Negara dan Penduduk, Bab XA tentang Asasi Manusia, Bab XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, dan Bab XV tentang bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.
Jika ke-27 Pasal tersebut dirinci jumlah ayat atau butir ketentuan yang diaturnya, maka isinya mencakup 59 butir ketentuan yang mengalami perubahan atau bertambah dengan rumusan ketentuan baru sama sekali.
Setelah itu, agenda perubahan dilanjutkan lagi dalam Sidang Tahunan MPR-RI tahun 2001 yang berhasil menetapkan naskah Perubahan Ketiga UUD 1945 pada tanggal 9 November 2001. Bab-bab di dalam UUD 1945 yang mengalami perubahan dalam naskah Perubahan Ketiga ini adalah Bab I tentang bentuk dan Kedaulatan, Bab II tentang majelis Permusyawaratan Rakyat, Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara, Bab V tentang Kementrian Negara, Bab VIIA tentang Dewan Perwakilan Daerah, Bab VIIB tentang Pemilihan Umum, Bab VIIIA tentang badan Pemeriksa Keuangan. Seluruhnya terdiri atas 7 bab, 23 Pasal, dan 68 butir ketentuan atau ayat. Dari segi jumlahnya dapat dikatakan naskah Perubahan Ketiga ini memang paling luas cakupan materinya.
Di samping itu, substansi yang diatur sebagian besar sangat mendasar. Materi yang tergolong sukar mendapat kesepakatan cenderung ditunda pembahasannya dalam sidang-sidang terdahulu. Oleh karena itu, selain secara kuantitaf materi Perubahan ketiga ini lebih banyak muatannya, juga dari segi isinya, secara kualitatif materi Perubahan Ketiga ini dapat dikatakan sangat mendasar pula.
Perubahan yang terakhir dalam rangkaian gelombang reformasi nasional sejak tahun 1998 sampai tahun 2002, adalah perubahan yang ditetapkan dalam Sidang Tahunan MPR-RI tahun 2002.
Pengesahan naskah Perubahan Keempat ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002. Dalam naskah perubahan keempat ini, ditetapkan bahwa: