PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia
Opini  

Wacana Presidential Threshold 0% Menuju Pilpres Tahun 2024

Avatar of Pinter Hukum
konsultasi

Secara garis besar, Presidential Threshold adalah ambang batas kepemilikan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) agar bisa mengusulkan calon presiden dan wakil presiden. Persentase minimal dari kepemilikan kursi ini bisa berupa suara dari partai politik atau gabungan partai politik yang dijadikan syarat untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden Indonesia, hal ini diterapkan sejak tahun 2004.

Seiring berjalannya waktu, aturan tentang Presidential Threshold mengalami perubahan sesuai dengan undang-undang yang mendasari setiap pemilihan umum. Aturan umumnya adalah partai yang mengusulkan merupakan peserta pemilu yang mendapat suara dalam pemilu serta memiliki kursi di DPR.

Pengaturan terkait Presidential Threshold kembali diajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi (MK), tepatnya  Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, dan merupakan percobaan ke-14 kali setelah sebelumnya ditolak terus-menerus.

Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tersebut mengatur terkait Presidential Threshold, yakni sebesar 20%, yang mana awalnya bernilai 15% pada pemilu 2004 dan mengalami perubahan menjadi 20% pada tahun 2009. Perubahan tersebut masih berlaku hingga saat ini.

Faktanya, pemberlakuan Presidential Threshold 20% dinilai telah banyak menimbulkan masalah. Selama tiga periode pemilihan presiden, pasal tersebut tampaknya tidak sejalan dengan sistem ketatanegaraan yang sedang berlaku, sehingga banyak diajukan permohonan uji materil. Banyak pihak juga menilai bahwa Presidential Threshold membatasi demokrasi dan hak politik warga negara, sehingga praktiknya harus dihentikan sebelum pemilihan umum tahun 2024 nanti.

Baca juga: Esensi Keadilan, Belenggu Indonesia Negara Hukum?

Namun, penulis meyakini bahwa penghapusan Presidential Threshold justru akan menjadi isu tersendiri dalam sistem ketatanegaraan dan menjadi bentuk downgrade sistem pemilihan presiden, sehingga mekanisme Presidential Threshold harus tetap dipertahankan dalam pengangkatan presiden.

Selain permasalahan degradasi tersebut, penulis juga menilai adanya potensi permasalahan lain, yaitu hilangnya legitimasi seorang calon presiden. Sebagaimana telah diuraikan dalam definisi Presidential Threshold, seorang calon presiden membutuhkan kekuatan politik dari parlemen sebagai seorang kepala pemerintahan. Presidential Threshold ini sendiri berguna untuk memperkuat aliansi dalam pemerintahan parlementer.

Meskipun sistem pemilu serentak yang kini diterapkan sudah bisa menghasilkan coal-tail effect pada masyarakat, namun tetap diperlukan adanya “penyaringan” calon presiden melalui Presidential Threshold. Hal ini bertujuan agar daftar pilihan untuk rakyat tidak berantakan dan terisi oleh berbagai pihak ambisius tanpa kredibilitas. Jika kekacauan tersebut terjadi, sistem politik Indonesia tentu saja akan terguncang dan akan menimbulkan lebih banyak masalah nantinya.

Di sisi lain, diperlukan juga solusi untuk ambang batas pencalonan saat ini, yang dinilai terlalu tinggi. Solusi untuk permasalahan ini dapat diwujudkan dengan menurunkan batas Presidential Threshold tersebut menjadi 10-15%, daripada menghilangkannya seutuhnya. Dengan kebijakan ini, partai-partai bisa mendapatkan kesempatan lebih besar untuk mengusulkan calon presiden dan wakil presiden, sehingga didapat hasil berupa calon yang lebih bervariasi namun tetap terkendali.

Penurunan batas ambang presiden ini juga perlu didukung oleh kebijakan lain yang serupa, yaitu menaikkan batas ambang parlemen atau Parliamentary Threshold. Hal ini tak lain bertujuan untuk menyederhanakan sistem partai politik yang sudah terlalu kompleks, sehingga menciptakan ruang kerja multipartai yang lebih sederhana. Dengan kebijakan ini, hanya partai yang benar-benar pantas terpilih yang akan mengusulkan calon presiden.

Perampingan parpol ini sekaligus menegaskan komitmen pemerintah untuk memperbaiki sistem presidensial. Ketika Presiden mendapat dukungan mayoritas di parlemen, sistem presidensial harus dilengkapi dengan sistem bi-partai atau multi-partai guna mencegah penyalahgunaan kekuasaan.

Terbukti bahwa partai politik memainkan peran penting dalam membangun infrastruktur politik negara yang demokratis. Namun, penting juga untuk meningkatkan struktur partai saat ini, terutama aspek-aspek yang terkait dengan regenerasi dan keuangan, karena ini adalah sumber subur oligarki Indonesia, yang sering disebut sebagai pembenaran untuk menghilangkan ambang batas presiden.

Selanjutnya, peran partai politik dalam memberikan pendidikan politik harus diperkuat. Pendidikan politik diharapkan dapat meningkatkan kesadaran politik masyarakat dalam skenario ini. Masyarakat harus membangun kesadaran politik agar tidak terjerat dalam politik identitas, politik transaksional, atau polarisasi.

Rakyat di harapkan memilih calon presiden berdasarkan kemampuan, visi, dan misinya dalam mencapai kemajuan. Akibatnya, alih-alih menghilangkan hambatan presidensial, langkah selanjutnya adalah menurunkannya sekaligus memperbaiki sistem kepartaian dan meningkatkan pendidikan politik.

Dari pembahasan tersebut, bisa disimpulkan bahwa penurunan Presidential Threshold menuju 0% kemungkinan besar akan tetap menjadi wacana, karena banyaknya dampak buruk yang akan terjadi apabila kebijakan tersebut disetujui. Kita hendaknya tidak memandang masalah tersebut hanya dari satu sisi dan bersifat terbuka akan outcome yang mungkin keluar dari hasil kebijakan baru tersebut.

Holinda Handayani Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung

Respon (4)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *