PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia
Opini  

Ambang Batas Parlemen Dihapus oleh Mahkamah Konstitusi

Avatar of Pinter Hukum
Ambang Batas Parlemen

Merujuk pada pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), Parlemen adalah lembaga negara yang memiliki kekuasaan untuk membuat Undang-Undang. Mirriam Budiardjo dalam buku Dasar-Dasar Ilmu Politik (2008: hal. 317) menyatakan bahwa Parlemen memiliki dua ciri yaitu ciri perwakilan politik dan ciri fungsional perwakilan yang berkemampuan atau berkewajiban untuk menyatakan dan beraksi atas nama kelompok yang lebih besar.

Jadi apabila masyarakat memiliki aspirasi-aspirasi seperti lingkungan hidup yang sehat, kesejahteraan umum, dan pemerataan pendidikan serta penegakan hukum yang adil, maka hal-hal itu dapat diwujudkan lewat Parlemen. Di sini Parlemen secara umum merumuskan apa saja lingkup fokusnya dan cara merealisasikan hal tersebut. 

Aspirasi-aspirasi tersebut dapat dikumpulkan dan diorganisir sedemikian rupa oleh partai politik. Supaya partai politik bisa masuk ke Parlemen dan membuat kebijakan tidaklah sembarangan, diperlukan syarat-syarat tertentu yang salah satunya yaitu ambang batas parlemen.

Baca juga: Presidential Threshold: Sejarah Ambang Batas Pencalonan dari Pemilu ke Pemilu

Pengertian Ambang Batas Parlemen (Parliamentary Threshold)

Ambang batas parlemen (parliamentary threshold) adalah ketentuan untuk memberi batas minimum pencapaian suara partai politik agar bisa masuk lembaga parlemen. Jadi ketika ada partai politik misalnya yang hanya memperoleh suara ¼ dari batas minimum yang telah ditetapkan, maka ia tidak bisa masuk Parlemen.

Pemberian ambang batas parlemen ini memiliki tujuan supaya tidak sembarang partai politik yang bisa mengisi peran dan jabatan sebagai pembuat Undang-Undang. Hanya partai politik yang memiliki dukungan yang banyaklah yang bisa memiliki kursi legislatif karena legitimasinya yang tinggi dan terjamin. 

Dasar hukum mengenai hal ini terdapat di pasal 414 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang mengatur bahwa partai politik yang ikut dalam kontestasi pemilu wajib untuk meraih paling sedikit 4% dari seluruh jumlah suara sah secara Nasional supaya dapat diikutkan dalam penentuan perolehan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Tentu hal ini bukanlah tanpa soal, sejak diberlakukannya Undang-Undang tersebut maka ketentuannya mengikat secara umum dan mesti dilaksanakan termasuk kepada partai politik yang baru merintis perjalanannya, beberapa pihak menganggap bahwa hal ini bersifat merugikan karena dengan adanya ketentuan tersebut partai baru yang kecil tidak bisa berkembang dan tidak bisa ikut andil dalam pembuatan kebijakan. Berangkat dari hal tersebut, maka lahirlah dinamika ketentuan ambang batas parlemen.

Dinamika Aturan Ambang Batas Parlemen (Parliamentary Threshold)

Merujuk pada KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) yang dimaksud dengan dinamika adalah gerak (dari dalam). Dinamika ketentuan ambang batas parlemen di sini jadi bermakna terdapat sebuah gerakan atau upaya dari dalam negeri (Indonesia) yang berusaha untuk mengubah ketentuan ambang batas parlemen yang telah mapan atau berlaku tetap (established). Dinamika ini tercermin dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 116/PUU-XXI/2023.

Putusan tersebut muncul untuk menanggapi permohonan dari pemohon 1 yaitu Khoirunisa Nur Agustyati (Ketua Yayasan Perludem), dan pemohon 2 yaitu Irmalidanti (Bendahara Pengurus Yayasan Perludem). Pada pokoknya mereka berdua memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan bahwa ketentuan pasal 414 ayat (1) Undang-Undang Pemilu yang mengatur mengenai ambang batas parlemen minimum 4% dari seluruh jumlah suara sah Nasional untuk dapat diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR itu bertentangan dengan UUD 1945.

Mahkamah Konstitusi melalui amar putusannya sendiri menyatakan mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian dengan menyatakan bahwa pasal 114 ayat (1) UU Pemilu tetap berlaku untuk pemilu DPR 2024 dan berlaku secara konstitusional bersyarat pada pemilu DPR tahun 2029 dan seterusnya kalau telah dilakukan perubahan terhadap norma ambang batas parlemen serta besaran angka atau persentase ambang batas parlemen berpedoman pada persyaratan yang telah ditentukan.

Ini artinya Parlemen atau DPR perlu untuk merevisi UU Pemilu yang ada supaya sesuai dengan amar putusan Mahkamah Konstitusi ini.

Dampak Positif dan Negatif Penghapusan Ambang Batas Parlemen (Parliamentary Threshold)

  • Dampak Positif

Ditinjau berdasarkan dampak positifnya, ambang batas parlemen 4 persen memberikan kemudahan bagi partai kecil yang sedang merintis karirnya, memperbanyak representasi masyarakat, dan membuat calon legislatif yang memiliki suara yang kecil tapi memiliki visi dan misi yang jelas untuk bisa berperan dalam menentukan kebijakan.

  • Dampak Negatif

Dengan dihilangkannya parliamentary threshold, maka partai politik semakin mudah untuk berkembang dan menduduki kursi legislatif. Ini bisa membuat partai politik terlalu banyak dan oleh karena itu konflik dan ketidakstabilan nantinya tidak bisa dihindari.

Kesimpulan

Mahkamah Konstitusi menimbang bahwa  Pasal 414 ayat (1) UU 7/2017 tidak sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat, keadilan pemilu, dan kepastian hukum yang dijamin dalam Pasal 1 ayat (2), Pasal 22E ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. MK pada pertimbangan hukumnya juga tetap pada pendirian bahwa ambang batas parlemen dan/atau besaran angka atau persentase ambang batas parlemen merupakan kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang.

Baca juga: Mahkamah Konstitusi: The Guardian of Constitution

Sehingga melalui Putusan Nomor 116/PUU-XXI/2023 Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan pemohon yang mana ketentuan pasal 414 ayat (1) UU Pemilu masih tetap berlaku pada Pemilu DPR tahun 2024 dan berlaku bersyarat pada pemilu 2029 dan seterusnya, apabila telah dilakukan perubahan terhadap norma ambang batas parlemen serta besaran angka atau persentase ambang batas parlemen berpedoman pada persyaratan yang telah ditentukan.

Referensi

Undang-Undang Dasar 1945.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 116/PUU-XXI/2023.

Budiardjo, M, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia “Dinamika”, kbbi.kemdikbud.go.id, Diakses pada tanggal 11 Mei 2024.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *