Kurangnya Eksistensi Pencalonan Kepala Daerah yang Berlatar Mantan Narapidana. Dalam sistem demokrasi, partisipasi dalam politik adalah hak dasar yang dimiliki oleh setiap warga negara, termasuk mantan narapidana. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa eksistensi pencalonan kepala daerah yang berlatar belakang mantan narapidana masih sangat minim. Fenomena ini bukan hanya disebabkan oleh stigma sosial yang melekat pada status mantan narapidana, tetapi juga oleh berbagai faktor hukum, etika, dan politik yang membatasi ruang gerak mereka.
Baca juga: Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Desa Menjadi 8 Tahun
Hak Politik Mantan Narapidana
Dalam konstitusi banyak negara, termasuk Indonesia, semua warga negara dijamin haknya untuk dipilih dan memilih. Namun, hak ini tidak selalu dapat dijalankan secara penuh oleh mantan narapidana. Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, misalnya, mengatur bahwa mantan narapidana yang ingin mencalonkan diri sebagai kepala daerah harus mengumumkan statusnya kepada publik dan telah melewati masa jeda lima tahun setelah selesai menjalani hukuman. Aturan ini menimbulkan dua implikasi penting: pertama, adanya pengakuan terhadap hak politik mantan narapidana; kedua, adanya batasan yang mempersempit peluang mereka untuk berpartisipasi dalam politik.
Aturan ini sering kali menjadi tantangan bagi mantan narapidana yang ingin mencalonkan diri. Meskipun mereka secara hukum telah direhabilitasi, label “mantan narapidana” tetap melekat dan sering digunakan sebagai senjata politik oleh lawan mereka. Publik pun sering memandang skeptis kandidat dengan latar belakang ini, meskipun mereka memiliki kompetensi dan rekam jejak yang baik di bidang lain.
Stigma Sosial dan Persepsi Publik
Salah satu penyebab minimnya eksistensi pencalonan kepala daerah berlatar mantan narapidana adalah stigma sosial. Dalam masyarakat, mantan narapidana sering dianggap tidak layak untuk memimpin karena kesalahan masa lalunya. Persepsi ini diperparah oleh media yang sering menyoroti sisi negatif dari status mereka tanpa memberikan ruang bagi narasi rehabilitasi atau kontribusi positif yang telah mereka lakukan setelah bebas.
Stigma ini juga menciptakan hambatan psikologis bagi mantan narapidana. Banyak dari mereka yang enggan mencalonkan diri karena takut tidak diterima oleh masyarakat atau khawatir akan menghadapi serangan politik yang menjatuhkan. Kondisi ini menunjukkan bahwa meskipun hukum memberikan peluang, tekanan sosial masih menjadi kendala besar.
Dilema Etika dan Moral
Dari sudut pandang etika, muncul perdebatan tentang kelayakan mantan narapidana untuk memimpin. Sebagian pihak berpendapat bahwa seorang pemimpin harus memiliki integritas yang tidak tercela, dan status mantan narapidana dianggap bertentangan dengan prinsip ini. Namun, ada pula yang berargumen bahwa setiap orang berhak mendapatkan kesempatan kedua, termasuk mantan narapidana yang telah menebus kesalahannya.
Dilema ini sering kali dimanfaatkan oleh lawan politik untuk menyerang kandidat berlatar mantan narapidana. Isu moralitas digunakan untuk menciptakan narasi negatif, sehingga kandidat tersebut kehilangan dukungan bahkan sebelum kampanye dimulai. Akibatnya, banyak mantan narapidana yang memilih untuk tidak maju karena khawatir akan merusak citra mereka sendiri dan partai yang mendukungnya.
Reformasi Sistem Politik
Untuk meningkatkan eksistensi mantan narapidana dalam pencalonan kepala daerah, perlu dilakukan reformasi pada berbagai aspek sistem politik.
Pertama, edukasi publik tentang hak politik mantan narapidana dan pentingnya memberi kesempatan kedua perlu digalakkan. Kampanye kesadaran ini bertujuan untuk mengurangi stigma dan menciptakan pemahaman bahwa status mantan narapidana bukanlah akhir dari segalanya.
Kedua, regulasi yang lebih inklusif dan proporsional perlu diterapkan. Misalnya, masa jeda lima tahun yang diwajibkan bagi mantan narapidana dapat dievaluasi agar tidak menjadi penghalang bagi mereka yang telah menunjukkan perubahan signifikan dalam hidupnya. Selain itu, aturan tentang transparansi status mantan narapidana sebaiknya disertai dengan mekanisme untuk melindungi mereka dari eksploitasi politik.
Ketiga, partai politik juga perlu mengambil peran aktif dalam mendukung kandidat berlatar mantan narapidana yang memiliki kapasitas dan integritas. Dukungan partai dapat menjadi modal penting bagi mantan narapidana untuk membangun kembali kepercayaan publik.
Minimnya eksistensi pencalonan kepala daerah yang berlatar mantan narapidana mencerminkan kompleksitas hubungan antara hukum, masyarakat, dan politik. Meskipun hukum memberikan peluang, stigma sosial, dilema etika, dan hambatan politik sering kali membuat mantan narapidana sulit untuk maju. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan langkah-langkah konkret dalam reformasi sistem politik, edukasi publik, dan dukungan institusional.
Dengan memberikan kesempatan kedua kepada mantan narapidana yang telah direhabilitasi, kita tidak hanya menghormati prinsip keadilan dan inklusi, tetapi juga membuka peluang bagi hadirnya pemimpin-pemimpin baru yang membawa perspektif unik dan pengalaman hidup yang berharga. Dalam demokrasi yang sehat, semua warga negara, termasuk mantan narapidana, harus memiliki hak yang sama untuk berkontribusi dalam pembangunan bangsa.