Kronologi Awal Hakim yang Putuskan Menunda Pemilu Diberi Sanksi 2 Tahun Non Palu
Pada tanggal 2 Februari 2023 lalu, tiga orang hakim dari Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat atas nama Tengku Oyong, S.H., M.H. selaku Ketua Majelis Hakim bersama dengan para Hakim Anggota, yaitu H. Bakri S.H., M.H. dan Dominggus Silaban S.H., M.H., yang mengadili perkara perdata yang diajukan oleh penggugat Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) terhadap tergugat Komisi Pemilihan Umum (KPU), menjatuhkan putusan berupa perintah kepada tergugat KPU, untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024 dan untuk melaksanakan tahapan Pemilu dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan dan 7 hari.
Perkara ini bermula dari keinginan Partai Prima untuk ikut berpartisipasi dalam Pemilu tahun 2024 tetapi dalam tahap verifikasi administrasi yang dilakukan oleh KPU, KPU menyatakan bahwa Partai Prima tidak memenuhi syarat keanggotaan Partai Politik sehingga Partai Prima tidak bisa melanjutkan ke tahapan verifikasi faktual untuk dapat ikut berpartisipasi di Pemilu 2024.
Baca juga: KPU Ajukan Banding Penundaan Pemilu, IMMH UI: Fokus Tahapan Pemilu Saja
Atas pernyataan tersebut, pihak Partai Prima mengatakan bahwa mereka telah memenuhi persyaratan keanggotaan sehingga Partai Prima menduga ada yang salah dengan Sistem Informasi Partai Politik yang dimiliki oleh KPU dan mereka menganggap bahwa KPU tidak profesional dalam tahapan verifikasi administrasi partai politik. Oleh karena itu Partai Prima kemudian menggugat KPU.
Putusan yang dikeluarkan oleh majelis hakim PN Jakarta atas perkara ini mengundang berbagai kritikan dan ketidaksetujuan dari berbagai kalangan, terutama dari pihak tergugat yaitu KPU, dari pemerintah, dan juga masyarakat. Putusan majelis hakim PN Jakarta Pusat atas perkara ini dinilai oleh Bapak Mahfud MD selaku Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, sebagai putusan yang dijatuhkan dengan ‘sensasi berlebihan’.
Bapak Mahfud juga mengatakan bahwa PN Jakarta Pusat tidak memiliki wewenang untuk mengadili perkara proses dan administrasi Pemilu. Perkara mengenai proses administrasi sebelum Pemilu itu diajukan kepada Badan Pengawas Pemilihan Umum, kemudian setelah itu keputusan kepesertaan juga merupakan wewenang yang dimiliki oleh Pengadilan Tata Usaha Negara, bukan Pengadilan Negeri.
Baca juga: Kekuasaan Kehakiman
Sidang Pleno Komisi Yudisial pada kasus Hakim yang Diberi Sanksi 2 Tahun Non Palu
Berdasarkan laporan yang tertuang dalam nomor penerimaan 0405/III/2023/P kepada Komisi Yudisial (KY) Republik Indonesia, diketahui bahwa Kongres Pemuda Indonesia (KPI) melaporkan para majelis hakim Tengku Oyong, S.H., M.H., H. Bakri S.H., M.H. dan Dominggus Silaban S.H., M.H., yang memutuskan penundaan Pemilu tersebut kepada KY dan meminta KY untuk mengusut putusan tersebut karena PN Jakarta Pusat tidak memiliki wewenang untuk mengadili perkara Pemilu.
Atas laporan yang disampaikan oleh KPI tersebut, KY kemudian menggelar Sidang Pleno terhadap para majelis hakim terkait pada tanggal 27 Juni 2023, yang dihadiri oleh 6 anggota KY dan seorang sekretaris pengganti. Hasil dari Sidang Pleno tersebut adalah menjatuhkan sanksi non palu selama 2 tahun terhadap para terlapor, yaitu Tengku Oyong, S.H., M.H., H. Bakri S.H., M.H. dan Dominggus Silaban S.H., M.H.
Perlu diketahui bahwa laporan KPI tersebut merupakan laporan mengenai dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, dan wewenang untuk mengusut dugaan pelanggaran tersebut ada pada KY sebagaimana diatur oleh Pasal 43 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Atas laporan mengenai dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim tersebut kemudian KY melaksanakan sidang pleno atau forum pengambilan keputusan KY untuk memutus laporan masyarakat terbukti atau tidak terbukti. Hal ini sebagaimana diatur pada Pasal 1 angka 29 Peraturan Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penanganan Laporan Masyarakat.
Baca juga: Mengenal Majelis Kehormatan Hakim
Sanksi Non Palu Bagi Hakim
Sanksi non palu yang dijatuhkan oleh KY tersebut merupakan sanksi dalam kategori berat sebagaimana diatur oleh Pasal 52 huruf c Peraturan Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penanganan Laporan Masyarakat. Menurut Pasal a angka 6 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2016 tentang Penegakan Disiplin Kerja Hakim pada Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang Berada di Bawahnya, hakim yang dijatuhi sanksi non palu adalah hakim yang dalam tenggang waktu tertentu dilarang untuk memeriksa dan mengadili perkara.
Dalam kasus ini, para hakim yang memutuskan penundaan pemilu 2024, yaitu Tengku Oyong, S.H., M.H., H. Bakri S.H., M.H. dan Dominggus Silaban S.H., M.H., dianggap oleh KY telah melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim dalam hasil sidang plenonya, sehingga KY menjatuhkan sanksi berat bagi para majelis hakim PN Jakarta Pusat terkait dengan melarang mereka untuk memeriksa dan mengadili kasus selama 2 tahun lamanya.
Referensi:
Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Peraturan Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penanganan Laporan Masyarakat.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2016 tentang Penegakan Disiplin Kerja Hakim pada Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang Berada di Bawahnya.
Website
MPR RI, Putusan PN Jakpus Menunda Pemilu Jalan Satu-satunya KPU Harus Banding, mpr.go.id, Diakses pada 24 Juli 2023.
CNN Indonesia, Hakim PN Jakpus yang Putus Tunda Pemilu Disanksi 2 Tahun Nonpalu, cnnindonesia.com, Diakses pada 24 Juli 2023.
BBC News Indonesia, Pemilu ditunda: Komisi Yudisial akan panggil hakim PN Jakpus yang ‘memerintahkan penundaan Pemilu 2024’, bbc.com, Diakses pada 24 Juli 2023.
Anggi Muliawati, Putuskan Tunda Pemilu Hakim PN Jakpus dilaporkan ke KY, detik.com, Diakses pada 24 Juli 2023.
Respon (1)