PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia
Opini  

Hubungan antara Kepailitan dengan Wanprestasi dalam Prinsip Debt Collection

Avatar of Pinter Hukum
Kepailitan

Daftar Isi

Sejarah hukum kepailitan di Indonesia dimulai pada tahun 1905, ketika Undang-Undang Kepailitan (Faillissement Verordening) dikeluarkan dan diatur dalam Lembaran Negara Nomor 217 Tahun 1905 bersamaan dengan Lembaran Nomor 348 Tahun 1906 yang berasal dari Undang-undang Belanda. Namun, pada pertengahan tahun 1997, krisis ekonomi di Indonesia menyebabkan kesulitan besar bagi dunia bisnis untuk melanjutkan kegiatan, termasuk membayar kewajiban kepada kreditur.

Karena kebutuhan yang mendesak, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 1998 tentang Amandemen Undang-Undang Kepailitan, yang kemudian ditetapkan menjadi undang-undang berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998.

Meskipun demikian, undang-undang tersebut belum memenuhi perkembangan dan kebutuhan hukum di masyarakat, sehingga pada bulan Desember 2004, pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang mencabut semua undang-undang kepailitan sebelumnya.

Baca juga: Hukum Investasi Menurut Islam

Dalam konteks ini, terdapat pertanyaan tentang apakah debitur yang tidak membayar kewajiban pembayaran utangnya dapat dinyatakan pailit secara hukum berdasarkan Prinsip Debt Collection. Namun, tulisan di atas tidak memberikan jawaban terhadap pertanyaan tersebut.

Dalam utang piutang, pihak yang meminjam uang disebut dengan kreditor dan pihak yang meminjamkan uang disebut dengan debitor. Apabila kreditor memiliki dua atau lebih debitor dan kreditor mengalami kebangkrutan, maka dapat diajukan permohonan pailit. Pailit sendiri berasal dari istilah bahasa Belanda berupa failliet dan dari bahasa Prancis yaitu faillite, yang berarti pemogokan atau kemacetan pembayaran.

Selain itu, dalam bahasa Prancis, dikenal juga kata kerja faillier yang berhubungan dengan pailit dan berarti gagal[1]. Sedangkan dalam Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pailit atau bangkrut adalah seseorang yang oleh suatu pengadilan dinyatakan bangkrut dan yang aktivanya atau warisannya telah diperuntukkan untuk membayar utang-utangnya[2].

Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, permohonan untuk menyatakan pailit harus dikabulkan jika sudah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Pasal 8 ayat (4). Jika permohonan diterima dan putusan pailit dijatuhkan, maka seluruh aset debitor akan dikuasai oleh kurator yang diawasi oleh hakim pengawas.

Meskipun demikian, undang-undang tersebut memberikan kesempatan bagi kreditor untuk meminta pailit debitor tanpa melihat kondisi keuangan debitor terlebih dahulu. Pasal 41 ayat (1) menyatakan bahwa perbuatan hukum debitur sebelum putusan pailit yang merugikan kepentingan kreditor dapat dimintai pembatalan oleh pengadilan untuk kepentingan harta pailit.

Selain itu, Pasal 42 memberikan batasan yang jelas mengenai perbuatan hukum debitur yang dapat dimintai pembatalan oleh pengadilan. Meskipun hakim tidak dapat menolak permohonan pailit, undang-undang ini memberikan perlindungan bagi kreditor yang dirugikan oleh perbuatan hukum debitur sebelum pailit dijatuhkan, yakni sebagai berikut:

  1. Bahwa perbuatan hukum tersebut dilakukan dalam jangka waktu 1 tahun sebelum putusan pernyataan pailit;
  2. Bahwa perbuatan hukum tersebut tidak wajib dilakukan debitur, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya;
  3. Bahwa debitur dan pihak dengan siapa perbuatan tersebut dilakukan dianggap mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan tersbut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor;
  4. Bahwa perbuatan hukum itu dapat berupa:
    • Merupakan perjanjian dimana kewajiban debitur jauh melebihi kewajiban pihak dengan siapa perjanjian tersebut dibuat;
    • Merupakan pembayaran atas, atau pemberian jaminan untuk utang yang belum jatuh tempo dan/ atau belum atau tidak dapat ditagih;
    • Merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitor perorangan, dengan atau untuk kepentingan:
      1. Suami atau istri, anak angkat, atau keluarganya sampai derajat ketiga;
      2. Suatu badan hukum di mana debitur atau pihak sebagaimana dimaksud pada angka 1) adalah anggota direksi atau pengurus atau apabila pihak tersebut, baik sendiri-sendiri maupun bersamasama, ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam kepemilikan badan hukum tersebut lebih dari 50% dari modal disetor atau dalam pengendalian badan hukum tersebut. merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitur yang merupakan badan hukum, dengan atau untuk kepentingan:
      3. Anggota direksi atau pengurus dari debitur, suami atau istri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga dari anggota Direksi atau pengurus tersebut;
      4. Perorangan, baik sendiri aau bersama-sama dengan suami atau istri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga, yang ikut serta secara langsung dalam kepemilikan pada debitur lebih dari 50% dari modal disetor atau dalam pengendalian badan hukum tersebut;
      5. Perorangan yang suami atau istri, anak angkat, atau kelurganya sampai derajat ketiga, ikut serta secara langsung aau tidak langsung dalam kepemilikan pada debitur lebihdari 50% dari modal disetor atau dalam pengendalian badan hukum tersebut;

Berdasarkan uraian pada kedua sub bab diatas, maka dapat disampaikan bahwa konsep wanprestasi pada hukum perjanjian yang dapat diterapkan ke dalam konsep utang pada hukum kepailitan, adalah:

  1. Bahwa prestasi harus dilakukan, demikian halnya utang harus dibayarkan.
  2. Bahwa setiap kewajiban untuk melakukan prestasi yang telah disepakati dalam perjanjian wajib dipenuhi terkecuali telah diatur syarat-syarat ataupun pengecualian lain yang juga telah disepakati

Sedangkan Konsep wanprestasi sendiri pada hukum perjanjian yang tidak dapat diterapkan ke dalam konsep utang pada hukum kepailitan, adalah :

  1. Tidak semua prestasi yang gagal dilaksanakan dapat dinyatakan sebagai utang dalam kepailitan, terkecuali apabila prestasi yang dimaksudkan merupakan prestasi ibidang kegiatan bisnis (utang dagang).
  2. Bahwa wanprestasi ditentukan dari adanya perjanjian, tanpa memperhitungkan apakah telah terjadi pertukaran hak dan kewajiban atau tidak, sedangkan konsep utang harus ditentukan dari telah terjadinya pertukaran antara hak dan kewajiban yang hanya terjadi sepihak (terhenti sepihak) walau tidak didahului perjanjian tertulis.
  3. Bahwa wanprestasi hanya dipertanggungjawabkan kepada kreditor yang telah membuat perjanjian saja, namun dalam hukum kepailitan, harus melihat dan penyelesaiannya akan melibatkan keseluruhan kreditor lainnya juga.

Apabila debitor enggan membayar utangnya, utang tersebut tidak dapat langsung dijadikan dasar untuk mengajukan permohonan pailit. Kepailitan seharusnya hanya digunakan sebagai solusi terakhir dalam menyelesaikan masalah utang di dunia bisnis, karena kepailitan merupakan peristiwa hukum yang memaksa yang dapat mengubah status hukum debitor dalam mengelola usahanya dan harta kekayaannya, serta mengubah hubungan hukum antara debitor pailit dan seluruh kreditornya, yang akan diambil alih oleh kurator.

Baca juga: PENGANTAR DAN PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS

Oleh karena itu, hal ini dapat terkesan kontraproduktif, merugikan, dan tidak adil jika debitor bermasalah dalam membayar utang hanya pada satu atau dua kreditornya, atau masalah utang tersebut bersifat relatif dan bukan absolut, sedangkan terhadap sebagian besar kreditornya, debitor selalu memenuhi kewajibannya dengan baik.

Hal ini juga menjadi lebih tidak adil jika jumlah utang yang tidak dibayarkan tersebut sangat kecil dibandingkan dengan jumlah utang yang dibayarkan dengan baik kepada kreditornya.

Dapat disimpulkan bahwa dalam mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap debitor, syarat mutlak yang harus dipenuhi adalah adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih serta adanya debitor dan kreditor, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU. Oleh karena itu, debitor hanya dapat dinyatakan pailit jika memenuhi dua syarat tersebut dan memiliki lebih dari satu kreditor.

Kepailitan dinyatakan oleh pengadilan berdasarkan permohonan debitor atau kreditornya. Prinsip debt collection menormakan ketentuan tersebut. Dalam hal ini, kepailitan hanya mencakup harta kekayaan si pailit, bukan status, hak-hak privat, atau hak sosialnya.

Segala barang dan hak atas benda yang dapat diuangkan termasuk dalam pengertian harta kekayaan. Konsep wanprestasi dan kepailitan dalam prinsip debt collection berbeda. Wanprestasi terjadi ketika salah satu pihak yang melakukan perjanjian tidak memenuhi kewajiban yang telah disepakati sehingga merugikan pihak lain dalam perjanjian tersebut.

Baca juga: Pengertian Kepailitan

Sementara itu, konsep utang dalam hukum kepailitan menekankan pada pertukaran hak dan kewajiban yang hanya terjadi sepihak, khususnya yang berkaitan dengan bisnis atau kekayaan harta benda. Kepailitan berdasarkan pada ketidakmampuan debitor untuk membayar kewajibannya kepada semua kreditornya. Oleh karena itu, tidak semua konsep wanprestasi dalam hukum perjanjian dapat diterapkan pada konsep utang dalam hukum kepailitan.

Referensi

[1] Siti Rahayu Hartini, 1983, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Penerbit Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, hlm. 4.
[2] A. Abdurrachman,1991 Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan : Inggris – Indonesia,Penebit Pradnya paramita.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *