PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia

Jejak Hukum Perburuhan di Indonesia

Hukum Perburuhan di Indonesia

Daftar Isi

Era industrialisasi sangat menonjolkan peran buruh untuk digunakan dalam proses produksi barang yang menjadi kebutuhan orang banyak. Bersampingan dengan kerja mesin, problem buruh mulai bermunculan seperti upah kerja yang murah, waktu kerja yang panjang, tanpa perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja dan jaminan sosial sampai kesenjangan sosial dan ekonomi.

Baca juga: Ketentuan Pemutusan Hubungan Kerja Bagi Pemberi Kerja

Indonesia, memiliki sejarah panjang mengenai perburuhan, di zaman kerajaan sistem kasta memiliki peran sentral melahirkan kaum buruh sampai pada era kolonialisasi sebagai puncaknya peran buruh semakin diproduksi demi jalanya proyek industrialisasi di masa kolonialisasi tersebut. Fase perburuhan dan lahirnya hukum mengenai buruh di Indonesia sedikitnya dibagi menjadi tiga, sebelum proklamasi, setelah proklamasi dan masa reformasi.

Masa sebelum proklamasi dimulai dari ketika berdiri suatu kerajaan di Indonesia hubungan kerja berdasarkan perbudakan, terdapat suatu sistem berupa kasta. Hingga memasuki masa kolonialisasi, Belanda dalam mengatasi kasus perbudakan ini dengan mengeluarkan Staatblad 1817 No. 42 yang berisi larangan untuk memasukan budak-budak ke Pulau Jawa dan Undang-Undang Dasar HB (Regeling Reglement) tahun 1818 yang menetapkan bahwa perbudakan dihapuskan. Meskipun melalui Regerings Reglement tahun 1827, tahun 1830 dan tahun 1836 mengulangi larangan dari tahun 1818.

Tahun 1870 diberlakukan Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet), yang mendorong pertumbuhan perburuhan, agar perusahaan mendapatkan buruh yang tetap melakukan pekerjaan sejak tahun 1879 diberlakuakan KUHPerdata, Pasal 1601-1603 lama berlaku bagi buruh eropa, mengandung unsur-unsur hubungan kerja yang agak modern pula dan tahun 1927 diberlakukan di Indonesia. Namun tahun 1880 dikeluarkan sebuah peraturan terkait dengan para pekerja.

Baca juga: Apa Tujuan Undang-Undang Cipta Kerja

Melalui Koeli Ordonantie, buruh yang bekerja itu disebut koeli (kuli) dan mendapatkan upah rendah. Hingga masa penjajahan jepang diterapkan romusya dan kinrohosyi sebagai sentral produksi sumber daya dan mempertahankan diri dari serangan musuh, dan terlebih lagi upaya eksploitasi kekayaan Indonesia untuk keperluan perang di Asia Timur Raya.

Pada masa pemerintahan Soekarno tidak banyak kebijaksanaan tentang ketenagakerjaan. Pemerintah RI pada tahun1957 telah meratifikasi Konvensi ILO (International Labour Organization) No. 100 Tahun 1957 dengan UU No. 80 Tahun 1957.  Selama masa orde baru, ketentuan.

TAP MPRS No. XXVIIl/MPRSRI/1966 tidak pernah direalisasi dan dicabut, sebagai gantinya dibuat UU No. 14 Tahun 1969 untuk menetapkan tugas pemerintah mengatur penyebaran tenaga kerja yang efektif dan efisien. Namun, berdasarkan aturan ini pengerahan TKI tidak berdasarkan undang-undang, tetapi cukup dengan peraturan atau keputusan menteri tenaga kerja saja, sehingga tingkat perlindungan hukumnya kurang.

Kedudukan buruh semakin lemah dengan mengebiri hak buruh dengan hanya dapat mendirikan satu serikat pekerja, yaitu Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), dan jika ada masalah hubungan industrial majikan dapat dibantu oleh militer (Permenaker No. Per.342/ Men/1986).

Baca juga: Peran Komnas HAM Dalam Penegakan & Pemajuan Hak Asasi Manusia

Terakhir, masa reformasi sampai sekarang. Dimulai dengan meratifikasi Convention No. 182 Concerning the Immediate Action to Abolish and to Eliminate the Worst Forms of Child Labor (tindakan segera untuk menghapus dan mengurangi bentuk-bentuk terburuk pekerja anak diratifikasi dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 2000 tanggal 8 Maret 2000).

Melalui ratifikasi tersebut dapat ditafsirkan bahwa seolah-olah Indonesia mengakui telah memperlakukan dengan sangat buruk pekerja anak. Masa Gusdur, politik hukum ketenagakerjaan tampaknya meneruskan presiden sebelumnya melalui UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

Sebaliknya perkembangan ketenagakerjaan hampir tidak nampak gebrakannya di masa selanjutnya, justru yang terlihat adalah banyaknya kasus ketenagakerjaan yang mengambang dan kurang mendapat perhatian, namun di masa ini revisi dari UU No. 25 Tahun 1997 yang berdasarkan UU No. 28 Tahun 2000 yang diundur masa berlakunya hingga 1 Oktober 2002 dan berakhir dengan disahkannya UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tanggal 25 Maret 2003 oleh Presiden Megawati Soekarno Putri berdampak pada pemulangan TKI di Malaysia.

Setalah itu,  di masa pemerintahan SBY tampaknya ada sedikit perubahan di bidang ketenagakerjaan, terdapat efesiensi dan segala upaya dilakukan untuk meningkatkan pelayanan dan kinerja pekerja dan pegawai. Sampai sekarang hubungan buruh, penguasa dan pengusaha masih terombang-ambing masalah kesejahteraan dan perlindungan hukum, dengan UU Cilaka yang dinilai bernuansa kembali pada pengaturan buruh pada masa kolonialisasi mulai dari aspek kesejahteraan sampai perlindungan hukum dan dampak lingkunganya menjadi isu penting dalam pembuatan UU tersebut yang dinilai bermasalah.

Sumber:

Prof. Dr. Abdullah Sulaiman, S.H., M.H. dan Andi Walli, S.H., L.LM., M.H. Hukum Ketenagakerjaan/Perburuhan. 2019.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *