Bak sudah jatuh tertimpa tangga. Peribahasa yang mungkin cocok disematkan pada seorang korban pembegalan (34) di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat yang berujung ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan pembunuhan dan penganiayaan terhadap dua orang begal yang berusaha membegal dirinya. Tak lama kabar itu mencuat ke permukaan publik tentu dibuat kaget bahkan terheran-heran.
“Tak ubahnya buah simalakama, melawan masuk penjara, tidak melawan kehilangan harta, celaka bahkan berpotensi kehilangan nyawa.”
Ungkapan semacam itu yang mungkin pada saat mendominasi benak publik dalam menanggapi tajuk berita belakang ini.
Meski pada akhirnya diketahui juga bahwa kini tersangka atau korban pembegalan telah dibebaskan setelah menerima penangguhan penahanan, namun hingga detik ini hampir seluruh platform media sosial berita tersebut masih dibanjiri oleh beragam komentar dan tanggapan yang memantik diskursus dan juga pertanyaan klasik, “Apakah membela diri dapat dipidana? Apakah ketika dibegal kita sebaiknya bersikap pasrah saja ketimbang melawan dan masuk penjara?”
Pada hakikatnya setiap orang sejatinya menginginkan kehidupan yang damai dan aman. Namun sering kali keinginan tersebut terkikis oleh perbuatan atau tindakan seseorang yang bertentangan, mengganggu dan mengancam stabilitas keamanan hidup seseorang. Dan untuk mempertahankan diri dari situasi tersebut, maka membela diri adalah cara yang tak mungkin terelakkan. Karena dalam taraf sederhananya membela diri adalah respon atau akibat, bukan sebab.
Baca juga: Praktik Trial By The Press Dalam Dunia Jurnalistik dan Implikasinya Terhadap Prinsip Praduga Tak Bersalah
Melihat Sikap Hukum Pidana
Apabila kita melihat problem tersebut dalam kacamata yang jernih, atau misalnya secara teoritis dalam hukum pidana terdapat dua alasan yang dapat menghapus seseorang dari hukuman karena perbuatan tercela yang telah ia lakukan yakni karena alasan pemaaf dan alasan pembenar. Alasan pemaaf (fait d’excuse) artinya elemen dapat dicelanya pelaku dihapuskan. Atau dengan kata lain dihapusnya kesalahan atas perbuatan melawan hukum pelaku. Selain itu alasan pemaaf bersifat subyektif artinya melekat pada diri seseorang.
Baca juga: Polsek Kangean, menangkap Pelaku pengrusakan Hutan, di wilayah BKPH Kangean Barat
Dalam hukum pidana terdapat beberapa keadaan atau alasan yang dapat menyebabkan seseorang tidak dapat dijatuhi pemidanaan seperti ketidakmampuan bertanggung jawab karena gangguan secara psikis atau mental, daya paksa (overmacht), pembelaan terpaksa (noodweer), pembelaan terpaksa melampaui batas (noodweer-excess), perintah Undang-Undang, perintah jabatan serta perintah jabatan tidak sah dengan itikad baik.
Secara yuridis, pembelaan terpaksa atau noodweer telah diatur dalam Pasal 49 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan, “Barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain, terhadap kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana.”
Dari ketentuan pasal tersebut dapat kita serap kesimpulan secara limitatif bahwa pembelaan terpaksa hanya dapat dilakukan terhadap diri sendiri atau orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda. Perbuatan membela diri atau kerap disebut sebagai pembelaan terpaksa merupakan alasan pembenar yang menggugurkan elemen melawan hukumnya perbuatan. Seperti halnya yang dikenal dalam adagium hukum yang berbunyi, “Necessitas excusat aut extenuate delictum in capitalibus, quod non operator idem incivilibus.” Artinya, pembelaan terpaksa membebaskan seseorang dari hukuman, namun tidak demikian dalam perkara perdata.
Baca juga: Pelecehan Seksual Diranah Pendidikan dan Pesantren
Batasan Pembelaan Terpaksa
Kemudian ada beberapa syarat dan ketentuan yang menjadi bahan pertimbangan apabila suatu perbuatan membela diri dapat dikategorikan sebagai pembelaan terpaksa yakni, pertama, ada serangan seketika. Jadi syarat ini mengartikan bahwa pada saat terjadi suatu serangan kemudian langsung dilakukan pembelaan pada saat itu juga. Dengan kata lain, tidak ada rentan waktu yang cukup lama antara ancaman serangan dengan pembelaan.
Kedua, bersifat melawan hukum atau ongenblikkelijke wederrechtlijke aanranding. Tindakan atau perbuatan membela diri yang dilakukan merupakan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang atau bersifat melawan hukum baik dalam arti formil maupun materil. Hal tersebut yang kemudian selaras dengan suatu adagium hukum yang berbunyi, “Necessitas facit licitum quod alias non est licitum”. Artinya, keadaan terpaksa memperbolehkan apa yang tadinya dilarang oleh hukum.
Ketiga, pembelaan merupakan suatu keharusan. Syarat ini menegaskan bahwa sudah tidak ada lagi cara untuk menghindar dari ancaman (noodzakelijk) sehingga pembelaan merupakan upaya atau tindakan terakhir yang mesti dilakukan. Syarat ini sejalan dengan syarat pertama dan prinsip subsidiaritas, yakni tidak ada upaya lain yang dapat dilakukan selain membela diri dari ancaman atau serangan. Sederhananya, syarat ini memberikan gambaran bahwa jika selagi masih ada ruang dan waktu untuk menghindar dari serangan, maka seyogianya hal tersebut yang mesti dilakukan. Namun, apabila ternyata dalam keadaan terdesak dan tak ada kesempatan untuk menghindar dari serangan, maka pembelaan diri dapat dilakukan.
Keempat, cara pembelaan adalah patut. Syarat ini sejalan dengan prinsip proporsionalitas, yakni harus adanya keseimbangan antara perbuatan yang dilakukan untuk membela diri dengan ancaman yang dihadapi. Ketentuan keempat mengisyaratkan bahwa antara tindakan membela diri yang dilakukan dengan perbuatan atau serangan yang harus dihadapi harus seimbang.
Dari kesemua syarat itu selaras dengan salah satu teori alasan penghapusan pidana yang dikemukakan oleh Fletcher sebagai theory of neccesary defense.
Atas dasar pertimbangan yang dikenal dalam hukum pidana tersebut maka seyogyanya penyelidik maupun penyidik dalam hal ini bertindak dan meneliti suatu perkara lebih selektif, mendasar dan komprehensif sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti dilanggarnya hak asasi manusia seseorang baik atas penangkapan maupun penahanan.
Terlepas dari penilaian dan pertimbangan majelis hakim yang dapat menentukan apakah perbuatan yang diduga dilakukan oleh tersangka atau terdakwa tersebut telah memenuhi unsur delik sebagaimana yang didakwakan oleh Penuntut Umum nantinya, ataukah justru perbuatan tersebut terbukti merupakan pembelaan diri, akan tetapi jauh sebelum pada tahap persidangan, Kepolisian khususnya penyidik sebenarnya memiliki kewenangan untuk menghentikan penyidikan dengan mengeluarkan SP3 maupun nantinya pada tahap Penuntutan berdasarkan prinsip oportunitas atau deponering yang kewenangannya dimiliki oleh Jaksa Agung dapat mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.
Respon (1)