Pengakuan Organisasi Papua Merdeka (OPM) sebagai subjek hukum internasional dengan status belligerent memunculkan dua pandangan utama yang perlu dianalisis secara cermat. Pandangan pertama mendukung pengakuan ini sebagai langkah penting dalam menghormati hak asasi manusia, terutama hak untuk menentukan nasib sendiri yang diakui oleh Piagam PBB dan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.
Baca juga: PENGAKUAN NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL
Para pendukung berpendapat bahwa pemberian status belligerent kepada OPM akan memungkinkan masyarakat Papua untuk berpartisipasi secara aktif dalam menentukan arah politik, sosial, dan ekonomi mereka sendiri. Pengakuan ini juga akan mengikat OPM pada hukum humaniter internasional, yang melarang kekerasan terhadap warga sipil, serta mendorong penyelesaian konflik melalui negosiasi dan pendekatan diplomatis yang lebih inklusif. Secara filosofis, tindakan ini mencerminkan kebebasan positif dan mendukung prinsip keadilan distributif, dengan memberikan akses kepada OPM untuk memperoleh hak-hak tertentu dalam hukum internasional.
Sebaliknya, ada pandangan lain yang menekankan bahwa pengakuan status belligerent bagi OPM bertentangan dengan prinsip kedaulatan negara dan integritas teritorial Indonesia, sebagaimana diakui dalam Piagam PBB. Memberikan status ini kepada OPM dapat dilihat sebagai pengakuan terhadap gerakan separatis yang berpotensi mengancam kesatuan dan persatuan Indonesia.
Dari sudut pandang hukum, status belligerent biasanya diberikan dalam konteks perang sipil dengan intensitas tinggi, yang tidak sepenuhnya sesuai dengan situasi di Papua saat ini. Pengakuan ini juga dapat memperlemah posisi hukum Indonesia, yang didukung oleh berbagai undang-undang nasional, seperti UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI dan UU No. 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Secara sosiologis, pengakuan status belligerent bagi OPM dapat meningkatkan ketegangan dan perpecahan di masyarakat Indonesia,memperburuk situasi keamanan di Papua, serta menghambat upaya integrasi sosial dan pembangunan di wilayah tersebut.
Setelah mempertimbangkan kedua perspektif tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengakuan status belligerent bagi OPM adalah langkah yang sangat kontroversial dan berisiko tinggi dalam konteks hukum internasional dan nasional. Meskipun hak untuk menentukan nasib sendiri diakui secara internasional, penerapan status belligerent kepada kelompok seperti OPM dapat dilihat sebagai pengakuan atas gerakan separatis yang bertentangan dengan prinsip non-intervensi dan kedaulatan negara.
Dalam konteks hukum nasional Indonesia, pengakuan semacam ini akan bertentangan dengan berbagai peraturan yang menegaskan kesatuan dan integritas teritorial negara, serta berpotensi memperlemah posisi hukum pemerintah dalam menangani gerakan separatis.
Baca juga: Hukum Internasional dan Penegakannya
Pendekatan yang lebih bijaksana adalah memperkuat dialog dan rekonsiliasi antara pemerintah dan masyarakat Papua, mempercepat pembangunan di wilayah tersebut, serta memastikan penegakan hukum yang adil dan transparan. Langkah-langkah ini dapat menawarkan solusi yang lebih stabil dan berkelanjutan tanpa memberikan pengakuan status belligerent kepada OPM. Dengan demikian, integritas hukum nasional Indonesia dapat tetap terjaga, dan kesatuan negara dapat diperkuat tanpa mengabaikan hak-hak dasar masyarakat Papua.