PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia

Restorative Justice Dalam RKUHP

Avatar of Pinter Hukum
Restorative Justice Dalam RKUHP

Setelah melalui proses yang panjang dan penuh lika liku, akhirnya DPR bersama Pemerintah melalui persetujuan bersama mengesahkan RUU KUHP menjadi Undang Undang pada Selasa, 06 Desember 2022. Pengesahan dilakukan dalam rapat paripurna DPR RI yang beragendakan pengambilan keputusan atas RUU KUHP.

Sebelum disahkan, dari dulu RUU KUHP  memang banyak menuai kritik bahkan penolakan oleh sejumlah mahasiswa dan masyarakat  lantaran banyak terdapat pasal-pasal yang dianggap kontroversial di dalam RUU KUHP. Menanggapi fenomena tersebut Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM melakukan sejumlah revisi terkait pasal-pasal yang dianggap kontroversial tersebut, namun setelah dilakukan berbagai revisi dan disahkan pada selasa 06 Desember 2022 di gedung DPR ternyata masih ada beberapa pasal kontroversial yang dipertahankan oleh Pemerintah dan DPR, diantaranya:

  1. Penghinaan terhadap Presiden (Pasal 218)
  2. Penghinaan terhadap Lembaga Negara (Pasal 349)
  3. Demo Tanpa Pemberitahuan (Pasal 256)
  4. Pidana Santet (Pasal 252)
  5. Living Law (Pasal 2 dan Pasal 595)

Serta pasal-pasal kontroversial lainnya.

Baca juga: Draf Final RKUHP: Tindak Pidana Penghinaan Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara

Restorative Justice di dalam KUHP Baru

Jika dilihat dari sisi pembangunan hukum nasional, KUHP baru memang dibutuhkan untuk menggantikan KUHP lama yang merupakan peninggalan Belanda serta untuk kepentingan pembaharuan hukum. Menurut Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly mengatakan bahwa produk Belanda (KUHP Lama) ini dirasakan sudah tidak relevan lagi dengan kondisi dan kebutuhan hukum pidana di Indonesia. Hal ini menjadi salah satu urgensi pengesahan RUU KUHP.

Salah satu sisi positif RUU KUHP yang sekarang disahkan menjadi KUHP baru ini adalah diaturnya konsep Restorative Justice atau Keadilan Restoratif yang lebih komprehensif. Secara sederhana Restorative Justice diartikan sebagai suatu sistem hukum yang bertujuan untuk mengembalikan kesejahteraan korban, pelaku dan masyarakat yang rusak oleh kejahatan, dan untuk mencegah pelanggaran atau tindakan kejahatan lebih lanjut (Marian Liebmann, 2007: 25).

Sementara berdasarkan Pasal 1 butir 1 Peraturan Kejaksaan No. 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif menyatakan bahwa “Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan Pelaku, Korban, keluarga pelaku/Korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan”. Berbeda dengan konsep retributif yang menekankan keadilan pada pembalasan,  pendekatan konsep restorative  lebih mengutamakan pencapaian keadilan kepada perbaikan maupun pemulihan keadaan setelah peristiwa dan proses peradilan pidana.

Di dalam KUHP yang baru konsep Restorative Justice diatur di dalam Pasal 51, Pasal 54 ayat (1) huruf (j) dan (k), Pasal 70 dan Pasal 132.

Pada Pasal 51 KUHP yang baru menyebutkan bahwa pemidanaan bertujuan untuk menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat tindak pidana, memulihkan keseimbangan, serta mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat.

Kemudian pada Pasal 54 ayat (1) huruf (j) dan (k) menyebutkan bahwa dalam pemidanaan, wajib dipertimbangkan pemaafan dari korban dan/atau keluarganya, dan/atau nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Selanjutnya, Pasal 70  menyebutkan bahwa pidana penjara sedapat mungkin tidak dijatuhkan jika ditemukan keadaan seperti: terdakwa berumur di atas 75 (tujuh puluh lima) tahun; terdakwa baru pertama kali melakukan Tindak Pidana; kerugian dan penderitaan Korban tidak terlalu besar; terdakwa telah membayar ganti rugi kepada Korban; pidana penjara akan menimbulkan penderitaan yang besar bagi terdakwa atau keluarganya; serta keadaan lainnya yang disebut di dalam Pasal 70 tersebut. Terakhir Pasal 132 yang mengatur tentang gugurnya penuntutan.

Baca juga: RKUHP dan Hak Asasi Manusia

Keadilan Restoratif hadir di dalam sistem hukum di Indonesia dimaksudkan untuk mengurangi dan menghilangkan penyelesain suatu perkara pidana secara kaku dan rigid serta untuk menghilangkan paradigma “Hukum Tajam Ke Bawah Tumpul Ke Atas” yang ditimbulkan oleh pendekatan yang menitikberatkan pada hukuman (retributif). Sebagai contoh,  kasus nenek Minah yang harus mendekam di penjara hanya karena mencuri 3 buah kakao di perkebunan milik suatu PT dikecam oleh masyarakat karena dinilai tidak tepat dan tidak adil.  Ketimpangan inilah yang menjadi urgensi kenapa konsep Restorative Justice perlu dimasukkan ke dalam sistem hukum di Indonesia.

Sebenarnya konsep keadilan restoratif bukanlah hal yang baru di dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Sebelumnya hukum pidana Indonesia telah mengenal adanya upaya damai antara korban dan pelaku namun pengaturanya belum diatur secara maksimal terlebih lagi di dalam KUHP sebagai hukum pidana di Indonesia. Konsep keadilan restoratif baru dimasifkan oleh Kejaksaan Agung melalui Peraturan Kejaksaan No. 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif.

Dengan diaturnya konsep Restorative Justice di dalam KUHP yang baru menjadi payung hukum baru dan pintu gerbang bagi para penegak hukum tidak hanya di lingkup kejaksaan tetapi juga di lingkup Kepolisian dalam menerapkan konsep Keadilan Restoratif demi terciptanya penegakan hukum yang berjiwa keadilan. Summum ius summa injuria, summa lex, summa crux. Hukum yang keras dapat melukai, kecuali keadilan yang dapat menolongnya.

Profil Penulis

Penulis dengan nama Muhammad Robi merupakan salah satu mahasiswa fakultas hukum universitas Bengkulu yang memulai kuliah pada tahun 2020, lahir dari keluarga yang sederhana tidak mematahkan semangat penulis untuk mencapai cita-citanya, hobi Penulis membaca, menulis dan menonton film serta bermanfaat untuk orang banyak. Penulis lumayan aktif di berbagai organisasi di kampus mulai dari Ormawa hingga BEM Universitas Bengkulu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *