Lembaga Eksaminatif di Indonesia
Lembaga negara dalam menjalankan kekuasaan-kekuasaan negara harus dibatasi, agar tidak sewenang-wenang, tidak tumpeng tindih dan tidak terjadi pemusatan kekuasaan pada satu lembaga. Hal tersebut dimaksudkan hanya untuk menjaga atau menjamin hak-hak asasi dari rakyat agar tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh penguasa.
Hal di atas sejalan denga pernyataan Lord Acton yakni ”Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely” (manusia yang memiliki kekuasaan justru atau cenderung menyalahgunakan, tetapi manusia yang memiliki kekuasaan tak terbatas pasti menyalahgunakannya). Oleh karena itu negara harus membagi kekuasaanya atau memisah kekuasaan agar tidak digunakan sewenang-wenang oleh penguasa.
Baca juga: Lembaga Penegak Hukum dan Tugasnya
Pembagian kekuasaan dari suatu masa ke masa selalu berganti-ganti mengikuti perkembangan masyarakat, maka dari itu perlu kiranya sebelum melakuan amandemen perlu dibahas dan dimantapkan dengan memperhatikan ius constitutum dan ius constituendum, sehingga bisa mewadahi setiap permasalahan yang muncul. Mengenai perubahan amandemen di Indonesia sudah mengalami 4 (empat) kali perubahan dalam jangka waktu 4 (empat) tahun, yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002, sehingga semisal ada perubahan ke 5 (lima) terjadi hendaknya substansi perubahan disesuaikan dengan budaya hukum ketatanegaraan yang sesuai dengan bangsa Indonesia.
Indonesia adalah negara yang menganut sistem trias politica yang dikemukakan oleh Montesqueiu, baik sebelum ataupun sesudah amandemen Undang-undang Dasar 1945. Sebelum amandemen ternyata tidak hanya lembaga legislatif (DPR, MPR, dan DPD), Eksekutif (Presiden), dan Yudikatif (MA) tetapi ada juga yakni lembaga konsultatif (DPA), lembaga eksaminatif (BPK). Namun sesudah amandemen lembaga konsultatif ini dihapuskan sehingga tersisa lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif, dan eksaminatif.
Sejarah dan Perkembangan Lembaga Eksaminatif di Indonesia
Dalam hal ini, penulis akan memfokuskan terhadap lembaga eksaminatif atau inspektif, karena sebetulnya lembaga eksaminatif ini perlu juga dipahami oleh khalayak luas karena lembaga ini juga termasuk lembaga tinggi negara yang jarang disorot oleh rakyat. Lembaga eksaminatif adalah lembaga yang bergerak dengan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Di Indonesia lembaga eksaminatif ini dijalankan oleh BPK RI (Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia).
Awal pembentukan BPK RI (Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia) pada tanggal 28 desember 1946 sejalan dengan dikeluarkannya surat penetapan pemerintah No.11/OEM tentang pembentukan BPK RI (Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia). Pada tanggal 1 Januari 1947 berkedudukan sementara di Kota Magelang yang pada saat itu hanya memiliki 9 orang pegawai dan R. Soerasno diangkat sebagai Ketua BPK RI (Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia), dengan menggunakan peraturan perundang undangan yang dahulu milik Alegemene Rekenkamer (Badan Pengawas Keuangan Hindia Belanda) sebagai pelaksanaan tugasnya yaitu ICW dan IAR.
Dengan berjalannya waktu setelah kemerdekaan tersebut BPK RI (Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia) sering berpindah pindah tempat kedudukanya yang pertama, pada tanggal 6 November 1948 berpindah tempat kedudukannya ke Yogyakarta seiring dengan pindahkan ibukota negara republik Indonesia yang diketuai oleh R. Kasirman.
Pada tahun 1949 dengan terbentuknya RIS (Republik Indonesia Serikat) berdasarkan terbentuknya piagam konstitusi RIS tanggal 14 desember 1949 maka BPK RI (Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia) berubah menjadi Dewan Pengawas Keuangan RI yang berkedudukan di Bogor yang diketuai oleh R. Soerasno yang sebelumnya pernah menjabat sebagai ketua BPK RI (Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia) di Magelang.
Dengan berjalannya waktu hingga Presiden mengeluarkan dekrit pada tahun 1959 dengan demikian dewan pengawas keuangan RI berubah menjadi BPK RI (Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia) kembali, meskipun lembaga ini berubah-ubah namanya tetapi pelaksanaan kegiatannya masih tetap menggunakan ICW dan IAR.
Baca juga: Lembaga Hukum: Pentingnya bagi Masyarakat
Kemudian pada tahun 1963 pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang no. 7 tahun 1963 (LN No. 195 Tahun 193) yang kemudian berubah menjadi (PERPU) No. 6 Tahun 1964 tentang Badan Pemeriksa Keuangan Gaya Baru. Lalu untuk mengganti PERPU tersebut dikeluarkanlah UU No. 17 tahun 1965 yang menetapkan bahwa Presiden sebagai pemimpin besar sebagai pemegang kekuasaan pemeriksaan, penelitian tertinggi atas penyusunan keuangan negara yang mana ketua dan wakil ketua BPK RI (Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia) berkedudukan masing masing sebagai Menteri Koordinator dan menteri.
Kemudian seiring berjalannya waktu MPR mengeluarkan ketetapan No.X/MPR/1966 sehingga kedudukan BPK RI (Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia) dikembalikan lagi sebagai Lembaga Tinggi Negara, sehingga UU yang mendasari gerak ruang lingkup dari BPK RI (Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia) harus di telaah Kembali atau perlu diubah lagi dan akhirnya pada tahun 1973 terealisasi dengan UU No. 5 Tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
Dalam era reformasi ini Badan Pemeriksa Keuangan telah mendapatkan support konstitusional dari MPR RI Dalam Sidang Tahunan 2002 yang memperkuat kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan sebagai Lembaga pengawas eksternal di bidang keuangan negara, dengan dikeluarkannya TAP MPR NO.VI/MPR/2002.
Referensi
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 7 tahun 1963 (LN No. 195 Tahun 193).
Piagam Konstitusi RIS.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 6 Tahun 1964 tentang pembentukan Badan Pemeriksa Keuangan.
Undang Undang No. 17 tahun 19651964 tentang pembentukan Badan Pemeriksa Keuangan.
TAP MPR No.X/MPR/1966.
UU No. 5 Tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
TAP MPR NO.VI/MPR/2002.