PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia
Opini  

Bisakah Mengajukan Pembatalan Perkawinan Saat Usia Perkawinan Masih Dua Hari?

Avatar of Pinter Hukum
Pembatalan Perkawinan

Saat berada di rumah, penulis mendengar cerita dari seorang teman mengenai tetangganya yang baru saja melangsungkan perkawinan. Dua hari kemudian, muncul masalah dalam rumah tangga mereka. Sehingga suami mengajukan permohonan pembatalan perkawinan ke pengadilan. Teman penulis kemudian bertanya apakah hal ini dibenarkan secara hukum, mengingat usia pernikahan mereka baru dua hari.

Penulis melihat ada dua poin yang hendaknya perlu dipahami dalam kasus tersebut: putusnya perkawinan dan pembatalan perkawinan. Kedua hal ini memiliki ketentuan hukum yang berbeda.

Baca juga: HAK DAN KEWAJIBAN DALAM PERKAWINAN

Putusnya perkawinan dalam hukum perkawinan

Di Indonesia, perkawinan diatur dalam dalam Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang ini bersifat unifikasi hukum nasional sehingga mengikat seluruh warna negara di Indonesia. Dalam pasal 1 UU tersebut, perkawinan didefinisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan perempuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, artinya perkawinan harus memiliki tujuan yang jelas, yaitu membentuk sebuah keluarga yang bahagia secara lahir dan batin berdasarkan prinsip ketuhanan.

Karena perkawinan diidentikan sebagai ikatan, maka tidak menutup kemungkinan suatu saat dapat meregang bahkan terputus. Putusnya perkawinan diatur dalam pasal 38 Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyebutkan suatu perkawinan dapat putus karena; kematian, perceraian, dan keputusan pengadilan.  Kematian disini baik berupa kematian suami atau istri, perceraian terbagi menjadi dua, yaitu cerai gugat yang diajukan oleh istri dan cerai talak yang diajukan oleh suami, sedangkan putusnya perkawinan karena adanya keputusan pengadilan artinya putusan pengadilan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap.

Landasan hukum pembatalan perkawinan

Berdasarkan pasal 22 Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Pihak yang dimaksud adalah keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas baik dari pihak suami atau istri; suami atau istri; dan pejabat berwenang.

Namun perlu diingat, bahwa pembatalan perkawinan ini adalah upaya untuk melindungi hak individu setelah dilaksanakannya perkawinan. Menurut undang-undang perkawinan menyebutkan bahwa pembatalan perkawinan dapat dilakukan jika memenuhi salah satu syarat diantanya; apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum, dan terjadi salah sangka diri suami atau istri.

Pembatalan perkawinan karena dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum

Melanggar hukum sendiri adalah tindakan seseorang yang melanggar aturan-aturan hukum yang berlaku. Dalam perkawinan, implikasi dari pasal 21 ayat Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan ini, merupakan perkawinan yang dilakukan oleh seseorang dengan keadaan terpaksa.

Menurut pasal 6 ayat 1 Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Karena perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga bahagia yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Baca juga: Pernikahan Dini Dalam Islam, Apakah Boleh?

Pembatalan perkawinan karena terjadi salah sangka diri suami atau istri

Istilah salah sangka hampir mirip dengan penipuan, yaitu keadaan yang tidak benar yang dibuat untuk kepentingan pribadi. Salah sangka dapat digolongkan menjadi dua, yaitu salah sangka tanpa ada unsur kesengajaan dan salah sangka dengan kesengajaan.

Dalam konteks perkawinan, salah sangka tanpa ada unsur kesengajaan adalah dimana perkawinan terjadi karena ketidaktahuan atau terdapat sebab-sebab yang menjadi larangan perkawinan tanpa sepengetahuan kedua belah pihak. Misalnya setelah menikah, kedua belah pihak tidak tahu jika ternyata mereka sepersusuan dengan ibu yang sama. Maka dalam hal ini perkawinan batal demi hukum.

Kemudian salah sangka dengan kesengajaan, ini dapat dikategorikan penipuan. Penipuan dilakukan agar dapat melangsungkan perkawinan di hadapan petugas berwenang sehingga perkawinan dianggap sah. Misalnya calon suami memalsukan identitas perjaka dan belum pernah menikah, padahal nyatatanya sudah menikah dan masih berstatus istri orang lain. Perkawinan semacam ini dapat dibatalkan oleh putusan pengadilan.

Batas waktu pengajuan pembatalan perkawinan

Dari dua jenis pembatalan perkawinan karena alasan di atas, berdasarkan pasal 27 ayat 3 Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, pembatalan perkawinan memiliki batas waktu pengajuan. Bagi pihak yang mengajukan permohonan pembatalakan perkawinan karena adanya ancaman melanggar hukum, pengajuan dibatasi hanya selama enam bulan terhitung setelah perkawinan dilaksanakan. Jika yang bersangkutan masih hidup bersama sebagai suami istri selama lebih dari enam bulan. Maka hak pengajuan pembatalan perkawinan dianggap gugur.

Sedangkan pengajuan permohonan pembatalan perkawinan karena salah sangka tidak memiliki jangka waktu tertentu, artinya pihak yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan kapanpun.

Pembatalan perkawinan saat usia perkawinan baru dua hari

Pada dasarnya pembatalan perkawinan adalah upaya untuk melindungi hak individu setelah berlangsungnya sebuah perkawinan. Permohonan pembatalan perkawinan dapat dilakukan oleh pihak yang telah ditentukan oleh undang-undang dengan memperhatikan syarat dari pembatalan perkawinan itu sendiri. Jangka waktu permohonan pembatalan perkawinan dapat dilakukan kapan pun jika alasan pembatalan perkawinan karena salah sangka, dan dapat diajukan selama enam bulan jika karena perkawinan dilangsungkan karena ancaman yang melanggar hukum.

Jadi, jelas disini jika dalam kasus di atas suami istri yang baru menikah selama dua hari kemudian mengajukan permohonan pembatalan perkawinan. Berdasarkan paparan di atas, maka tindakan suami dalam kasus tersebut adalah sudah benar menurut hukum. Baik itu dengan alasan adanya ancaman atau karena salah sangka.

Referensi

Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Rahmat Budiyanto Hiola, Mutia Cherawaty Thalib, Sri Nanang Meiske Kamba, Implementasi Uu No 16 Tahun 2019 Tentang Pembatalan Perkawinan Akibat Salah Sangka Yang Terdapat Unsur Penipuan Mengenai Diri Pasangan, Vol. 2 No. 5 Mei 2023.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *