PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (HAPTUN)

Avatar of Pinter Hukum
Hukum Acara Tata Usaha Negara - Artikel PinterHukum - Rio Kurniawan

Daftar Isi

Pengertian Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (HAPTUN)

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (HAPTUN) adalah kumpulan aturan dan prinsip yang mengatur tata cara pelaksanaan sidang dan penyelesaian sengketa di bidang hukum tata usaha negara, yang mencakup tata cara mengajukan gugatan, persidangan, hingga pelaksanaan putusan di pengadilan tata usaha negara.

HAPTUN mengatur prosedur yang harus diikuti oleh para pihak yang terlibat dalam sengketa hukum di bidang tata usaha negara, serta peran dan kewenangan dari hakim tata usaha negara dalam menyelesaikan sengketa tersebut.

Pelaksanaan sistem pemerintahan pada suatu negara harus didasarkan pada asas-asas umum pemerintahan yang baik, demi menghindari akibat hukum yang merugikan dan dapat menimbulkan sengketa dari suatu kegiatan administrasi yang dijalankan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara (Pejabat TUN).

Sengketa TUN dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni sengketa internal yang terjadi di dalam lingkungan administrasi badan pemerintahan itu sendiri maupun antar instansi yang berbeda, dan sengketa eksternal yang terjadi antara Badan/Pejabat TUN negara dengan masyarakat, baik itu di tingkat pusat ataupun daerah.

Baca juga: 12 Asas Hukum Acara Pidana

Artinya pihak yang berperkara dalam sengketa TUN eksternal adalah masyarakat sebagai penggugat dan Pejabat TUN sebagai tergugat, dengan objek gugatan berupa keputusan yang dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN. Contohnya seperti perbedaan pendapat dan perbenturan kepentingan dari suatu muatan dalam keputusan tertulis/keputusan administrasi antara Badan/Pejabat TUN dengan masyarakat.

Sehingga menimbulkan permasalahan yang dapat dipersengketakan. Mengingat bahwa kedudukan penggugat dalam hal ini masyarakat dalam posisi yang lebih lemah dibandingkan tergugat selaku pemegang kekuasaan publik, maka dari itu dalam hal memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan sengketa tersebut diperlukan hukum formal untuk mengatur prosedur jalannya sistem peradilan TUN.

Pengertian Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Menurut Para Ahli

Berdasarkan pendapat yang diungkapkan oleh Sjachran Basah, peradilan tanpa hukum formal akan menjadi liar, sebab tidak ada batas-batas yang jelas dalam melakukan wewenangnya.

Maka dari itu dibentuklah Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (HAPTUN) yang menurut Rozali Abdullah merupakan hukum untuk mengatur cara bersengketa di Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), serta mengatur hak dan kewajiban pihak-pihak yang terkait dalam proses penyelesaian sengketa berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang telah direvisi dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dan saat ini telah direvisi kembali dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009.

Secara keseluruhan dapat disimpulkan muatan dari HAPTUN yakni mengenai cara orang harus bertindak di muka pengadilan dan cara pengadilan harus bertindak untuk melaksanakan berjalannya peraturan, norma, dan asas-asas yang digunakan untuk mengatur proses penyelesaian sengketa TUN lewat Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), sejak dimajukan gugatan sampai pelaksanaan putusan hakim, yang akan dibahas sebagai berikut:

Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara

Menurut Pasal 48 Undang-Undang Pengadilan Tata Usaha Negara menyebutkan bahwa dalam hal suatu Badan atau Pejabat TUN diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa TUN tertentu, maka batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/administratif yang tersedia.

Sehingga pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa TUN, jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan.

Baca juga: Hukum Perdata Menurut Para Ahli

Dari pasal di atas dapat digambarkan penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara dibagi menjadi 2 bentuk upaya yaitu:

  1. Upaya Peradilan yang merupakan upaya melalui Badan Peradilan, gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara tingkat I, Banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, dan Kasasi ke Mahkamah Agung.
  2. Upaya Administratif yang merupakan upaya melalui instansi atau Badan/Pejabat TUN (dilaksanakan dalam lingkungan pemerintahan) terdiri dari 2 macam:
  3. Banding Administratif, artinya penyelesaian keputusan TUN dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan TUN. Apabila peraturan dasarnya hanya menentukan adanya upaya administratif berupa pengajuan surat banding administratif, maka gugatan terhadap Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang telah diputus dalam tingkat banding administratif diajukan langsung kepada Pengadilan Tinggi TUN.
  4. Keberatan, artinya penyelesaian keputusan TUN tersebut harus dilakukan sendiri oleh Badan/Pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan itu. Apabila peraturan dasarnya hanya menentukan adanya upaya administratif berupa pengajuan surat keberatan, maka gugatan terhadap KTUN yang bersangkutan diajukan kepada Pengadilan TUN.

Asas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai sejumlah persamaan dengan hukum acara yang digunakan pada peradilan umum untuk perkara perdata, namun demikian ada pula sejumlah perbedaan seperti halnya asas-asas yang digunakan dan secara khusus perlu mendapat perhatian dalam melaksanakan HAPTUN seperti:

  1. Asas Praduga Rechtmatig: Suatu keputusan TUN tetap dianggap sah dan (tidak melawan hukum (Rechtmatig), sebelum adanya putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan keputusan itu tidak sah atau batal. Sehingga, keputusan TUN tetap dapat dilaksanakan selama belum ada putusan hakim.
  2. Asas In Absentia: Apabila dalam waktu lewat dari dua bulan setelah dikirimkan surat tercatat penetapan kepada tergugat atau kuasa hukum, dan tidak menanggapi gugatan tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan dan/atau tidak hadir di persidangan dua kali sidang berturut-turut, maka hakim ketua sidang dapat dan berhak menetapkan hari sidang berikutnya dan melakukan pemeriksaan tanpa hadirnya tergugat.

Baca juga: Hukum Pidana: Pengertian, Jenis, Tujuan, Fungsi, dan Teori Pemidanaan

Selain berpedoman terhadap asas-asas tersebut, hakim juga harus mengedepankan perlindungan kepada rakyat yang mencari keadilan sesuai dengan maksud dibentuknya HAPTUN, yakni dalam rangka memberikan perlindungan kepada rakyat pencari keadilan yang merasa dirinya dirugikan sebagai akibat suatu keputusan TUN.

Contohnya seperti hakim memiliki wewenang dapat meminta penjelasan kepada Pejabat TUN demi melengkapi data yang diperlukan untuk gugatan penggugat, dengan tujuan untuk mengimbangi dan mengatasi kesulitan penggugat dalam mendapatkan informasi dari data-data yang diperlukan.

Sumber Referensi

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986

Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986

Siti Soetami, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Bandung: Refika Aditama, 2007)

Rozali Abdullah, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: Raja Grafindo, 1994)

Sjachran Basah, Hukum Acara Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Administrasi (HAPLA), (Jakarta: Rajawali Pers, 1989)

Nyoman A. Martana, “Hukum Acara dan Praktek Peradilan Tata Usaha Negara”, Buku Ajar Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Udayana Tahun 2015.

Heylaw Edu, Bedah Materi PKPA: Hukum Acara Tata Usaha Negara, Heylaw.Edu, Diakses pada 12 Februari 2023.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *