PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia

12 Asas Hukum Acara Pidana

Asas Hukum Acara Pidana

Asas-asas Hukum Acara Pidana

Asas hukum acara pidana terdiri dari 12 asas, asas ini berguna untuk memberikan perlindungan terhadap keluhuran harkat dan martabat manusia, maka asas hukum acara pidana telah dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Serta ditegaskan lagi dalam KUHAP guna menjiwai setiap pasal atau ayat agar senantiasa mencerminkan perlindungan terhadap hak asasi manusia, asas-asas hukum acara pidana tersebut adalah:

Baca juga: Hukum Acara Pidana Menurut Para Ahli

Asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan

Asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan (Asas Tri Logi Peradilan). Penjelasan umum KUHAP butir 3 e menyebutkan:

“Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana, dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat pemeriksaan.”

Ketentuan di atas juga merupakan bunyi yang sama dengan pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman (Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 ayat (2)).

Selanjutnya implementasi terhadap asas ini dapat kita lihat dalam beberapa ketentuan pasal KUHAP, yaitu antara lain:

  1. Pasal 24 ayat (4), 25 ayat (4), 27 ayat (4) dan 28 ayat (4), yang pada dasarnya memuat ketentuan bahwa penahanan yang telah lewat waktu seperti yang telah ditentukan, maka penyidik, penutut umum, dan hakim harus mengeluarkan tersangka atau terdakwa dari tahanan demi hukum.
  2. Pasal 50 mengatur tentang hak tersangka/terdakwa untuk segera diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu dimulainya pemeriksaan, dan kemudian segera diajukan ke pengadilan oleh penuntut umum dan selanjutnya oleh pengadilan segera diadili.
  3. Pasal 102 ayat (1) menyebutkan bahwa penyelidik yang menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana, wajib segera melakukan tindakan penyelidikan.

Asas praduga tak bersalah

Lihat Ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam penjelasan umum butir 3 c KUHAP disebutkan:

“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan dimuka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahanya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”

Baca juga: Hukum Pidana

Dan selanjutnya ketentuan ini dikenal sebagai asas praduga tak bersalah atau presumption of innocence dan asas ini telah diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, lihat juga pasal 6 dalam Undang-Undang yang sama.

Ketentuan diatas dalam perundang-undangan pidana khusus terutama undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pasal 17 dan 18 seolah-olah kedudukannya terdesak.

Pasal 17 ayat 1 menyebutkan bahwa hakim dapat memperkanankan terdakwa untuk kepentingan pemeriksaan memberikan keterangan tentang pembuktian bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi.

Asas oportunitas

Asas oportunitas berkaitan dengan tugas dan wewenang Jaksa/Penuntut Umum untuk mengadakan penuntutan atau tidak terhadap suatu perkara pidana.

Asas ini dalam Undang-undang tentang Kejaksaan (Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004) diatur melalui pasal 35 c yang menyebutkan bahwa Jaksa Agung dapat mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.

Dalam penjelasan Pasal 35 c, yang dimaksud dengan “kepentingan umum” adalah kepentingan Negara atau masyarakat dan bukan untuk kepentingan pribadi.

Baca juga: Asas-Asas Hukum Telematika

Hal ini sesuai dengan pendapat Soepomo yang mengatakan bahwa baik di negeri Belanda mapun Hindia. Belanda, berlaku asas oportunitas dalam tuntutan pidana, artinya penuntut umum berwenang tidak melakukan suatu penuntutan jikalau adanya tuntutan itu dianggap tidak “opportuun”, tidak guna kepentingan masyarakat.

Asas pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum

Dalam penjelasan umum KUHAP butir 3 i menyebutkan bahwa pemeriksaan (sidang pemeriksaan pengadilan) adalah terbuka untuk umum kecuali dalam hal yang diatur dalam undang-undang.

Selanjutnya asas ini dijabarkan dalam pasal 153 ayat 3 dan ayat 4 KUHAP yaitu:

“Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak (ayat 3).”

“Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat 2 dan 3 mengakibatkan batalnya putusan demi hukum (ayat 4).”

Dari ketentuan yang ada ini dapat disebutkan bahwa sidang pada dasarnya dilakukan secara terbuka untuk umum dan di lain pihak dalam hal-hal tertentu khususnya mengenai delik kesusilaan dan atau pelakunya adalah anak-anak, maka sidang dilakukan secara tertutup.

Adapun tujuan diadakan sidang terbuka adalah sebagai pencerminan asas demokrasi dibidang pengadilan sehingga jaminan terhadap harkat dan martabat manusia betul-betul terjamin adanya.

Dalam hal putusan yang diambil oleh hakim selalu dinyatakan dalam sidang terbuka untuk umum walaupun perkaranya diperiksa secara tertutup, hal mana secara tegas diatur dalam (pasal 20 UU No. 4/ 2004) dan pasal 195 KUHAP menyatakan bahwa:

“Semua putusan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.”

Asas perlakuan yang sama di depan hakim

Asas perlakuan yang sama di depan hakim sebagaimana penjelasan umum KUHAP butir 3 a dan pasal 5 ayat 1 UU No. 4/2004 menyebutkan:

“Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.”

Asas ini merupakan manifestasi dari konsep negara hukum, sehingga harus adanya perlakuan yang sama bagi setiap orang didepan hukum.

Jadi dengan demikian hal ini berarti memberi perlindungan yang sama didepan hukum. Hukum acara pidana tidak mengenalnya peraturan yang memberi perlakuan khusus kepada terdakwa, sehingga pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda–bedakan orang.

Untuk menjamin peradilan mengadili dengan tidak membeda-bedakan orang, undang-undang menjamin lembaga peradilan agar tidak campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain diluar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 beserta perubahannya.

Asas pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan

Penjelasan umum KUHAP butir 3 a menyebutkan bahwa:

pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa, artinya pemeriksaan dilakukan secara langsung dan atau tidak dapat dilaksanakan atau dikuasakan pada orang lain seperti dalam perkara perdata.”

Dan disamping itu juga bahwa pemeriksaan oleh Hakim dilakukan secara lisan, yang dalam kaitan ini dapat dilihat ketentuan yang menyatakan bahwa:

“Pada permulaan sidang Hakim Ketua mananyakan kepada terdakwa tentang nama lengkap, tempat lahir, agama, dan pekerjaan serta mengingatkan terdakwa supaya memperhatikan segala sesuatu yang didengar dan dilihat dalam sidang (Pasal 155 ayat 1 KUHAP).”

Lihat pula ketentuan pasal 18 UU No. 4/2004. Namun dalam hal perkara tertentu terdapat suatu pengecualian dari asas langsung yaitu dalam pemeriksaan perkara dengan tanpa hadirnya terdakwa (in absensia) dan juga dalam pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan terdakwa dapat mewakilkan dengan menunjuk seseorang kuasa untuk hadir dalam sidang pengadilan.

Asas bantuan hukum

Penjelasan umum KUHAP butir 3 f menyebutkan bahwa:

“setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya.”

Selanjutnya asas bantuan hukum ini dijabarkan dalam pasal 69 sampai dengan pasal 74 KUHAP, yaitu:

  • Pasal 69 KUHAP menyebutkan: “Penasehat Hukum berhak menghubungi tersangka sejak saat ditangkap/ditahan pada semua tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini. Dari ketentuan tersebut di atas dapat disimpulkan babhwa bantuan hukum dapat diberikan pada setiap tingkat pemeriksaan yaitu sejak saat tersangka ditangkap/ditahan.
  • Pasal 70 KUHAP selanjutnya mengatur tentang tata cara pemberian bantuan hukum yaitu: “Penasehat Hukum dapat menghubungi tersangka/terdakwa pada semua tingkat pemeriksaan setiap waktu.
  • Pasal 71 KUHAP menyebutkan “Pembicaraan antara penasehat hukum dan tersangka tidak didengar oleh penyidik dan penuntut umum kecuali pada delik yang menyangkut keamanan Negara.

Dari semua ketentuan yang ada tersebut menunjukkan betapa besar jaminan terhadap harkat dan martabat manusia, sehingga dengan berlakunya KUHAP sekarang ini khususnya mengenai bantuan hukum adalah merupakan hal yang secara fundamental berbeda dengan sistem HIR terdahulu dimana bantuan hukum itu baru dapat diberikan sejak pemeriksaan di sidang pengadilan. Lihat, UU No 18 Tahun 2003 Pasal 22 dan UU No. 4/2004 Pasal 37, 38.

Asas ne bis in idem

Asas ne bis in idem diatur dalam pasal 76 KUHP yang menyebutkan bahwa orang tidak boleh dituntut sekali lagi lantaran perbuatan (peristiwa) yang baginya telah diputuskan oleh hakim.

Atau tiada suatu perkara diajukan untuk kedua kalinya dalam hal yang sama yaitu sama orangnya atau objeknya (dalam perkara tersebut). Asas ne bis in idem ini bertujuan untuk melindungi harkat dan martabat manusia dan juga untuk menjamin adanya kepastian hukum.

Asas hak ingkar

Jika dilihat, maka hak ingkar ini dapat dilihat dalam UU No 4/ 2004, yakni Pasal (29) dan Pasal (157) KUHAP.  Dalam Pasal (29) ditentukan:

“Hak ingkar adalah hak seseorang yang diadili untuk mengajukan keberatan yang disertai dengan alasan terhadap seorang hakim yang mengadili perkara tersebut.”

Hak ingkar dapat dilihat dari dua sudut pandang:

  1. Hak ingkar/kewajiban untuk mengundurkan diri bagi hakim, jika terdapat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau ada hubungan suami/istri sekalipun sudah bercerai. Hal ini juga dapat dilihat dalam pasal 29 ayat (3) dan (4) UU No 4/ 2004 an Pasal 157 ayat (1) dan (2).
  2. Pasal 168 KUHAP menentukan Hak ingkar/mengundurkan diri sebagai saksi karena adanya hubungan keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau kebawah sampai derajat ketiga dari terdakwa, saudara terdakwa, saaudara ibu/bapak, dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga, dan suami atau istri terdakwa sekalipun sudah bercerai.

Asas kehadiran terdakwa

Asas ini dapat dilihat dalam ketentuan pasal 154, 176 ayat (2), 196 ayat (1) KUHAP dan Pasal 18 ayat (1) UU No 4/ 2004.

Hai ini diberlakukan terhadap terdakwa yang didakwa melakukan tindak pidana umum seperti yang ditentukan dalam KUHP, maka jaksa diharapkan untuk menghadirkan terdakwanya di dalam ruang sidang pengadilan.

Hal ini tidak berlaku terhadap terdakwa yang didakwa melakukan tindak pidana khusus, ditentukan diluar KUHP, seperti Tindak Pidana Korupsi, Tindak Pidana Ekonomi, yang pada intinya menentukan bahwa pemeriksaan perkara ini tetap dapat berjalan tanpa kehadiran terdakwa didalam sidang pengadilan (pemeriksaan perkara secara in absenti). Atau terhadap perkara seperti perkara lalu lintas jalan. Perhatikan ketentuan pasal 18 ayat 2 UU No 4/ 2004.

Asas ganti rugi dan rehabilitasi

Asas ganti rugi dan rehabilitasi ini secara limitatif diatur dalam pasal 9 UU No. 4/ 2004, Pasal 95, 96, dan 97 KUHAP. Ketentuan tersebut pada intinya menentukan:

“Jika seseorang ditangkap, ditahan, dan dituntut atau diadili tanpa berdasarkan  undang–undang atau karena kekeliruan baik mengenai orangnya maupun penerapan hukumnya wajib memperoleh rehabilitasi, apabila pengadilan memutus bebas (vrijspraak)  atau lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van  alle rechtsvelvolging)”

Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP, menentukan:

“memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya”.

Asas kepastian jangka waktu penahanan

Asas ini secara limitatif diatur dalam Pasal 24 ayat (1) dan (2) KUHAP. Di tingkat penyidikan jangka waktu penahanan paling lama 60 hari (setelah perpanjangan), dengan rincian 20 hari untuk kewenangan penyidik dan diperpanjang oleh Penuntut Umum 40 hari.

Jangka waktu penahanan oleh Penuntut Umum selama 20 hari, dan dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri selama 30 hari, dan dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri selama 60 hari ( pasal 26 ayat 1 dan ayat 2 KUHAP).

Jadi secara total jangka waktu penahanan mulai  ditingkat penyidikan sampai Mahkamah Agung, selama 400 hari dengan perincian 200 hari untuk di tingkat penyidikan sampai pemeriksaan di sidang Pengadilan Negeri dan 200 hari di tingkat pemeriksaan banding dan kasasi, Akibat hukum jika hal tersebut dilanggar.

Sumber Refensi

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sapta Artha Jaya, Jakarta, 1996

Bambang Poernomo, Pola Dasar Teori dan Azas Umum Hukum Acara Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1988.

HMA Kuffal, Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, UMM, Malang, 2007

Lilik Mulyadi, Hukum acara pidana: normatif, teoritis, praktik dan permasalahannya, Bandung: Alumni, Bandung, 2007.

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *