Korupsi terus menerus terjadi sepanjang periode waktu. Di Indonesia, korupsi merupakan masalah yang serius. Hal ini dapat dilihat dari peringkat korupsi Indonesia yang masih tergolong tinggi dibandingkan negara-negara lainnya. Maraknya korupsi di Indonesia disinyalir terjadi di semua bidang dan sektor pembangunan.[1] Berdasarkan hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) tahun 2005, Indonesia berada pada peringkat pertama sebagai negara terkorup di Asia.[2] Lebih lanjut, Transparancy International Indonesia (TII) melaporkan, di antara 133 negara yang disurvei, Indonesia menempati urutan ke-6 negara-negara terkorup di dunia.[3] Hasil kajian Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan bahwa korupsi telah mengakibatkan negara mengalami kerugian sebesar Rp. 9,29 Triliun pada tahun 2018.
Baca juga: Mengapa Pengembalian Uang Hasil Korupsi Tidak Menghapus Pidana?
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tindak pidana korupsi adalah segala tindakan yang dapat merugikan keuangan negara dan menghambat pembangunan nasional.[4] Menurut Mahatma Gandhi, korupsi adalah bentuk pelanggaran yang terburuk, karena aset negara yang seharusnya digunakan rakyat, dikorupsi untuk kepentingan pribadi para pelaku tindak pidana korupsi. Pelaku tindak pidana korupsi telah mengambil kekayaan atau kesempatan yang seharusnya dapat dipergunakan untuk memakmurkan kehidupan rakyat.[5] Bertitik tolak dari hal tersebut negara wajib dan bertanggungjawab untuk melindungi masyarakat dari tindak pidana korupsi dengan segala akibat yang ditimbulkannya. Perlindungan tersebut salah satunya dilakukan dengan cara pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi untuk digunakan bagi kesejahteraan rakyat melalui pembangunan berkelanjutan.[6]
Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang dampaknya bersifat gradual. Maka dari itu, penjatuhan pidana yang diberikan kepada para pelaku tindak pidana korupsi sebaiknya tidak hanya penghukuman yang bersifat membuat jera pelaku saja, tetapi juga harus disertai hukuman lain untuk mengobati luka dan kerugian dari para korbannya. Sering kali para penegak hukum dan perumus peraturan perundang-undangan melupakan keadaan korban yang seharusnya juga diperhatikan. Pemulihan kerugian yang dialami korban tindak pidana tidak kalah penting daripada penjatuhan hukuman penjara bagi para pelakunya.
Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi merupakan salah satu penanggulangan atas kerugian dari tindak pidana korupsi. Di samping itu, pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi juga merupakan suatu pencegahan terjadinya tindak pidana korupsi, karena pengembalian aset itu menghilangkan tujuan yang merupakan motif tindak pidana. Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi ini menempati posisi penting dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Artinya, keberhasilan pemberantasan tindak pidana korupsi tidak hanya diukur berdasarkan keberhasilan memidana pelaku tindak pidana korupsi, tetapi juga ditentukan oleh tingkat keberhasilan mengembalikan aset negara yang telah dikorupsi.[7]
Keadilan restoratif merupakan salah satu tujuan pemidanaan yang berorientasi pada pengembalian kerugian dan keadaan seperti sedia kala sebelum terjadinya tindak pidana. Konsep keadilan restoratif ini harus ditanamkan pada tindak pidana korupsi. Margarita Zemova dalam bukunya Restorative Justice: Ideals and Realties menyatakan bahwa kunci dari tercapainya keadilan restoratif adalah suatu tindak pidana tidak hanya dikendalikan oleh aparat penegak hukum saja, tetapi juga melibatkan para pelaku tindak pidana dan juga korbannya.[8] Pengembalian kerugian atau tindakan untuk mengembalikan keadaan semula dilakukan dengan cara melibatkan semua orang yang terkait dengan tindak pidana tersebut.
Proses seperti ini akan jauh lebih efektif dan lebih diterima oleh masyarakat karena pihak yang berhubungan dengan tindak pidana secara bersama-sama juga mencari alternatif pemecahannya.[9] Proses dimana semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana bersama-sama memecahakan masalah dan bagaimana menangani akibat dimasa yang akan datang inilah yang disebut dengan konsep Keadilan Restoratif (Restorative Justice).[10] Welgrave mengemukakan bahwa teori keadilan restoratif adalah setiap perbuatan yang berorientasi pada penegakan keadilan dengan memperbaiki kerugian yang diakibatkan dari tindak pidana.[11] Konsep keadilan restoratif ini sangat kental dengan partisipasi dari berbagai pihak untuk mencapai tujuan pemidanaan.
Apabila mendengar istilah ’korban tindak pidana’ pasti kita otomatis membayangkan penderitaan berupa luka fisik atau kehilangan harta benda. Predikat korban memang sangat dekat dengan penderitaan akibat tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain. Pada dasarnya, korban tindak pidana adalah tidak hanya manusia, tetapi Negara pun dapat menjadi korban dari tindak pidana, salah satunya tindak pidana korupsi.[12] Dengan demikian, Negara diharapkan melakukan upaya-upaya pemulihan keadaan akibat tindak pidana korupsi. Dalam hal ini, konsep keadilan restoratif sangat tepat untuk diaplikasikan, dimana dalam penegakan hukum, pelaku tindak pidana, korban, dan masyarakat terlibat untuk memulihkan keadaan seperti sebelum terjadi tindak pidana.
Jika dikaitkan dengan pengembalian aset dalam tindak pidana korupsi, rangkaian tindakan penelusuran, pembekuan, penyitaan, dan pada akhirnya tahap pengembalian aset negara yang dikorupsi ini sejalan dengan konsep keadilan restoratif yang mengutamakan perbaikan dan pengembalian kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana. Keadilan restoratif tidak dapat dikategorikan sebagai teori, melainkan metateori, yaitu di dalam keadilan restoratif terkandung unsur-unsur dalam teori-teori pemidanaan, yaitu teori retributif, teori preventif, teori campuran, teori rehabilitatif, dan teori resosialisasi.
Dalam pelaksanaan keadilan restoratif sebagai tujuan pemidanaan, pada dasarnya tidak dapat terlepas dengan tujuan pemidanaan lainnya seperti konsep retributif, prevensi, rehabilitasi, dan resosialisasi. Begitu juga dalam pengaplikasian keadilan restoratif sebagai tujuan pemidanaan dalam pengembalian aset hasil tindak pidana. Dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, perampasan aset dengan tujuan pengamanan aset merupakan salah satu nestapa yang dijatuhkan kepada para pelaku tindak pidana korupsi. Hal ini didukung dengan ungkapan “perasaan paling buruk yang dialami para penjahat yang melakukan kejahatan dengan motif mendapatkan keuntungan hasil kejahatan adalah jika aset-aset hasil kejahatannya itu diambil”.[13]
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa di dalam keadilan restoratif, tujuan pemidanaan mengutamakan pemulihan keadaan akibat terjadinya tindak pidana, sehingga keadaan kembali seperti semula dengan pendekatan yang mengutamakan penyesalan oleh pelaku karena kesadarannya atas konsekuensi dari perbuatannya, dimana dalam pelaksanaannya pelaku, korban, penegak hukum, dan masyarakat dengan perannya masing-masing saling bekerja sama untuk memulihkan keadaan.
Dalam hal ini, negara dapat dikategorikan sebagai korban dari tindak pidana korupsi. Konsep keadilan restoratif merupakan sebuah metateori yang secara bijaksana dan fleksibel dapat diintegrasikan dan diaplikasikan dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Konsep keadilan restoratif merupakan konsep yang sejalan dengan penegakan hukum atas tindak pidana korupsi berupa upaya pengembalian aset. Hal ini dikarenakan tindakan pengembalian aset sendiri merupakan tindakan yang bersifat restoratif untuk mengembalikan kerugian akibat tindak pidana korupsi.
Referensi
[1] Samuel Mangapul Tampubolon, “Peran Pemerintah dalam Upaya Pemberantasan Korupsi Kaitannya dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,” Lex et Societatis, Vol. 2, No. 6 (Juli 2014), hlm. 138.
[2] La Sina, “Dampak dan Upaya Pemberantasan serta Pengawasan Korupsi di Indonesia,” Jurnal Hukum Pro Justitia, Vol. 26, No. 1 (Januari 2008), hlm. 44-45.
[3] Siti Fatimah, “Korupsi: Menelusuri Akar Persoalan dan Menemukan Alternatif Pemecahannya,” DEMOKRASI, Vol. 6, No. 1 (2007), hlm. 1-2.
[4] Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31 Tahun 1999, LN Tahun 1999 No. 140 TLN No. 3874.
[5] Arya Maheka, Mengenal dan Memberantas Korupsi, (Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi), hlm. 5.
[6] Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hlm. 51.
[7] Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Laporan Lokakarya tentang Pegembalian Aset Negara Hasil Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2009), hlm. 53.
[8] Margarita Zernova, Restorative Justice: Ideals and Realties, (England: Ashgate Publishing Limited, 2007), hlm. 10.
[9] Apong Herlina, “Restorative Justice,” Jurnal Kriminologi Indonesia, Vol. 3, No. 3 (September 2004), hlm. 19-28.
[10] Eriyantouw Wahid, Keadilan Restoratif dan Peradilan Konvensional dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2009), hlm. 3.
[11] L. Welgrave, Met het Oog op Herstel: Bakens voor een Constructief Jeugsantierecht, (Leuven: Univeritaire Pers Leuven, 2000), hlm. 249-280.
[12] Cesare Beccaria, Of Crimes and Punishments [Dei Delitti e Delle Pene], (USA: Oxford University Press, 1964), hlm. 14.
[13] Purwaning Yanuar, “Pentingnya Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana” disampaikan dalam Lokakarya Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, 18 Agustus 2009, hlm. 10.