Konstitusi merupakan asas hukum yang berbentuk sistematis untuk menjalankan roda pemerintahan suatu negara. Keberadaan konstitusi sangatlah penting untuk menjaga stabilitas negara dari segi politik, hukum, keamanan, dan lain-lain. Pembentukan konstitusi sangat beragam sesuai dengan kesepakatan antara masyarakat dan pemerintahan di negara tersebut.
Sejarah munculnya konstitusi mencuat ketika terbentuknya Piagam Madinah pada masa Nabi Muhammad SAW tahun 622 Masehi di Madinah. Munculnya Piagam Madinah dinilai sebagai konstitusi tertulis pertama yang ada di dunia. Isi dari Piagam Madinah mencakup tentang hukum, perdamaian, ekonomi, dan lain-lain. Hal ini yang menjadi dasar untuk para pakar menyebutnya sebagai konstitusi tertulis pertama yang ada di dunia.
Baca juga: Ibu Kota Negara Pindah? Apakah Pemerintah Menjamin Hak Masyarakat Adat? Apa Dampak Jika Tidak Terpenuhinya Hak-Hak Masyarakat Adat?
Pada belahan negara lain juga terdapat konstitusi tertulis masing-masing yang telah disepakati penduduk setempat, seperti Bill of Rights di Amerika Serikat yang dibuat pada tahun 1789, juga Magna Charta pada tahun 1215 di Inggris.
Konstitusi-konstitusi itulah yang menjadi acuan bagi pemerintah dan rakyatnya untuk menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pertanyaan:
Apa yang dimaksud dengan konstitusi?
Jawaban: Sistem ketatanegaraan suatu negara yang berupa kumpulan peraturan yang membentuk dan mengatur/memerintah dalam pemerintahan suatu negara.
Apa itu Piagam Madinah?
Jawaban: Dokumen perjanjian tertulis yang diprakarsai Nabi Muhammad SAW dan para sahabat untuk mempersatukan beberapa golongan yang ada di Madinah saat itu.
Antara Islam dan Konstitusi
Islam dan konstitusi memiliki persamaan konseptual dalam mengatur jalannya pemerintahan. Pada agama Islam, terdapat Dewan Syura yang secara konstitusional merupakan lembaga legislatif, ada Qadhi atau biasa kita kenal dengan lembaga kehakiman, dan terdapat Khalifah atau pemimpin yang bersifat eksekutif.
Hal ini sejalan dengan konsep trias politika yang dikembangkan oleh John Locke bahwa pembagian kekuasaan pada pemerintahan terbagi menjadi tiga, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pembagian kekuasaan ini bertujuan untuk memberi sekat bagi para penguasa untuk tidak berlaku sewenang-wenang dalam menjalankan pemerintahan.
Baca juga: Analisis Filosofis Terhadap Historikal Pancasila Dalam Sejarah Negara Republik Indonesia
Pada agama Islam diatur tata cara berbangsa bernegara dengan baik, karena pada prinsipnya seperti yang tertera pada al-Quran surat al-Hujurat ayat 13 yang artinya “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.”
Konsep kesetaraan yang dianut dalam agama Islam sangat ini beriringan dengan apa yang telah disepakati oleh masyarakat di Indonesia secara khusus dan ratusan juta manusia di belahan dunia. Kemajemukan ciptaan Tuhan pada dunia ini menjadikan kita harus saling menghargai satu sama lain. Apapun latar belakangnya dari segi agama, ekonomi, budaya, dan lain-lain kita harus bisa saling menjunjung tinggi toleransi antar sesama, karena hal inilah yang akan membawa kita pada kebaikan.
Bernegara dan Beragama
Ketika kita berbicara tentang negara dan agama, sangatlah sensitif bila tidak dibahas secara menyeluruh. Akan ada bagian-bagian yang mudah disalahartikan. Oleh karenanya, penulis melampirkan tulisan salah seorang cendekiawan muslim Indonesia yaitu Prof. DR. K.H. Muhammad Sirajuddin Syamsuddin, M.A., Ph.D., atau dikenal dengan Din Syamsuddin yang dikutip oleh Abdul Halim bahwa ada tiga macam pola hubungan antara agama dan negara. Pertama, pola integralistik yang berarti peleburan antara agama dan negara. Hal ini berarti tidak ada sekat antara agama dan negara dan menjadikan agama sebagai landasan konstitusi di sebuah negara tersebut serta mengatur segala tingkah laku pemerintahan setempat.
Baca juga: PENJELASAN KONSTITUSI (UUD 1945) INDONESIA
Kedua, pola simbiotik yang memiliki makna bahwa agama dan negara harus berjalan berdampingan serta saling memberi manfaat di antara keduanya. Ketiga, pola sekularistik yang berarti bahwa agam dan negara tidak ada hubungannya antara satu sama lain. Hal ini menjadi alasan bagi para kaum penganut sekuler untuk memisahkan urusan agama dengan perkara ketatanegaraan. Mereka berpendapat bahwa pemisahan ini bertujuan untuk memberikan ruang tersendiri antara agama dan negara agar bisa berjalan dengan lancar tanpa adanya hambatan.
Sumber:
Abdul Halim, 2005, Politik Hukum Islam di Indonesia, Jakarta; Ciputat Press.