PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia

Legal Standing Lingkungan Hidup

Legal standing

Legal Standing

Legal standing  merupakan hak gugat atau kedudukan hukum untuk melakukan gugatan. Legal standing merupakan satu konsep yang digunakan sebagai dasar untuk menentukan suatu entitas atau pemohon apakah terdampak dari suatu persoalan sehingga cukup untuk mengajukan ke depan pengadilan [1].

Menurut Harjono [2] berpendapat bahwa legal standing merupakan keadaan dimana seseorang atau suatu pihak ditentukan memenuhi syarat dan oleh karena itu mempunyai hak untuk mengajukan permohonan penyelesaian perselisihan atau sengketa.

Sementara menurut Darwan Prinst mendefinisikan legal standing sebagai hak gugat yang diberikan undang-undang kepada lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang tertentu yang tidak secara langsung menjadi korban untuk mengajukan tuntutan hak [3].

Singkatnya legal standing dapat diartikan sebagai kedudukan hukum untuk melakukan gugatan. Secara harfiah legal standing sendiri dikenal juga sebagai ius standi atau standing to sue yang artinya adalah hak gugat, yang memungkinkan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu melakukan suatu gugatan atau permohonan di pengadilan atas nama kepentingan yang dicederai atau kerugian yang dirasakan.

Baca juga: Hukum Lingkungan dalam Pandangan Islam

Konsep hukum ini mengacu pada hak seseorang atau entitas untuk mengajukan gugatan di depan pengadilan dan/atau badan arbitrase. Dalam konteksnya legal standing merujuk pada hak atau keberhasilan suatu individu atau organisasi untuk membawa perkara ke pengadilan atau forum hukum lainnya.

Legal standing biasanya melibatkan pertanyaan apakah pihak yang mengajukan gugatan memiliki kepentingan langsung dalam kasus tersebut atau apakah mereka telah mengalami kerugian atau dampak yang sah yang memberi mereka hak untuk mengajukan tuntutan hukum.

Hal tersebut juga dapat disematkan pada persoalan-persoalan lingkungan hidup yang saat ini dirasakan penuh kegentingan. Legal standing dalam kasus lingkungan hidup merujuk pada dua persoalan yakni hak gugat warga negara atau (citizen suit) dan hak gugat organisasi lingkungan terhadap kerusakan lingkungan serta ekosistem yang terjadi.

Legal Standing Lingkungan Hidup

Dalam kaitannya Citizen Suit menerangkan bahwa setiap warga negara dapat bertindak sebagai penuntut umum untuk mengajukan tuntutan pidana lingkungan dalam bentuk pidana denda dalam hal penuntut umum negara (public prosecutor) ketika tidak menjalankan tugasnya.

Sementara itu, legal standing lingkungan hidup dalam kaitannya hak gugat organisasi lingkungan merupakan kecakapan organisasi lingkungan untuk melakukan gugatan di depan pengadilan berdasarkan bahwa organisasi lingkungan tersebut merupakan guardian atau wakil wali dari lingkungan.

Cristoper Stone menerangkan sebuah teori yang terkemuka di dalam bukunya yang berjudul ‘Shoul Tress Have Standing’ bahwa hak hukum (legal right) juga dimiliki oleh objek-objek alam (natural obects) seperti hutan, laut, pohon, sungai.

Sehingga objek-objek alam tersebut layak memiliki hak hukum dan memiliki hak untuk dibela di muka pengadilan apabila kerusakan menimpanya. Berdasarkan teori yang dikemukakan Stone, Citizen Suit dan organisasi lingkungan, merupakan guardian atau wakil dari lingkungan hidup untuk melakukan gugatan.

Oleh karena itu, Stone menegaskan bahwa tidak bijaksana apabila dianggap objek alam tidak memiliki hak hukum hanya karena sifatnya inanimatif atau tidak dapat berbicara [4], disamping berkembangnya kedudukan hukum lainnya yang  juga mengingkari sifat inanimatif seperti korporasi, negara bahkan anak dibawah umur.

Pemberian legal standing dalam kasus lingkungan hidup adalah prasyarat penting untuk memastikan bahwa orang-orang yang peduli terhadap lingkungan memiliki cara hukum untuk melindungi sumber daya alam dan lingkungan hidup dari aktivitas yang merusak.

Hal ini memungkinkan mereka untuk mengajukan gugatan terhadap perusahaan, pemerintah, atau entitas lain yang terlibat dalam tindakan atau kebijakan yang dapat merusak lingkungan.

Dalam sejarahnya, subjek hukum sendiri sebagai pemegang hak terus mengalami perkembangan. Suatu entitas pemegang hak pada awalnya hanya terbatas kepada laki-laki saja, itu mengapa dalam salah satu adagium hukum menyatakan ‘unus testis nullus testis’ yang artinya satu saksi bukanlah saksi.

Baca juga: Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Secara Hukum

Asas tersebut berangkat dari akar kata testis atau buah zakar laki-laki yang berjumlah dua, sehingga pada masa lampau hanya laki-laki yang memiliki zakar lengkaplah yang memiliki kedudukan untuk berbicara di muka hukum. Kemudian pemegang hak itu mengalami perkembangan seperti apa yang dialami dengan kesetaraan manusia dimana perempuan diakui sebagai subjek hukum.

Bahkan hingga pemegang hak disematkan pada entitas yang bukan manusia seperti munculnya konsep korporasi sebagai subjek hukum bukan-manusia atau badan hukum. Perihal tersebut sebab hukum berkembang mengikuti zaman dan hati nurani manusia [5].

Lebih lanjut, secara filosofis, legal standing lingkungan hidup melibatkan terutama dalam pertimbangan etika, tanggung jawab terhadap alam dan generasi mendatang. Manusia memiliki kewajiban moral untuk melindungi dan menjaga keberlangsungan alam.

Alam memiliki nilai intrinsik dan bahwa manusia memiliki tanggung jawab moral untuk bertindak sebagai pelindung alam, termasuk hak untuk membawa kasus hukum jika alam tersebut terancam oleh tindakan manusia.

Selain itu, dalam etika lingkungan saat ini dikenal bahwa adanya pergeseran paradigma hubungan manusia dengan alam.  Pandangan yang meyakini bahwa manusia merupakan pusat alam yakni pandangan etika lingkungan antroposentrisme bergeser kepada pandangan etika lingkungan ekosentrisme dengan pandangan yang menyatakan bahwa manusia merupakan bagian dari alam dan setiap makhluk hidup memiliki hak yang setara secara holistik.

Legal standing lingkungan hidup sendiri memiliki landasan yuridis baik dari perjanjian internasional, konvensi internasional, konstitusi nasional dan peraturan perundang-undangan nasional.

Beberapa konvensi lingkungan internasional seperti Konvensi tentang Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCCC) dan Protokol Kyoto yang memberikan negara-negara pihak hak legal standing untuk melibatkan diri dalam perundingan dan tindakan hukum terkait perubahan iklim. Deklarasi Rio 1992 menyatakan bahwa permaslaahan lingkungan hidup paling baik ditangani dengan partisipasi semua warga negara [6].

Konsitusi Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam Pasal 28H Ayat (1) menerangkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Hal tersebut berkaitan dengan hak atas lingkungan yang juga dijamin dalam hak asasi manusia.

Di Indonesia, dasar hukum untuk legal standing lingkungan hidup terdapat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) diantaranya adalah hak gugat individu, hak gugat masyarakat, hak gugat pemerintah, hak gugat organisasi lingkungan dan hak gugat administratif.

Legal standing lingkungan hidup terus berkembang dengan berbagai alasan historis yang mencerminkan kesadaran manusia tentang pentingnya melindungi alam dan ekosistem yang tergambar dengan jelas dari perubahan-perubahan sosialnya.

Perubahan paradigma terhadap etika lingkungan antroposentris menuu biosentrism yang telah dijelaskan di atas menggambarkan keadaan di tengah masyarakat dunia saat ini terhadap kesadaran pentingnya menjaga lingkungan dan merawatnya. Sehingga penting untuk mulai mewujudkan kesadaran pentingnya keseimbangan ekologi secara holistik dan dilakukan menyeluruh oleh warga bumi.

Referensi

[1] Ajie Ramdan, Problematika Legal Standing Putusan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi Vol. 11, No. 4, Desember 2014, hal. 739.

[2] Harjono, Konstitusi sebagai rumah bangsa: pemikiran Dr. Harjono, S.H., M.C.L., Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi. 2008.

[3] Darwan, Prinst, Strategi Menyususn dan Menangani Gugatan Perdata, Bandung. 2002. Citra Aditya Bakti.

[4] Cristoper Stone.

[5] Shodikin, Miftakhul, Subjek Hukum Sungai Bengawan Solo (Urgensi dan Perluasan Subjek Hukum Internasional), Jejak Pusataka, 2023.

[6] Lihat Deklarasi Rio Tahun 1992.

Exit mobile version