Subjek Hukum
Membicarakan subjek hukum dari zaman ke zaman maka akan menemukan bahwa pemegang hak dan kewajiban akan terus mengalami perkembangan. Hal tersebut merupakan suatu perjalanan panjang dalam sejarah peradaban manusia.
Salah satu tonggak penting dalam sejarah perkembangan subjek hukum adalah munculnya hukum Hammurabi di Mesopotamia pada sekitar tahun 1754 SM yang sebatas mengakui laki-laki sebagai pemegang hak dan kewajiban sementara anak-anak, perempuan dan budak adalah properti (Bintanghu, 2020).
Perkembangan subjek hukum terus berlanjut dengan munculnya peradilan di Yunani kuno, yang memperkenalkan konsep hukum positif, di mana hukum bukan hanya berdasarkan tradisi atau kepercayaan, tetapi juga atas dasar ketetapan-ketetapan yang ditetapkan oleh pemerintah atau lembaga otoritas.
Di Roma kuno, hukum juga mengalami perkembangan signifikan melalui Corpus Juris Civilis, yang merupakan kumpulan hukum Romawi yang sangat berpengaruh dan memberikan dasar bagi sistem hukum di banyak negara Eropa (Medieval, 2021).
John Dawson sendiri mengakui bahwa pada fakta sejarah status hukum dari manusia itu sendiri memiliki perbedaan:
“Children, married women, bunkrupts, lunatics, Jews and foreigners have all been assigned a distinct legal status within the history of the common law, distinguishing their legal position from the norm of the adult, male, solvent, sane, Christian citizen.” (John Dawson, 1995).
Artinya: Anak-anak, wanita yang sudah menikah, orang yang bangkrut, orang gila, orang Yahudi dan orang asing mereka semua telah diberi status hukum yang berbeda dalam sejarah common law, yang membedakan posisi hukum mereka dari norma orang 3 dewasa, laki-laki, orang yang mampu membayar utang, waras, warga yang Kristen.
Sementara itu perempuan juga tidak memiliki status hukum. Di Inggris perempuan yang telah menikah dalam banyak hal tidak diberikan status hukum yang terpisah dari suaminya misal dalam membuat kontrak dan properti (Saru Matambanadzo, 2012). Sedangkan hanya laki-laki yang dianggap sebagai pemegang hak di hadapan hukum sementara perempuan tidak memiliki digdaya(Shodikin, 2023).
Hal ini bisa ditemukan ketika kita menyelami asas dalam hukum acara pidana, “unus testis nullus testis” yang artinya satu saksi bukanlah saksi (Peradi, 2022). Asas ini berangkat dari kata testis artinya buah zakar laki-laki yang berjumlah dua.
Sementara pada zaman itu budak laki-laki dikebiri dan perempuan tidak memiliki buah zakar sehingga tidak bisa memberikan saksi di hadapan persidangan. Dengan kata lain bahwa perempuan dan budak tidak memiliki kekuatan atau kedudukan dimata hukum.
Pada zaman modern, dengan munculnya negara-negara bangsa dan sistem hukum nasional, perkembangan subjek hukum semakin kompleks.
Revolusi Prancis pada abad ke-18 memperkenalkan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang pada selanjutnya di tahun 1948 lahir Deklaraasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut, DUHAM) yang menegaskan bahwa segenap manusia yang lahir serta mengakui bahwa seluruh manusia memiliki kesetaraan yang sama. Sehingga dengan adanya DUHAM maka seluruh manusia baik laki-laki maupun perempuan memiliki kedudukan yang sama di muka hukum.
Perkembangan subjek hukum tidak berhenti pada kesetaraan manusia semata. Kemajuan teknologi dan globalisasi terutama dalam hubungan ekonomi juga telah memberikan dampak besar pada subjek hukum dengan lahirnya konsep subjek hukum bukan manusia yakni korporasi (Nani Mulyati, 2018).
Menurut Mulyanti, berdasarkan Joel Bakan menjelaskan bahwa korporasi adalah suatu institusi hukum, yang keberadaan dan kapasitas kerjanya bergantung kepada hukum dan ketentuan-ketentuan yang mengaturnya.
Subjek Hukum dalam Perspektif Keadilan Ekologis
Subjek hukum mengalami perkembangan karena perubahan dalam masyarakat dan kebutuhan manusia sebagai respons terhadap dinamika kompleks masyarakat dan lingkungan global. Sebagaimana saat ini dimana peradaban manusia dihadapkan pada krisis iklim dan kerusakan ekosistem sehingga muncul sebuah gagasan baru terkait perkembangan hukum dimana adanya pemberian hak asasi kepada lingkungan hidup (Supardi Usman, 2018).
Konsep keadilan ekologis pada dasarnya lebih mengarah kepada pemberian hak kepada semua entitas di ekosistem untuk dapat hidup dengan baik. Dapat dikatakan keadilan ekologis ini sebagai konsep baru dalam wacana konseptual tentang keadilan.
Baca juga: Perbedaan Hukum Perdata dan Pidana
Keadilan ekologis berangkat dari pendekatan hubungan manusia dengan entitas lain di bumi dilihat sebagai hubungan komplementer, artinya bahwa manusia dalam keadilan ekologis bukanlah satu-satunya yang harus diperhatikan kesejahteraannya dengan baik namun makhluk hidup lain juga harus diperhatikan dengan sama dan setara. Hal ini merupakan wujud dari perubahan pandangan dari antroposentrisme menuju ekosentrisme (Supardi Usman, 2018).
Pandangan antroposentrisme memandang manusia sebagai pusat atau titik fokus semua sistem di alam semesta, bahwa hanya manusia yang dianggap memiliki nilai sehingga manusia tidak peduli langsung pada non-manusia, meskipun mereka mungkin peduli kepentingan mereka sendiri misalnya dalam hal kesejahteraan atau pemenuhan hak (Antonius Atosokhi Gea & Antonina Panca, 2005).
Berbeda dengan hal itu, ekosentrisme memberikan pandangan bahwa terdapat hubungan mutualisme pada setiap komponen kehidupan di alam sebagai penyusun ekosistem. Dalam ekosentrisem terdapat pembaharuan posisi manusia dimana awalnya adalah pusat alam semesta menjadi bagian kecil dari alam semesta.
Sehingga dalam keadilan ekologis hak manusia atas lingkungan sama pentingnya dengan hak lingkungan atas kehidupan dan keberlanjutannya (Even, 2021). Keadilan ekologis mengajarkan bahwa manusia berada di satu planet dan harus saling berbagi secara adil.
Baca juga: Konsultasi Hukum Klik Di Sini
Keberlanjutan bukan hanya persoalan kerusakan manusia ke manusia berikutnya, namun juga tengang kerusakan terhadap entitas ekologis lainnya. Dengan kata lain, alam mempunyai hak untuk dihormati, tidak saja karena kehidupan manusia bergantung pada alam. Tetapi terutama secara ontologis bahwa manusia anggota komunitas ekologis.