PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NASABAH DALAM TRANSAKSI PERBANKAN

hukum

Dalam rangka mencapai masyarakat Indonesia yang adil dan makmur sebagaimana amanat Pancasila dan UUD 1945, maka pembangunan nasional menjadi salah satu upaya penting yang segala prosesnya perlu dikawal secara berkesinambungan. Tentu terdapat tantangan dalam menghadapi hal tersebut, salah satunya perkembangan perekonomian nasional. Beberapa hal harus dilakukan dalam menghadapi perkembangan perekonomian nasional yang dinamis dan semakin kompleks, yakni dengan melakukan penyesuaian kebijakan ekonomi termasuk didalamnya terkait perbankan.

Indonesia melakukan penyesuaian kebijakan ekonomi tersebut dengan melakukan pembentukan, evaluasi, bahkan integrasi peraturan-peraturan mengenai perbankan. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan pertama kali diberlakukan sebagai dasar hukum perbankan di Indonesia, dan seiring berjalannya waktu dilakukan berbagai perubahan dan penyesuaian hingga saat ini diintegrasikan melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU 4/2023).

Dalam UU 4/2023 tepatnya pada Pasal 14 angka 1 yang mengubah ketentuan Pasal 1 pada peraturan sebelumnya menyatakan pada pokoknya bahwa Perbankan merupakan segala hal yang terkait dengan bank, termasuk didalamnya kelembagaan, kegiatan usaha, hingga proses kegiatan usaha tersebut. Maka, perlu diketahui pula yang dimaksud dengan Bank menurut UU 4/2023 adalah badan usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan mengeluarkannya dalam bentuk kredit untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Berdasarkan definisinya, dapat dilihat bahwa keberadaan bank bertujuan kepada kesejahteraan masyarakat, dan masyarakat yang menggunakan jasa bank disebut Nasabah sebagaimana UU 4/2023.

Baca Juga: Status Hukum Perbankan dan Keuangan Syariah

Bahwa sebagai implikasi dari proses perbankan, muncul suatu hubungan antara  nasabah dan bank. Hubungan hukum ini akan memunculkan akibat hukum yang tentunya berkenaan dengan kompleksitas kepentingan antara nasabah dan bank, sehingga fungsi melindungi oleh hukum harus diaktifkan. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Fitzgerald dan dikutip oleh Satjipto Rahardjo, bahwa hukum bertujuan untuk mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan masyarakat dengan cara membatasi kepentingan pihak lain. Sehingga, perlindungan hukum adalah menggunakan hukum sebagai media yang mengatur pembatasan-pembatasan kepentingan dalam rangka mewujudkan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan.

TINJAUAN TERHADAP KEWAJIBAN INFORMASI BANK KEPADA NASABAH

Untuk dapat melihat  sejauh mana perlindungan terhadap nasabah dalam transaksi perbankan, maka perlu diketahui terlebih dahulu beberapa prinsip yang dikenal sebagai pegangan dalam menjalankan kegiatan usaha bank. Setidaknya terdapat 4 (empat) prinsip, antara lain: Prinsip Kepercayaan, Prinsip Kehati-hatian, Prinsip Kerahasiaan, dan Prinsip Mengenal Nasabah. Berbagai prinsip tersebut erat kaitannya dengan manajemen informasi antara nasabah dan bank.

Pada dasarnya hubungan antara bank dan nasabah dilandaskan pada suatu perjanjian. Salah satu syarat sah perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata telah sepakat kedua belah pihak. Adapun kesepakatan ini hanya akan bisa terjadi jika dilandaskan pula terhadap kepercayaan. Kepercayaan dapat muncul dengan adanya informasi yang cukup dan baik yang diberikan maupun diterima oleh kedua belah pihak, sehingga terwujudnya unsur kesetaraan dalam perjanjian bank dan nasabah ini. Artinya, bank dan nasabah sebenarnya memiliki hak dan kewajibannya masing-masing yang keduanya memiliki tanggung jawab atas proses perbankan yang aman efektif sebagaimana tujuan kegiatan perbankan.

Jika meninjau kewajiban informasi bank kepada nasabah, maka hal tersebut dapat dilihat dari hak nasabah dan kewajiban bank. Bank sebagai salah satu Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK), maka ketentuan lebih lanjut mengenai manajemen informasi dan hak nasabah diatur melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 6/POJK.07/2022 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan (POJK 6/2022). Pada pokoknya, PUJK dalam hal ini bank, berkewajiban untuk merancang produk sesuai dengan target konsumen, memberikan informasi yang komprehensif mengenai produk tersebut termasuk didalamnya manfaat hingga risiko yang mungkin akan dialami oleh nasabah. Sehingga, prioritas bank dalam sebuah manajemen informasi kepada nasabah adalah dengan memastikan terciptanya kepercayaan oleh nasabah terhadap bank, tentunya dengan dilandasi oleh itikad baik.

Baca Juga: Hukum Kontrak Syariah: Pengertian, Asas, dan Perbedaanya

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KEAMANAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DALAM LAYANAN PERBANKAN

Keberadaan bank yang sejatinya bertujuan untuk menyejahterakan masyarakat dengan kegiatan usahanya, dengan berpegang terhadap berbagai prinsip, dan mengutamakan kepercayaan nasabah harus tetap diiringi dengan antisipasi maksimal di tengah perkembangan zaman dan teknologi. Dalam menghadapi tantangan kemajuan teknologi untuk memudahkan kehidupan, permintaan masyarakat atas pelayanan yang cepat, aman dan efisien terhadap bank menimbulkan akibat hukum baru.

Untuk menjawab permintaan tersebut, dewasa ini bank melakukan pengembangan layanan digital yang memungkinkan kemudahan akses informasi dan transaksi oleh nasabah terhadap produk-produk bank. Namun segala bentuk upaya untuk mewujudkan kemudahan juga diiringi dengan implikasi negatif yakni bahaya dan risiko yang mungkin timbul. Sehingga, fungsi perlindungan hukum harus turut berkembang pula dalam menjaga hak dan kepentingan yang dalam hal ini nasabah.

Lebih lanjut, ketentuan lebih spesifik mengenai keamanan transaksi elektronik oleh bank diatur melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2022 tentang Penyelenggaraan Teknologi Informasi oleh Bank Umum (POJK 11/2022). Pada pokoknya terdapat beberapa tahapan yang harus dipersiapkan oleh bank dalam menyelenggarakan transaksi elektronik, antara lain pencegahan, pengujian, hingga penanggulangan.

Dalam tahap pencegahan, bank wajib memiliki rencana strategis penerapan transaksi elektronik, termasuk didalamnya menerapkan manajemen risiko sedikitnya: identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian. Tahap selanjutnya yakni pengujian, bank wajib melakukan pengujian keamanan siber berdasarkan analisis kerentanan dan skenario secara berkala, serta melaporkannya kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Selanjutnya adalah tahap penanggulangan, bank wajib memiliki rencana pemulihan rencana, sehingga dalam hal terjadi permasalahan dalam transaksi elektronik, pemulihan dapat langsung dilakukan dengan mengimplementasikan rencana yang telah dibuat, diuji, dan dilaporkan kepada OJK. Bank juga wajib memiliki ketahanan siber yang kuat, antara lain dengan: identifikasi aset, rancangan, dan kerentanan, pelindungan aset, deteksi insiden, serta pemulihan.

PENYELESAIAN SENGKETA ANTARA BANK DAN NASABAH

Menjaga kegiatan usaha perbankan senantiasa berjalan aman dan kondusif sehingga mewujudkan tujuan dari keberadaan bank itu sendiri pada dasarnya dilandasi oleh banyak langkah-langkah preventif. Namun, dalam hal terjadinya hubungan hukum yang mempertemukan dua atau lebih kepentingan para pihak menjadikan akibat negatif pun seringkali tak terhindarkan. Dalam hal terjadi sengketa antara bank dan nasabah, maka hukum positif Indonesia mengatur mekanisme penyelesaian yang efektif dan komprehensif.

Terdapat beberapa cara penyelesaian sengketa perbankan. Pertama, bank wajib memiliki mekanisme pengaduan dan penyelesaian sengketa secara internal. Kedua, dalam hal tidak memenuhi penyelesaiannya, maka dapat dimungkinkan dilakukan penyelesaian secara non litigasi melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan (LAPS SJK). Penyelesaian sengketa melalui LAPS SJK terdiri dari berbagai layanan antara lain: mediasi, arbitrase, hingga pendapat mengikat (binding opinion). Hanya dengan beberapa syarat sengketa perbankan dapat diselesaikan melalui LAPS SJK, yakni jika pengaduan internal tidak berhasil, sengketa tidak dalam proses atau sudah putus pada lembaga peradilan atau alternatif sengketa lain, dan merupakan sengketa keperdataan. Langkah terakhir yang dapat diambil adalah melalui jalur litigasi melalui pengadilan.

Baca Juga: Pendaftaran Tanah Ulayat: Perlindungan Hukum dan Implikasi Sosial bagi Masyarakat Adat di Indonesia

KESIMPULAN

Perbankan merupakan salah satu kegiatan usaha yang keberadaannya dimaksudkan untuk kesejahteraan masyarakat. Nasabah berperan penting dalam menjaga berjalannya kegiatan usaha perbankan untuk dapat mencapai tujuannya. Dalam hal bank dan nasabah mengadakan perjanjian, maka harus didasari dengan prinsip kepercayaan. Dalam konteks perlindungan nasabah, bank memiliki tanggung jawab transparansi informasi mengenai produk hingga risiko. Nasabah juga mendapat perlindungan bahkan ketika transaksi perbankan dilaksanakan secara elektronik. Dalam hal terjadi sengketa, hukum positif indonesia memungkinkan berbagai cara penyelesaian dari penyelesaian internal, non litigasi, hingga litigasi.

DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6845].

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 6/POJK.07/2022 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6788].

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2022 tentang Penyelenggaraan Teknologi Informasi oleh Bank Umum.

Neni Sri Imaniyati dan Panji Adam Agus Putra, Pengantar Hukum Perbankan Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2016.

Ojk.go.id, “Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa”, diakses dari ojk.go.id, diakses pada 30 Juni 2024.

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *