Bukan hanya kisah asmara saja yang kerap kali mengalami pemutusan hubungan, dalam hubungan pekerjaanpun tentu adanya pemutusan hubungan atau disebut Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Tidak asing rasanya bagi sobat mendengar kata PHK. Badai pandemi Covid-19 sukses memorak-porandakan pengusaha di negara berkembang, terkontraksi dengan banyaknya pekerja yang di rumahkan, hal ini karena pengusaha tidak mempunyai cashflow untuk PHK. Akibatnya bank dunia memproyeksikan pendapatan perkapita akan menurun 3,6%. Tidak bisa dipungkiri, masyarakat dunia akan teridentifikasi jatuh dalam jurang kemiskinan yang lebih ekstrim.
Baca juga: Karyawan Mengambil Cuti? Siapa Yang Akan Menggantikan?
Hadirnya UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 dianggap mengejutkan karena munculnya beberapa pasal yang mengubah ketentuan tentang PHK antara pengusaha dan pekerja. Pengubahan ketentuan itu dapat sobat lihat dalam Pasal 81 angka 37. Aturan tersebut mengubah ketentuan Pasal 151 UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003.
Jika Rapat Kerja Badan Legislasi (Baleg) DPR dan seluruh partai pendukung koalisi pemerintah telah menyepakati RUU Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU). Namun berbeda dari pandangan serikat buruh, mereka menganggap sejumlah pasal dari RUU Omnibus Law dinilai akan merugikan posisi tawaran pekerja. Salah satunya yakni pasal mengenai PHK pekerja oleh perusahaan.
Baca juga: Jejak Hukum Perburuhan di Indonesia
Salah satu ketentuan yang terlihat pada perubahan UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yaitu dimana sebelumnya PHK memerlukan ijin dari Pengadilan Hubungan Industrial. Tetapi dalam UU Cipta Kerja pengaturan PHK, ijin dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial tidak dibutuhkan lagi. Menurut pandangan serikat buruh, hal ini dapat memberikan peluang pengusaha untuk semena-mena dalam melakukan PHK dengan para pekerja.
Namun, kabar gembira terlihat dalam Pasal 151 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Klaster Ketenagakerjaan) menyatakan bahwa Pengusaha, pekerja, serikat pekerja, dan pemerintah harus mengupayakan agar tidak terjadi PHK. Artinya walau mekanisme PHK tidak lagi memerlukan ijin dari Pengadilan Hubungan Industrial, tetapi pengusaha, pekerja, serikat pekerja & pemerintah harus mengupayakan agar tidak terjadi PHK.
Baca juga: Perselisihan Dalam Hubungan Industrial dan Cara Mengatasinya
Hadirnya aturan PHK tidak harus didahului penetapan PHI. Semata-mata bukan sembarang melepas saja ya, sobat. Pengusaha cukup memeberitahukan alasan dan maksud melakukan PHK kepada buruh dan apabila buruh menolak di PHK, maka harus membuat surat penolakan lengkap dengan alsannya dengan jangka waktu paling lama 7 hari kerja setelah diterimanya surat pemberitahuan itu, lalu melakukan perundingan bipartit yang bisa dilakukan mediasi, jika bipartit tidak mencapai kesepakatan maka bisa diajukan sampai tahap penyelesaian di PHI.
Tetapi jika buruh menerima pemberitahuan PHK dan tidak menolak, maka langkah selanjutnya pengusaha harus melaporkan PHK kepada Kementerian Ketenagakerjaan atau diinas ketenagakerjaan pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Namun pemberitahuan PHK oleh pengusaha tidak diperlukan jika termasuk dalam 4 kategori dibawah ini, ya, sobat:
- Buruh melakukan pengunduran diri atas kemauan sendiri dan tanpa paksaan siapapun.
- PHK karena berakhirnya masa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).
- Telah mencapai usia pensiun sesuai dengan kesepakatan perjanjian kerja bersama (PKB) atau Peraturan Perusahaan (PP).
- Buruh telah meninggal dunia.
Dengan sahnya kesepakatan PHK antara pengusaha dan karyawan, maka karyawan berhak atas kompensasi berupa uang penghargaan masa kerja, uang pesangon dan uang penggantian hak. Diatur dalam UU Ketenagakerjaan sebelumnya pada Peraturan Menteri Tenaga kerja (Permenaker) No.2 Tahun 2022. Perhitungan uang pesangon dilakukan berdasarkan 2 kriteria, yaitu alasan PHK dan masa kerja karyawan.
Baca juga: Undang-Undang Cipta Kerja Dalam Pusaran Politik
Dalam UU Cipta Kerja, dasar perhitungan uang pesangon hanya pada masa kerja karyawan, alasan PHK tidak lagi dimasukan sebagai kriterianya. Namun menjadi catatan bagi buruh yang sudah mengajukan PHK dan langsung bekerja ditempat perusahan lain, maka dia tidak berhak lagi mendapat manfaat program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
Sumber:
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Kluster Ketenagakerjaan).
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Tenaga Kerja.
Peraturan Pemerintah No.35 Tahun 2021 mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).