Konkritisasi asas demokasi ekonomi dapat dilacak dalam Penjelasan ketentuan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Pada hakikatnya eksistensi asas demokrasi ekonomi berdampingan dengan asas kekeluargaan sebagaimana kedua asas tersebut saling menopang demi mewujudkan kemakmuran bagi rakyat Indonesia melalui pembangunan perekonomian negeri ini.
Adapun peran kedua asas a quo adalah mengimplementasikan lebih jauh guna memanifestasikan karakter badan usaha berbadan hukum yang tujuannya untuk menyejahterakan anggota salah satunya melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian sebagaimana terakhir telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Perkoperasian).
Koperasi merupakan salah satu perwujudan implementasi dari asas demokrasi ekonomi dan asas kekeluargaan sebagai subjek hukum yang mandiri yang diciptakan oleh hukum itu sendiri, dalam artian secara dogmatis menunjukkan bahwa Koperasi merupakan badan hukum (vide Pasal 9 UU Perkoperasian).
Bentuk penerapan dari kedua asas a quo oleh Koperasi adalah melalui penguatan fungsi dan peran sebagaimana landasan yuridisnya merujuk pada Pasal 4 UU Perkoperasian. Mengingat karakter Koperasi sebagai badan usaha berbadan hukum, tentunya membawa konsekuensi yuridis berupa memiliki harta kekayaan (aset) tersendiri (Ali, 2014: 21).
Oleh karena dapatlah diklasifikasikan bahwa Koperasi diiberikan kedudukan “persona standi in judicio” mengingat melalui hukum dikonstruksikan Koperasi dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum dengan diwakili oleh Pengurus sebagai salah satu organ di dalamnya (Prasetya, 2014: 5).
Baca juga: PENJELASAN KONSTITUSI (UUD 1945) INDONESIA
Dalam menjalankan usahanya, Koperasi tentu membutuhkan sebuah modal pinjaman guna perkuatan modal kerja kegiatan usahanya. Adapun salah satu lembaga keuangan bukan bank yang hadir sebagaimana menjalankan tugas dan fungsi demi perkuatan modal bagi Koperasi. Lembaga tersebut dikenal dengan nama Lembaga Pengelola Dana Bergulir Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (LPDB-KUMKM) yang eksistensinya sebagai unit kerja non-eselon yang berada di bawah Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia.
Dana yang disalurkan oleh LPDB-KUMKM kepada Koperasi sebagai perkuatan modal kerjanya secara yuridis dikenal dengan istilah dana bergulir. Keberadaan dana bergulir dikualifikasi sebagai dana yang diberikan kepada Koperasi dalam bentuk pinjaman atau pembiayaan yang bersumber langsung dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
Sehingga melihat dari konstruksi tersebut yang perlu dipahami klasifikasi dana bergulir sebagai piutang negara yang lahir sebagai akibat dari adanya perikatan yang lahir karena perjanjian (perjanjian pinjaman) yang sangat relevan dengan rumusan Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU Perbendaharaan Negara).
Lebih lanjut untuk menerapkan prinsip kehati-hatian dalam rangka penyaluran dana bergulir oleh LPDB-KUMKM kepada Koperasi wajib menerapkan analisis 5C Principle guna meminalisir risiko hukum yang timbul dikemudian hari.
Sehingga secara tidak langsung implementasi 5C Principle adalah sebagai bentuk pelindungan hukum preventif dalam penyaluran pinjaman/pembiayaan dana bergulir
Secara tersirat positifisasi 5C Principle terlacak dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir diubah oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU Perbankan sebagaimana diubah oleh UU P2SK) dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir diubah oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU Perbankan Syariah sebagaimana diubah oleh UU P2SK). Salah satu 5C Principle yakni diwujudkan dalam pengaturan penyaluran pinjaman/pembiayaan dana bergulir oleh LPDB-KUMKM adalah collateral.
Hal tersebut secara gamblang diatur dalam ketentuan Pasal 13 sampai dengan Pasal 15 Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2020 tentang Penyaluran Pinjaman atau Pembiayaan Dana Bergulir oleh Lembaga Pengelola Dana Bergulir Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (PMKUKM No. 4 Tahun 2020).
Namun jika ditelaah lebih lanjut terdapat ganjalan yang dinilai secara subtansial menimbulkan potensi disharmoni hukum. Hal ini ditunjukkan pada redaksional Pasal 14 ayat (6) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Oleh Koperasi (PP No. 9 Tahun 1995).
Ketentuan Pasal a quo menyatakan demi menjaga kesehatan usaha, Koperasi Simpan Pinjam (KSP) tidak dapat menggadaikan atau menghipotekan (menjaminkan) asetnya. Hal ini akan menjadi timpang jika memperhatikan ketentuan Pasal 14 ayat (4) PMKUKM No. 4 Tahun 2020 yang justru mengatur sebaliknya, dalam artian justru memperbolehkan Koperasi untuk menjaminkan aset miliknya kepada LPDB-KUMKM.
Baca juga: Hukum Dagang di Indonesia
Bilamana dengan menerapkan prinsip hukum lex superior derogate legi inferior, tentu secara mutlak PP a quo tentu membidas PMUKM No. 4 Tahun 2020. Dengan demikian hal ini perlu dikaji lebih lanjut terhadap eksistensi Pasal 14 ayat (6) PP a quo.
Rekonstruksi Pasal 14 ayat (6) PP No. 9 Tahun 1995 sebagai Upaya Mewujudkan Ease of Doing Business dan Mendukung Penyaluran Dana Bergulir kepada KSP
Pertama, menggunakan metode konstruksi hukum, yaitu argumentum a contrario, sebagaimana diartikan penalaran kritis apabila aturan hukum menetapkan hal-hal tertentu terhadap persitiwa atau perbuatan, yang menunjukkan aturan hukum itu bersifat membatasi pada perbuatan tertentu itu dan bagi diluarnya berlaku kebalikannya (Handoyo, 2017: 148-149).
Pada frasa “…….tidak dapat menghipotekkan atau menggadaikan harta kekayaannya….” dalam ketentuan Pasal 14 ayat (6) PP No. 9 Tahun 1995, lebih lanjut makna “menghipotekkan atau menggadaikan harta kekayaan” pada Pasal a quo dengan ditafsirkan secara gramatikal bermakna bahwa sebagai perbuatan atau tindakan hukum yang dilakukan oleh Koperasi untuk menjaminkan harta kekayaannya sebagai jaminan hutang atas fasilitas kredit/pinjaman yang diterimanya kepada Kreditur, baik bank maupun lembaga keuangan bukan bank, yang perbuatan atau tindakan tersebut memiliki sifat mengalihkan kekayaannya secara tidak langsung.
Dikatakan tidak langsung karena dalam ini pengalihan atas benda yang dijadikan sebagai objek jaminan hutang akan berlaku efektif bilamana Koperasi selaku debitur tidak dapat memenuhi prestasinya (wanprestasi) kepada kreditur dalam perjanjian kredit atau sejenisnya yang melahirkan hubungan kontraktual yang memiliki karaktersitik utang-piutang yang dijamin dengan suatu benda tertentu.
Kemudian untuk memperoleh haknya oleh kreditur atas benda yang diberikan jaminan kepadanya dilakukan penjualan baik melalui lelang maupun di luar lelang dan uang hasil dari penjualan tersebut diberikan kreditur untuk memenuhi hak-haknya yang timbul dari perikatan utang-piutang dengan debitur.
Sehingga secara a contrario terhadap Pasal 14 ayat (6) PP No. Tahun 1995, KSP diperbolehkan atau diperkenankan untuk menjaminkan asetnya kepada bank maupun lembaga pembiayaan bukan bank, bahkan kepada LPDB-KUMKM.
Secara yuridis menurut ketentuan Pasal 1150 juncto Pasal 1162 Burgerlijk Wetboek (BW) menggadaikan atau menghipotekkan atas harta kekayaan yang dimiliki oleh debitur kepada kreditur dalam perikatan utang-piutang adalah tindakan hukum dengan kausa yang diperbolehkan (vide Pasal 1320 BW).
Kedua, menerapkan asas lex superior derogate legi inferior, terlebih dahulu dengan merujuk pada Pasal 30 ayat (1) juncto Pasal 36 ayat (1) juncto Pasal 42 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UU PA), salah satu subjek hukum yang dapat memperoleh atau menjadi pemegang Hak atas Tanah (Hak Guna Usaha atau HGU, Hak Guna Bangunan atau HGB dan Hak Pakai atau HP) yakni badan hukum yang pendiriannya tunduk menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
Adapun Koperasi merupakan salah satu jenis badan hukum di Indonesia yang kedudukan hukumnya dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia diakui melalui UU Perkoperasian sebagaimana diubah oleh UU P2SK. Menurut Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UU HT) juncto Pasal 60 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, Dan Pendaftaran Tanah (PP No. 18 Tahun 2021), terdapat tiga objek Hak atas Tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan, yaitu HGU, HGB dan HP dengan jangka waktu.
Yang mana korelasinya sebuah Koperasi, khususnya KSP dapat memiliki beserta menjadi pemegang tiga objek Hak atas Tanah a quo dan membebaninya dengan Hak Tanggungan atas kepemilikan tiga objek Hak atas Tanah a quo sebagai jaminan hutang.
Maka antara UU PA dan UU HT yang hierarkinya lebih tinggi dapat mengesampingkan PP No. 9 Tahun 1995 yang secara yuridis jenjang hierarkinya lebih rendah daripada kedua UU a quo.
Adapun pula dalam problematika yuridis ini, dapat dengan menerapkan asas lex posterior derogate legi priori. Asas a quo mengandung makna bahwa peraturan perundang-undangan (aturan/norma hukum) yang baru menderogasi keberlakuan peraturan perundang-undangan (aturan/norma hukum) yang lama. Penerapan asas ini hanya dapat diberlakukan dan diterapkan bilamana aturan/norma hukum yang baru mempunyai kedudukan yang sederajat dengan aturan/norma hukum yang lama (Irfani, 2020: 312).
Mengingat antara PP No. 18 Tahun 2021 dengan PP No. 9 Tahun 1995 kedudukannya setara dan sederajat dalam jenis hierarki peraturan perundang-undangan, namun kedudukan PP No. 18 Tahun 2021 diklasifikasikan sebagai aturan/norma hukum yang baru, sedangkan PP No. 9 Tahun 1995 diklasifikasikan sebagai aturan/norma hukum yang lama. Mengingat terdapat kontradiksi antara kedua PP a quo, maka apabila diterapkan asas hukum a quo PP No. 18 Tahun 2021 tentu mengesampingkan PP No. 9 Tahun 1995.
Dalam materi muatan Pasal 14 ayat (1) PMUKM No. 4 Tahun 2020, diperbolehkan menjadikan piutang lancar milik KSP dibebani dengan Jaminan Fidusia. Mengenai pemaknaan piutang lancar koperasi menurut penafsiran hukum gramatikal diartikan sebagai hak tagih yang timbul atas fasilitas pinjaman yang diberikan oleh KSP kepada anggotanya (perikatan utang-piutang) dengan catatan hak tagih a quo dalam kondisi sedang tidak rescheduling (penjadwalan kembali), reconditioning (persyaratan kembali) dan restructuring (penataan kembali).
Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 499 juncto Pasal 505 BW, piutang (hak tagih) dikategorikan sebagai hak kebendaan tidak berwujud yang dapat dimiliki, artinya piutang itu sendiri memiliki nilai ekonomis meskipun sifatnya abstrak (tidak dapat diraba maupun dilihat dengan panca indera).
Pengakuan piutang pada hakikatnya secara yuridis dapat dijadikan sebagai objek benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia secara tersurat dalam ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU JF).
Namun formalitas dalam pembebanan piutang lancar milik KSP sebagai objek Jaminan Fidusia tentunya harus melalui akta Notaris menggunakan bahasa Indonesia sebagaimana ternyata diuraikan secara tegas menurut ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU JF, sehingga apabila disimpangi terhadap ketentuan a quo akan berimplikasi batal demi hukum (null and void).
Di sisi lain penggunaan bahasa Indonesia dalam akta Jaminan Fidusia sangat konsisten dan relevan dengan ketentuan kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam akta Notaris, baik dengan bentuk akta relaas maupun akta partij (vide Pasal 43 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 juncto Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019 tentang Bahasa Indonesia).
Jika ditelesik secara mendalam akta Jaminan Fidusia itu sendiri merupakan dokumen resmi negara, mengingat pembuatannya wajib di hadapan seorang Notaris, yang notabene adalah seorang pejabat umum yang memiliki kewenangan untuk membuat akta autentik yang diangkat oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
Sehingga lebih lanjut UU JF akan mengesampingkan ketentuan PP No. 9 Tahun 1995, hal ini pula berlaku yang sama dengan uraian narasi pada penerapan asas lex superior derogate legi inferior antara UU PA juncto UU HT dengan PP a quo.
Adapun untuk memberikan pijakan kepastian hukum dalam rangka pelaksanaan penyaluran dana bergulir oleh LPDB-KUMKM, terutama kepada KSP, dengan demikian eksistensi Pasal 14 ayat (6) PP No. 9 Tahun 1995 perlu dicabut atau dilakukan pembaharuan hukum terhadap PP No. 9 Tahun 1995 karena sudah tidak relevan dengan perkembangan bisnis yang kaitannya dengan penguatan modal kerja bagi KSP melalui pemberian fasilitas kredit atau pinjaman kepada Koperasi yang dijamin dengan hak kebendaan.