Dalam persidangan anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Listyo Sigit Prabowo (24 Agustus 2022) salah satu anggota DPR Ahmad Sahroni meminta kepada Kapolri agar melakukan revolusi mental di tubuh kepolisian. Pertanyaan kita adalah, apa sebenarnya yang dimaksud dengan revolusi mental? Apakah revolusi mental yang akan dilakukan adalah di tubuh institusi kepolisiannya atau segenap jajaran polisinya? Hal ini perlu kita pahami dan dudukkan secara benar agar pelaksanaan revolusi mental ini bisa berhasil dengan baik bukan sekedar wacana.
Institusinya namanya, “kepolisian” sedangkan orangnya disebut, “polisi”. Kalau kejaksaan sebagai institusi maka orangnya disebut jaksa. Pengadilan sebagai institusi maka orangnya disebut hakim, panitera dan yang lainnya. Dengan demikian jelas bahwa jika kita bicara tentang revolusi mental maka yang kita maksudkan adalah orangnya (polisinya, jaksanya dan hakimnya). Bagaimana jajaran polisi kita memiliki format “mental” yang baik dan benar. Memiliki format mental yang tangguh yang bisa membentengi dirinya dari segala bentuk rayuan yang dapat membuat dirinya melakukan berbagai bentuk pelanggaran hukum, etika, moral, agama dan nilai-nilai budaya.
Baca juga: Korupsi Kehendak Tuhan
Presiden Joko Widodo sejak di periode pertama pemerintahannya (2014-2019) telah mencanangkan gerakan, “revolusi mental”. Sebuah misi pemerintahan Jokowi yang hingga kini masih menjadi persoalan. Revolusi berasal dari bahasa Latin revolutio yang berarti perputaran arah. Bisa diartikan bahwa revolusi merupakan perubahan mendasar (fundamental) dalam struktur kekuatan atau organisasi yang terjadi dalam periode waktu yang relatif singkat (Rubini, 2019). Sedangkan kata mental (Rubini, 2019) atau mentalitas merupakan cara berpikir atau kemampuan untuk berpikir, belajar dan merespon terhadap situasi atau kondisi. Kemudian, sangatlah jelas bahwa orang akan mengartikan mental dengan pikiran. Dapat disimpulkan bahwa “Revolusi Mental” adalah perubahan yang relatif cepat dalam cara berpikir, merespon dan bekerja (Firdaus & Hasbullah, 2020).
Revolusi mental diharapkan akan dapat memperbaiki sikap dan perilaku masyarakat kita (khususnya jajaran pemerintahan dan aparatur sipil Negara dari pusat hingga di daerah). Revolusi mental di harapkan akan melahirkan disiplin yang tinggi, bekerja secara bertanggung jawab, memegang teguh amanah dan sumpah jabatan, malu serta tidak mau melakukan berbagai bentuk pelanggaran hukum (perundang-undangan) sekecil apa pun serta bekerja secara totalitas yang tidak memisahkan antara kehidupan duniawi dan kehidupan religiositas. Singkatnya memiliki sikap mental atau bathin yang tangguh sebagai orang Indonesia yang pada akhirnya menjadi budaya bangsa Indonesia(Zahrah & Rahmatika, 2019).
Baca juga: Mengenal Overmacht Melalui Bharada E
Lebih lanjut pernyataan dan perbincangan yang sering kali muncul adalah: mentalnya rusak, bobrok; terjadi degradasi moral; mari kita membangun mental dan moralitas yang baik di kalangan aparatur sipil negara (aparat penegak hukum termasuk tentunya para polisi). Tentu saja kita bertanya sudah kah statemen atau pernyataan tersebut benar adanya? Coba kita ulas berikut ini.
Jika seseorang kita sebut memiliki mental atau moral yang rusak atau bobrok maka pertanyaannya apakah mereka memang sebelumnya memiliki mental atau moral yang baik dan benar. Jika seseorang kita sebut mengalami degradasi mental atau moral maka pertanyaan tersebut kembali kita ajukan sudah kah sebelumnya mereka memiliki mental dan moral yang baik dan benar sehingga kemudian terjadi degradasi. Demikian pertanyaan penting yang kita ajukan dan berbagai analisis yang bisa kita ajukan.
Mental atau moral jika kita gunakan pengertiannya menggunakan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) maka disebutkan bahwa: mental adalah bersangkutan dengan batin dan watak manusia, yang bukan bersifat badan atau tenaga. Pada bagian lain mental diartikan dengan batin, intelektual, kejiwaan, kerohanian, moral, psikis, psikologis. Keseluruhan pengertian tersebut jelas menunjukkan kepada entitas yang internal dan tidak berwujud secara material. Dengan demikian bagaimana kita menilai atau mengukur sebuah mentalitas baik, benar dan berada pada perfoma yang tinggi. Dengan pengukuran itu tentu pada akhirnya kita dapat mengetahui kalau mental seseorang rusak, bobrok dan mengalami degradasi.
Kebanyakan kita dalam membincangkan tentang, “mental atau moral” tersebut hanya bersilat lidah atau berdebat kosong. Semuanya hanya membincangkan hal yang sebenarnya kita tidak tau wujudnya. Sebagai akibatnya jika seseorang mengalami dekadensi moral juga kita tidak tau bagaimana memperbaikinya. Semuanya kembali hanya sebagai perbincangan atau perdebatan kosong yang tidak sampai kepada substansi masalahnya. Sebagai akibatnya hingga kini kita tidak tau bagaimana hubungan antara tingkat pendidikan seseorang (dari SD hingga Perguruan Tinggi) baik dalam ilmu pengetahuan maupun dalam bidang agama, dengan wujud sikap mentalnya dalam bersikap dan berperilaku setiap hari. Bagaimana mereka mewujudkan mentalitas atau moralitas yang baik.
Baca juga: Mengenal Perbedaan Laporan Dan Pengaduan Dalam Hukum Acara Pidana Serta Prosedur Pelaksananya
Last but not least, moralitas atau mentalitas yang baik tidak lah tercermin secara paralel pada kepintaran atau jenjang pendidikan seseorang. Seorang sarjana (S1), master (S2) bahkan doktor (S3) dari berbagai bidang ilmu bisa saja dan banyak sudah contohnya bisa menjadi pelaku berbagai kejahatan. Demikian juga status sebagai tokoh agama (pimpinan pondok psantren pimpinan gereja dan yang lainnya) bisa menjadi pelaku kejahatan. Hal yang paling anyar adalah pangkat tertinggi sebagai aparat kepolisian (Irjen FS) ternyata bisa menjadi pelaku pembunuhan berencana yang sadis. Kemana gerangan nilai-nilai mental atau moral yang selama ini dia pelajari atau di ajarkan dalam semua jenjang pendidikan yang telah dia lewati? Demikian juga kemana pengaruh nilai-nilai ajaran agama yang selama ini mereka pelajari dan banggakan?
Kemana semua mereka simpan kapasitas intelektual (kecerdasan intelektual) yang mereka miliki. Pengetahuan dan kedalaman ilmu agama (kecerdasan religiositas) yang mereka miliki? Untuk itu bagaimana sejatinya kita harus memahami hal ini agar ke depan kita semua tidak lagi mengulang berbagai bentuk kejahatan yang jamak terjadi di tengah masyarakat seperti: korupsi, pembunuhan, pemerkosaan, perampokan dan yang lainnya yang ironisnya dilakukan oleh orang-orang terpelajar dari sisi ilmu pengetahuan dan agama.
Untuk memudahkan kita memahami topik pembahasan ini maka kita gunaka istilah, “akhlak” sebagai sinonim dari kata mental, moral dan yang lainnya. Kata akhlak kita gunakan karena ini lebih memudahkan kita memahami dan menggambarkan persoalan esensialnya. Kata akhlak dari bahasa Arab yang dengan sendirinya menggambarkan kalau entitas akhlak itu adalah bahasa agama dan memang kajian dan kewenangan agama untuk membahasnya. Ilmu pengetahuan bukan ranahnya untuk bebicara tentang akhlak. Membahasnya mungkin saja bisa tapi substansi dan implementasinya tidak mungkin bisa di jangkau oleh akal manusia yang melahirkan sains dan teknologi.
Mental, moral atau akhlak sebagaimana pengertian di atas adalah esensi diri yang tidak berwujud akan tetapi nyata adanya di dalam diri setiap orang. Entitas diri itu dapat kita rasakan adanya dalam dada pada setiap orang. Entitas diri ini berasal dari Tuhan. Dialah yang melihat di mata, mendengar di telinga, berfikir di otak dan yang berbicara di lidah. Dialah yang jika tidak ada lagi dalam diri kita maka seseorang itu kita sebut meninggal.
Akhlak yang merupakan entitas diri itu memiliki empat sifat dasar (benar, amanah, mengajarkan serta timbang rasa). Setiap orang dengan sifat, “benar” itu pasti tau mana yang salah mana yang benar, mana yang layak mana yang tidak layak, mana yang senonoh mana yang tidak senonoh. Sifat dasar ini ada pada setiap orang sejak kejadiannya dan untuk itu tidak di dapat melalui pelajaran di sekolah. Nilai, “kebenaran” ini lah yang seringkali kita tidak perdulikan dalam hidup dan kehidupan kita padahal setiap saat dia bersuara untuk mengingatkan kebenaran itu. Sebelum seseorang berbuat salah, berbohong apalagi melakukan tindak pidana (pembunuhan, korupsi, pencurian, perkosaan dan yang lainnya) dia pasti telah menegur dan mengingatkan bahwa itu perbuatan salah dan untuk itu jangan lakukan akan tetapi suara itu kita tidak perdulikan dan pada akhirnya jadi lah pelaku tindak pidana.
Pada ranah inilah kita senantiasa harus membersihkan hati kita agar menjadi hati sanubari yang bersih sehingga setiap saat dapat memancarkan nilai-nilai kebenaran. Pada wujd inilah amalan-amalan ajaran agama berfungsi untuk menjadikan kita berakhlak mulia. Orang-orang yang mengetahui dan mengenali nilai-nilai kebenaran atau akhlak dan juga mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Marilah kita melakukan revolusi mental dengan memulai pada diri kita masing-masing dengan memahami nilai-nilai kebenaran tersebut dan mengamalkannya. Coba kita merenung di malam hari sebelum tidur atau istirahat malam, rasakan apakah dia ada dalam dada kita sedang bercakap-cakap dengan anda tentang apa yang telah anda lakukan seharian. Pada sisi mana yang kita lakukan itu adalah yang benar dan pada sisi mana hal yang kita lakukan itu adalah hal yang salah. Sejatinya itulah, mental, moral atau akhlak yang nyata adanya dalam diri kita.# (Makassar, 30 Agustus 2022).
Sumber:
Firdaus, S. U. T., & Hasbullah, H. (2020). “Revolusi Mental” Birokrasi Di Indonesia : Good Governance. Public Corner, 14(2), 13–25. https://doi.org/10.24929/fisip.v14i2.889
Rubini. (2019). Internalisasi Revolusi Mental Dalam Pendidikan Islam. Komunikasi Dan Pendidikan Islam, 8(2), 210–229.
Zahrah, F. K., & Rahmatika, F. (2019). Pentingnya Pendidikan Terhadap Krisis Moralitas. Academia.
Respon (2)