PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia

Tanggung Jawab Pidana Korporasi dalam Bisnis

Korporasi

Korupsi dan Manipulasi Keuangan dalam Korporasi

Fraud atau laporan keuangan palsu merupakan perbuatan yang merugikan individu, perusahaan, dan ekonomi secara luas. Manipulasi informasi keuangan ini dilakukan dengan niat untuk menyesatkan atau mencari keuntungan pribadi. Dalam artikel ini, kita akan menjelaskan makna fraud, faktor-faktor yang mendorong terjadinya fraud, serta konsekuensinya terhadap pelaku dan korban. Dalam konteks akuntansi, fraud adalah tindakan curang yang melibatkan manipulasi data, pencurian aset, atau pelanggaran etika bisnis lainnya. Dalam praktiknya, fraud adalah pelanggaran hukum dengan tujuan memperoleh keuntungan pribadi atau merugikan pihak lain. Dalam konteks keuangan, fraud terjadi ketika informasi keuangan dengan sengaja dimanipulasi untuk menipu pihak lain. Donald R. Cressey mengembangkan konsep Fraud Triangle, suatu teori yang menjelaskan tiga elemen yang memicu terjadinya kecurangan dalam perusahaan, termasuk dalam laporan keuangan. Konsep ini memberikan pemahaman tentang motivasi dan situasi yang mendorong individu untuk melakukan tindakan curang. Di bawah ini dijelaskan tentang tiga elemen dalam Fraud Triangle, diantaranya:

Baca juga: Putusan Perkara PKPU Dinilai Ladang Baru Korupsi

  1. Tekanan atau Pressure

Elemen pertama dalam Fraud Triangle adalah adanya tekanan atau pressure yang dirasakan oleh individu. Tekanan tersebut bisa bersifat ekonomi, seperti utang yang menumpuk, kebutuhan mendesak, atau tekanan untuk mencapai target kinerja yang tidak realistis. Selain itu, tekanan juga bisa bersifat personal, seperti gaya hidup mewah yang sulit dijaga atau ketakutan akan kehilangan pekerjaan.

  1. Kesempatan atau Opportunity

Elemen kedua adalah adanya kesempatan atau opportunity untuk melakukan kecurangan. Kesempatan ini muncul ketika sistem pengendalian internal perusahaan lemah atau tidak efektif. Kurangnya pemisahan tugas, pengawasan yang tidak memadai, atau kelemahan dalam prosedur akuntansi dapat menciptakan celah yang memungkinkan individu untuk memanipulasi atau memalsukan informasi keuangan.

  1. Rasionalisasi atau Rationalization

Elemen ketiga adalah adanya rasionalisasi atau rationalization yang dilakukan oleh pelaku. Rasionalisasi ini merupakan proses pikiran di mana individu meyakinkan diri mereka sendiri bahwa tindakan kecurangan yang mereka lakukan adalah benar atau dapat dibenarkan. Mereka mungkin merasa bahwa mereka berhak mendapatkan keuntungan tersebut, atau mereka membenarkan tindakan tersebut dengan alasan bahwa perusahaan atau orang lain telah bertindak tidak adil.

Terdapat beberapa jenis fraud yang kerap terjadi dalam konteks keuangan dan bisnis. Berikut adalah tiga jenis fraud yang umum terjadi, diantaranya:

  1. Korupsi

Korupsi merujuk pada tindakan penyalahgunaan wewenang atau posisi untuk memperoleh keuntungan pribadi secara tidak sah. Dalam konteks keuangan, korupsi sering terjadi ketika individu menerima atau memberikan suap, memanipulasi kontrak, atau memanfaatkan jabatan atau pengaruhnya untuk mendapatkan keuntungan finansial yang tidak adil. Korupsi dapat merugikan perusahaan, entitas pemerintah, atau masyarakat umum.

  1. Penyalahgunaan Aset

Penyalahgunaan aset terjadi saat seseorang menggunakan atau mencuri aset perusahaan atau organisasi untuk keuntungan pribadi. Ini dapat mencakup pencurian uang tunai, penggelapan inventaris, pemanfaatan kendaraan perusahaan untuk kepentingan pribadi, atau eksploitasi fasilitas perusahaan. Penyalahgunaan aset merugikan perusahaan dari segi finansial dan dapat mengganggu efisiensi operasional.

  1. Kecurangan Laporan Keuangan

Kecurangan laporan keuangan melibatkan pemalsuan atau manipulasi informasi keuangan yang tercantum dalam laporan keuangan perusahaan. Tindakan ini bertujuan untuk menipu pemegang saham, investor, atau pihak lain yang mengandalkan pada informasi keuangan tersebut. Kecurangan laporan keuangan dapat mencakup pembesar-pembesaran atau pemendekan pendapatan, aset, atau utang, penghilangan biaya atau beban yang seharusnya dicatat, atau perubahan prinsip akuntansi untuk memanipulasi hasil keuangan.

Baca juga: Tindak Pidana Korupsi: Akar Masalah dan Upaya Penanganannya

 

Perlindungan Lingkungan dan Sumber Daya

Menurut Erdiansyah (2015: 146), penegakan hukum dalam konteks lingkungan hidup dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori utama, yaitu penegakan hukum lingkungan terkait dengan Hukum Administrasi atau Tata Usaha Negara; penegakan hukum lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Perdata, dan; penegakan hukum lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Pidana. Dalam menjaga dan menjalankan penegakan hukum lingkungan, tanggung jawab utama berada pada pejabat administrasi, karena mereka yang bertanggung jawab untuk memberikan izin dan dengan demikian, mereka pertama-tama mengetahui jika ada pelanggaran izin atau syarat-syarat dalam izin tersebut dilanggar. Penelusuran dokumen-dokumen seperti Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), izin (lisensi), dan pembagian tugas dalam jabatan yang ada dalam badan hukum (korporasi) terkait akan menghasilkan data, informasi, dan fakta terkait dampak negatif yang timbul dari kegiatan perusahaan tersebut, serta sejauh mana upaya pemantauan dan pengendalian terhadap dampak tersebut telah dilakukan. Dari dokumen-dokumen tersebut, juga dapat diperoleh informasi mengenai hak dan kewajiban pengurus perusahaan, serta kemampuan mereka untuk memantau, mencegah, dan mengendalikan dampak negatif dari kegiatan perusahaan tersebut. Penelusuran ini menjadi dasar untuk menentukan apakah pencemaran dan/atau perusakan lingkungan terjadi akibat kesengajaan atau kelalaian.

Penegakan hukum pidana, di sisi lain, merupakan langkah ekstrem atau tindakan hukum terakhir karena tujuannya adalah untuk menghukum pelaku dengan hukuman penjara atau denda. Penegakan hukum pidana tidak fokus pada perbaikan lingkungan yang telah tercemar, tetapi lebih pada menghukum pelaku tindakan tersebut. Selain itu, penegakan hukum pidana selalu diterapkan secara selektif. Proses penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana lingkungan hanya dimulai setelah aparat yang berwenang telah memberikan sanksi administrasi dan telah mengambil tindakan terhadap pelanggaran dengan menerapkan sanksi administratif. Jika sanksi administratif tidak berhasil menghentikan pelanggaran, maka upaya penyelesaian sengketa dapat diupayakan melalui mekanisme alternatif di luar pengadilan, seperti musyawarah, perdamaian, negosiasi, atau mediasi. Penyelesaian sengketa lingkungan melalui mediasi sering dianggap lebih efisien dalam hal waktu dan biaya, dan juga lebih dipercaya oleh masyarakat dibandingkan dengan proses litigasi atau jalur pengadilan (Levy, 2014: 1-5).

Baca juga: Perlunya Langkah Tegas untuk Membasmi Wabah Korupsi

 

Penegakan Hukum dan Reformasi Perusahaan

Korporasi adalah entitas hukum yang merupakan representasi buatan dari individu yang memiliki hak dan kewajiban hukum. Yang membedakannya dari individu manusia adalah bahwa korporasi sebagai subjek hukum tidak dapat dijatuhi hukuman yang mencakup penjara, mengingat sifatnya sebagai entitas buatan. Karena sifat hukum korporasi yang bersifat buatan, Pasal 5 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 mengatur bahwa ketika satu atau lebih pengurus korporasi berhenti atau meninggal dunia, ini tidak akan menyebabkan hilangnya tanggung jawab hukum korporasi. Oleh karena itu, Pasal 23 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 juga menyatakan bahwa hakim dapat memberlakukan hukuman terhadap korporasi atau pengurus, atau korporasi dan pengurus, baik sebagai pilihan alternatif atau kumulatif.

Dalam hal pertanggungjawaban hukum korporasi, sanksi atau hukuman yang dapat dikenakan kepada korporasi sesuai dengan panduan yang dijelaskan dalam Pasal 25 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 adalah pidana pokok dan/atau pidana tambahan. Pidana pokok yang dapat dikenakan kepada korporasi adalah pidana denda. Sementara itu, pidana tambahan yang dapat dikenakan kepada korporasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya, seperti yang diatur dalam Pasal 10 KUHP dan ketentuan jenis pidana lainnya yang ada dalam undang-undang lain sebagai lex specialis dari KUHP, yang merupakan undang-undang umum. Sebagai contoh penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam konteks kasus lingkungan hidup adalah pemberian hukuman berupa denda sebagaimana yang diatur dalam Pasal 98 ayat (1) Undang-Undang Lingkungan Hidup. Ini terkait dengan tindakan yang mengakibatkan pelanggaran terhadap standar mutu udara ambien, mutu air, mutu air laut, atau kriteria kerusakan lingkungan hidup yang ditetapkan dalam undang-undang.

 

Referensi:

Sirait, Novalina Romauli. 2021. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2009. Melayunesia Law. 2(2): 239-244.

Aries, Albert. 2018. Pertanggungjawaban Pengurus dalam Tindak Pidana Korporasi. Diakses pada tanggal 28 Agustus 2023 dari https://www.hukumonline.com/klinik/a/pertanggungjawaban-pengurus-dalam-tindak-pidana-korporasi-lt5a5ecc109ea26/

Siregar, Aisyah. 2010. Tanggung Jawab Pidana Korporasi. Diakses pada 28 Agustus 2023 dari https://www.hukumonline.com/klinik/a/tanggungjawab-pidana-korporasi-cl6644/

Universitas Esa Unggul. 2023. Mengenal Istilah Fraud dalam Keuangan. Diakses pada 28 Agustus 2023 dari https://ekonomi.esaunggul.ac.id/mengenal-istilah-fraud-dalam-keuangan/

Exit mobile version