PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia
Opini  

Urgensi Membentuk Lembaga Sentra Harmoni Keluarga dan Meninggalkan Skema Perceraian di Pengadilan

Perceraian

Daftar Isi

Perceraian adalah salah satu masalah keluarga dan maslaah sosial yang kompleks dan berdampak besar, baik pada individu, keluarga, maupun masyarakat secara umum. Di Indonesia, perceraian harus diselesaikan melalui pengadilan, yang sering kali memperpanjang konflik dan menambah beban psikologis bagi pasangan yang terlibat. Di Indonesia, perceraian diajukan ke pengadilan agama atau pengadilan negeri, tergantung pada status agama pasangan yang bercerai.

Baca juga: Kompetensi Pengadilan Agama dalam Menangani Kasus Perceraian Keluarga TKI yang Masih di Luar Negeri

Secara yuridis, meskipun proses perceraian di Indonesia memiliki dasar hukum yang kuat, seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019  dan Kompilasi Hukum Islam (untuk yang beragama Islam), pendekatan yang bersifat formal dan litigasi ini tidak selalu menyelesaikan masalah dengan cara yang lebih manusiawi. Seringkali, proses perceraian ini lebih menekankan pada aspek legalitas prosedural hukum acara daripada penyelesaian masalah secara komprehensif dan harmonis.

Penyelesaian perkara perceraian melalui pengadilan di Indonesia, meskipun memiliki dasar hukum yang jelas dan sistem yang terstruktur, secara faktual justru membuat proses perceraian menjadi lebih rumit, memakan waktu, biaya tinggi, dan meningkatkan konflik antar pasangan, dimana proses perceraian yang diselesaikan melalui Pengadilan memiliki kekurangan sebagai berikut:

  • Proses yang Panjang dan Rumit

Salah satu kekurangan terbesar dari penyelesaian perceraian di pengadilan adalah proses yang panjang dan rumit bahkan ketika kedua pasangan tersebut telah sepakat untuk bercerai hakim harus tetap memeriksa dan mengadili perkara tersebut sesuai hukum acara, bisa dibayangkan prosedur penyelesaian perkara yang diatur dalam Hukum Acara yang begitu rumit dan berbelit-belitnya kemudian dikonversi dan diserap untuk menyelesaikan perkara perceraian yang sebenarnya sangat sederhana.

Seperti contoh misal, kedua pasangan telah bersepakat untuk bercerai, namun majelis hakim harus tetap melalui prosedur hukum acara mulai dari sidang mediasi, pembacaan gugatan, jawaban gugatan, replik, duplik, pembuktian – membawa minimal dua orang saksi, kesimpulan, musyawarah mejalis, dan pembacaan putusan dimana waktu setiap agenda tidak sekaligus melainkan ditunda satu minggu satu kali. Padahal sebenarnya ketika mereka bersepakat untuk bercerai kenapa harus diperpanjang?

  • Biaya yang Mahal

Perceraian di pengadilan, terutama jika melibatkan pengacara dan proses yang panjang, memerlukan biaya yang sangat cukup tinggi. Pasangan yang mengajukan perceraian harus menanggung biaya panjar perkara termasuk biaya administrasi, biaya pengacara, serta biaya sidang yang terus bertambah seiring berjalannya waktu. Biaya ini tidak hanya menjadi beban bagi pasangan yang mengajukan perceraian, tetapi juga bisa memperburuk kondisi keuangan mereka. Hal ini sangat kontradiktif dengan prinsip dasar perceraian itu sendiri, yaitu untuk memulai kehidupan baru yang lebih baik, bukan membebani para pihak.

  • Konflik yang Terus Berkepanjangan

Proses perceraian di pengadilan cenderung memperburuk konflik yang sudah ada antara pasangan. Sidang yang berlangsung dalam suasana formal dan adversarial (adversary methode – metode pertarungan) membuat masing-masing pihak merasa harus membela diri dan menyerang pihak lainnya, apalagi dalam perkara perceraian harus dibuat dalil yang “menjelekkan” pihak lainnya untuk menunjukkan alasan-alasan perceraian yang diatur dalam 19 UU Perkawinan. Hal ini justru memperburuk komunikasi dan menghambat upaya untuk mencapai kesepakatan.

Adanya proses saling tuding membuat perasaan saling tidak percaya semakin kuat, dan seringkali menambah luka emosional yang tidak perlu. Proses saling tuding ini sangatlah tidak relevan bahkan terkesan dipaksakan karena faktanya dalam perkara perceraian hampir seluruhnya dikabulkan sekalipun pihak yang dituduh – sebenarnya tidak melakukan perbuatan yang dituduhkan tesebut. Selain itu hal ini juga sudah tidak relevan apabila kedua pasangan sudah sepakat untuk bercerai (apapun alasannya), namun Pengadilan tetap menuntut mereka untuk saling menuding dan membuktikan tudingan masing-masing pihak, padahal sebenarnya sudah tidak perlu karena kedua belah pihak sudah dari awal sepakat untuk bercerai.

  • Keterbatasan dalam Penyelesaian Masalah Secara Holistik

Pengadilan hanya fokus pada aspek hukum dari perceraian, yaitu memutuskan apakah perceraian dapat dilanjutkan atau tidak, dan sebenarnya masalah ini bukanlah masalah konflik hukum secara murni tapi lebih kepada masalah keluarga, psikologi dan sosial. Namun, pengadilan tidak selalu mampu menangani aspek keluarga, psikologis dan sosial tersebut, seperti trauma emosional pasangan yang bercerai atau dampaknya pada keluarga yang lebih luas. Tidak adanya pendampingan psikologis atau mediasi yang memadai sering kali mengarah pada penyelesaian yang hanya menyentuh permukaan masalah, sementara akar masalah dalam hubungan tersebut tetap tidak terselesaikan.

  • Kurangnya Fokus pada Rekonsiliasi dan Perdamaian

Sebagian besar pengadilan di Indonesia lebih fokus pada proses formal perceraian, tanpa memberikan perhatian yang cukup serius bagi upaya rekonsiliasi. Mediasi yang dilakukan di pengadilan diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, meskipun ada, tidak selalu memberikan hasil yang maksimal, karena mediasi seringkali dilakukan secara formalitas, terburu-buru dan tanpa mempertimbangkan kedalaman masalah yang ada dalam hubungan tersebut. Padahal, banyak pasangan yang mungkin lebih memilih untuk berdamai dan menemukan solusi yang lebih baik, tetapi karena tekanan proses pengadilan yang kaku, mereka merasa terpaksa untuk melanjutkan perceraian.

Sebagai perbandingan, Swedia mengadopsi pendekatan yang jauh lebih ringan dan lebih mengedepankan mediasi serta penyelesaian perceraian tanpa melalui pengadilan. Di Swedia, pasangan yang ingin bercerai hanya perlu mengajukan permohonan perceraian secara tertulis ke lembaga pemerintah yang berwenang. Proses perceraian dapat diselesaikan tanpa melalui pengadilan selama tidak ada masalah signifikan, seperti hak asuh anak atau pembagian harta yang harus diputuskan oleh pengadilan. Jika ada isu yang lebih rumit, pengadilan akan terlibat hanya untuk bagian tersebut, seperti pembagian aset atau hak asuh anak.

Keunggulan dari sistem ini adalah efisiensi waktu dan biaya, Pasangan yang bercerai tidak perlu melalui prosedur panjang dan mahal di pengadilan, dan beban pengadilan pun berkurang. Selain itu, proses ini mengurangi ketegangan emosional karena tidak mengharuskan pasangan untuk menghadapi proses litigasi yang cenderung memperburuk hubungan mereka.

Sistem ini sangat relevan dengan upaya menciptakan harmoni keluarga pasca perceraian, terutama ketika masalah yang dihadapi lebih bersifat administratif daripada konflik mendalam. Dalam banyak kasus, pasangan yang sudah sepakat untuk berpisah akan lebih efektif dan damai jika diberikan solusi administrasi yang cepat dan tidak berlarut-larut.

Melihat sistem di negara-negara seperti Swedia, Indonesia perlu mulai mempertimbangkan alternatif penyelesaian perceraian yang lebih efisien dan berorientasi pada penyelesaian konflik secara damai. Di sinilah Lembaga Sentra Harmoni Keluarga Indonesia sangat diperlukan. Lembaga ini bisa berfungsi sebagai tempat konseling dan pendidikan atau pembekalan khusus sebelum atau pra menikah, sekaligus juga bisa berfungsi di mana pasangan yang ingin bercerai dapat mendapatkan konseling, mediasi, serta bantuan administratif yang memadai untuk menyelesaikan permasalahan mereka, seperti hak asuh anak, pembagian harta, dan keputusan lainnya, tanpa harus melalui jalur pengadilan yang panjang dan mahal. Barulah jika ada hal-hal lain yang tidak disepakati antara mereka dapat diselesaikan melalui proses litigasi di pengadilan, sementara untuk sebagian perkara lainnya yang sudah disepakati dalam proses mediasi ini tidak perlu dimunculkan lagi di pengadilan dan harus dianggap sebagai kesepakatan yang mengikat dan berkekuatan hukum seperti putusan pengadilan.

Baca juga: URGENSI PENCATATAN PERKAWINAN

Lembaga ini akan fokus pada penyelesaian masalah secara holistik dengan mempertimbangkan dampak emosional, psikologis, dan sosial dari perceraian terhadap anggota keluarga, terutama anak-anak. Dalam lembaga ini, pasangan dapat mendapatkan bantuan dari mediator profesional dan psikolog keluarga yang akan membantu mereka menyelesaikan masalah tanpa harus bertarung di ruang sidang yang dapat memperburuk situasi.

Jika lembaga ini dapat terwujud di Indonesia dan dijalakan fungsiya secara maksimal maka Proses dan Biaya Perceraian akan lebih Efisien, Mengurangi Beban Pengadilan, Penyelesaian yang Lebih Damai, Meningkatkan Kesejahteraan Sosial karena Dengan adanya lembaga ini, pasangan yang bercerai akan lebih siap untuk membangun kehidupan baru mereka tanpa adanya trauma atau konflik yang tidak terselesaikan. Hal ini akan meningkatkan kesejahteraan sosial, terutama bagi anak-anak yang seringkali menjadi korban utama dari perceraian.

Indonesia sangat perlu untuk mengadopsi sistem yang lebih progresif dalam penanganan masalah keluarga, dengan belajar dari negara-negara seperti Swedia. Lembaga Sentra Harmoni Keluarga bisa menjadi solusi yang lebih efisien, murah, dan damai untuk mengatasi masalah keluarga. Dengan mengedepankan mediasi dan penyelesaian konflik secara damai, kita dapat memastikan bahwa perceraian tidak menjadi bencana yang memperburuk keadaan, melainkan sebuah langkah penyelesaian masalah yang membawa keluarga ke arah yang lebih harmonis.

Penulis

Diyaul Hakki, S.H., M.H.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *