Seperti yang kita ketahui bahwa hak untuk menuntut dan menjalani hukuman di Indonesia, telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Hak untuk menuntut merupakan hak yang dimiliki oleh seseorang supaya mendapatkan perlindungan hukum atas hak-haknya yang dirugikan. Sebagaimana dalam Pasal 28 D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Hapusnya hak untuk menuntut dapat disebabkan karena beberapa hal.
Hal-hal yang menghapuskan hak untuk menuntut pidana diatur dalam KUHP, yaitu pada Pasal 76 sampai dengan Pasal 82 KUHP baik tentang ne bis in idem, matinya terdakwa, daluwarsa, dan penyelesaian di luar proses pengadilan berupa tindak pidana pelanggaran dengan ancaman hukuman berupa hukuman denda. Adapun alasan menghapuskan hak untuk menjalankan pidana sebagaimana diatur dalam KUHP, yaitu Pasal 83, Pasal 84, dan Pasal 85 KUHP terkait dengan matinya terpidana dan daluwarsanya suatu hak untuk menjalankan pidana.
Baca juga: Mengukur Pembelaan Diri Dalam Kerangka Hukum Pidana
Hapusnya Hak Negara Untuk Menuntut Pelaku
Dalam praktiknya di persidangan bahwa penuntut umum tidak dapat untuk menuntut pelaku, begitu juga hakim kemudian tidak dapat mengadili. Hal ini disebabkan karena terdapat keadaan-keadaan yang telah membuat tindakan atau perbuatan dari seseorang tersebut menjadi tidak bersifat melawan hukum ataupun juga bahwa pelaku tersebut tidak dapat dipersalahkan atas perbuatan yang sudah dilakukannya.
Terdapat 4 hal yang menjadikan hapusnya negara untuk menuntut pelaku, yaitu ne bis in idem, matinya terdakwa, daluwarsa, dan penyelesaian di luar proses pengadilan berupa tindak pidana pelanggaran dengan ancaman hukuman berupa hukuman denda. Pertama, Ne bis in idem ialah perkara tidak boleh dituntut dua kali atas perbuatan yang hakim telah adili dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap, sebagaimana dalam Pasal 76 KUHP. Hal ini dimaksudkan bahwa supaya memberikan kepastian hukum kepada masyarakat serta berdasarkan Pasal 76 ayat (2) KUHP bahwa putusan yang berkekuatan hukum tetap maka terhadap pelaku dan tindak pidananya tidak boleh diadakan penuntutan baik putusan berupa pembebasan dari tuduhan atau lepas dari tuntutan hukum serta putusan pemidanaan.
Kedua, tentang matinya terdakwa ialah hapusnya hak negara untuk menuntut pelaku karena matinya terdakwa. Berdasarkan pada Pasal 77 KUHP menyatakan bahwa “Kewenangan menuntut pidana hapus, jika terdakwa meninggal dunia.” Dengan meninggalnya tersangka maka penyidikan pun harus dihentikan dan hapus menurut hukum serta tidak dapat dialihkan kepada ahli warisnya. Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 29/K/Kr/1974 tanggal 19 November 1974 bahwa hak untuk menuntut hukuman gugur karena tertuduh meninggal dunia, sehingga permohonan kasasi dari jaksa dinyatakan tidak dapat diterima.
Ketiga, tentang daluwarsa. Hal ini diatur dalam Pasal 78 KUHP yang menyatakan bahwa “Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa.” Maksud dari daluwarsa (verjaring) disini ialah merupakan lampau waktu yang diberikan undang-undang untuk menuntut seorang tertuduh dalam perbuatan pidana. Terdapat ketentuan pada Pasal 78 ayat (1) KUHP bahwa menuntut pidana menjadi gugur dalam tenggang waktu tertentu, yaitu berdasarkan tidak pidana pelanggaran dan kejahatan percetakan sesudah satu tahun, tindak pidana kejahatan yang diancam pidana denda, pidana kurungan atau pidana penjara paling lama tiga tahun sesudah enam tahun, dan lain sebagainya.
Keempat, terkait tentang penyelesaian di luar proses pengadilan. Berdasarkan pada Pasal 82 KUHP bahwa perkara pidana yang terbatas pada pidana pelanggaran yang diancam dengan pidana denda saja, seperti sukarela si pembuat membayar maksimum denda dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan jika penuntutan telah dimulai. Terkait dengan pembayaran denda maksimum dan biaya-biaya tersebut maka hapuslah kewenangan negara untuk melakukan penuntutan pidana terhadap si pelaku.
Baca juga: Asas Legalitas dalam Hukum Pidana
Hapusnya Hak Negara Untuk Menjalankan Pelaku
Pasal 14 UUD Tahun 1945 tentang Grasi, Amnesti, dan Abolisi yang merupakan hak prerogratif dari Presiden. Mengenai Grasi yang diberikan oleh presiden, dengan ini memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung baik berdasarkan Pasal 14 UUD NRI Tahun 1945 jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 yang menggantikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi. Grasi merupakan wewenang dari kepala negara untuk menghapuskan seluruh pidana yang telah dijatuhkan hakim atau mengurangi pidana, atau menukar hukum pokok yang berat dengan suatu pidana yang lebih ringan. Grasi berupa peringanan atau perubahan jenis pidana, pengurangan jumlah pidana, dan penghapusan pelaksanaan pidana.
Begitu juga pada Amnesti dan Abolisi berdasarkan Pasal 14 UUD NRI Tahun 1945. Dalam memberikan amnesti dan abolisi, maka Presiden harus mendapat nasehat tertulis dari Mahkamah Agung yang dimintakan oleh Menteri Kehakiman. Amnesti adalah pengampunan dari Presiden yang menghapuskan semua akibat hukum pidana bagi orang-orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, baik sebelum maupun sesudah adanya putusan pengadilan. Abolisi merupakan pengampunan dari Presiden yang dapat menghapuskan penuntutan kepada pelaku tindak pidana, serta hanya dapat diberikan kepada pelaku tindak pidana sebelum ada putusan pengadilan.
Selain itu terdapat Rehabilitasi yang diatur dalam Pasal 1 Angka 23 KUHP tentang rehabilitasi. Rehabilitasi merupakan hak seseorang mendapatkan pemulihan haknya baik kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya dari penyidikan dan penuntutan karena ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.
Baca juga: 12 Asas Hukum Acara Pidana
Apabila Adanya Perubahan Hukum yang Mengatur
Berkaitan dengan hak negara untuk menuntut pelaku telah diatur dalam KUHP dan sekarang berdasarkan KUHP yang baru, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023. Berdasarkan dari KUHP baru (UU No. 1 Tahun 2023) telah diatur dalam Bab IV yang dimulai dari Pasal 132 sampai dengan Pasal 143.
Begitu pun tentang hapusnya negara untuk menjalankan pelaku sudah diatur dalam Pasal 14 UUD NRI Tahun 1945. Baik mengenai tentang Grasi, Amnesti, dan Abolisi. Untuk Grasi telah diubah pada UU No. 5 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi. Untuk Amnesti dan Abolisi diatur dalam Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi.
Referensi:
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Wangki, Estefin.2017. Hapusnya Hak Menuntut dan Menjalankan Pidana Menurut Pasal 76 KUHP. Jurnal Lex Administratum. Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017;
Jusuf Dzainuddin.2016. Gugurnya Hak Menuntut Hukum Dikarenakan Penerapan Asas Ne Bis In Idem (Kajian Pasal 76 KUHP). Jurnal Lex Privatum. Vol. IV/No. 7/Ags/2016
Amnesti, Rehabilitasi, Abolisi, dan Grasi – Klinik Hukumonline, diakses pada tanggal 16-09-2023 pukul 12.00 WIB
Hapusnya Hak Untuk Menuntut dan Menjalani Hukuman Pidana – Situs Hukum, diakses pada tanggal 16-09-2023 pukul 13.00 WIB