PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia
Opini  

Urgensi Perlindungan Konsumen Terhadap Praktik Penarikan Paksa Kendaraan Oleh Debt Collector

Avatar of Pinter Hukum
Perlindungan Konsumen

Perlindungan Konsumen Terhadap Debt Collector

Kesan apa yang pertama kali terbesit dari benak kita semua kala mendengar istilah debt collector. Bukankah istilah tersebut tak terlalu asing diketahui. Namun mengapa belakangan ini profesi tersebut kerap mendapatkan stigma dan streotif yang negatif di masyarakat.

Anggapan tersebut tidak sepenuhnya keliru jika kita mencoba menariknya dari sisi sepak terjang sejarah profesi tersebut eksis di Indonesia.

Dikutip dari beberapa sumber di internet, profesi debt collector merupakan pihak ketiga yang bekerja atas nama pihak kreditur untuk melakukan tugas dalam bidang penagihan utang ataupun kredit.

Baca juga: Perlindungan Konsumen: Pengertian, Bentuk, dan Pentingnya

Perlu digaris bawahi juga bahwa debt collector merupakan profesi yang legal di Indonesia dan tidak ada masalah dengan hal itu. Selama dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya ia tunduk dan patuh sesuai dengan prosedur dan ketentuan hukum yang berlaku.

Masih berkaitan dengan hal tersebut belakangan ini telah viral sebuah potongan video pendek di beberapa media sosial yang mempertontonkan salah seorang debt collector yang berseteru dengan seorang anggota kepolisian yang berusaha untuk menjadi mediator saat beberapa debt collector tersebut mencoba mengambil paksa kendaraan yang disinyalir milik salah seorang selebgram.

Berkaca dari video viral tersebut, kasus-kasus penarikan terhadap kendaraan di jalanan bukan kali ini saja terjadi. Entah berapa puluh kasus pada setiap harinya peristiwa ini terulang dan terjadi secara terus-menerus di kehidupan nyata masyarakat tanpa pernah terekspos oleh media.

Pasalnya, titik permasalahan tidak hanya pada tindakan penarikan terhadap kendaraan semata, akan tetapi seringkali tindakan tersebut  justru disertai dengan perbuatan yang arogan dan bersifat intimidasi berupa paksaan, kekerasan verbal sampai tak jarang pada beberapa kasus berujung pada perkelahian.

Kondisi demikian tidak hanya merugikan konsumen/debitur semata, bahkan pengguna jalan lain pun turut terkena imbasnya.

Akibat Hukum Penarikan Paksa Kendaraan oleh Debt Collector

Peran Debt Collector erat kaitanya dengan apa yang dimaksud sebagai Fidusia yang berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 dijelaskan sebagai suatu proses mengalihkan hak milik atas suatu benda dengan dasar kepercayaan, tapi benda tersebut masih dalam penguasaan pihak yang mengalihkan. Secara umum, Fidusia dapat juga dikategorikan dalam perjanjian kredit kendaraan bermotor.

Jika mencoba menelisik problem tersebut secara prosedural, dalam menjalankan tugasnya seorang debt collector wajib untuk memiliki, membawa dan memperlihatkan dokumen-dokumen resmi dalam melakukan upaya penarikan terhadap kendaraan seperti kartu identitas, sertifikat profesi dalam bidang penagihan, surat tugas yang diberikan dari perusahaan leasing/pembiayaan, kemudian bukti dokumen lengkap yang menyatakan bahwa debitur telah ingkar/wanprestasi atau sertifikat jaminan fidusia sebagaimana juga dimaksud dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

Seluruh dokumen tersebut wajib dimiliki oleh setiap debt collector yang hendak melakukan penarikan terhadap kendaraan. Dan untuk melindungi suatu hak masyarakat berhak menolak untuk memberikan kendaraan tersebut sebelum mempertanyakan terlebih dahulu kelengkapan dokumen yang dimiliki oleh debt collector. Hal yang sama juga diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2011.

Baca juga: Mengenal Perbedaan Laporan Dan Pengaduan Dalam Hukum Acara Pidana Serta Prosedur Pelaksananya

Kemudian berkaitan dengan etika dalam melakukan penagihan, Otoritas Jasa Keuangan melalui Peraturan OJK Nomor 6/POJK.07/2022 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan melarang para debt collector untuk mempergunakan ancaman, melakukan tindakan kekerasan yang bersifat mempermalukan dan memberikan tekanan secara fisik maupun verbal.

Apabila peraturan tersebut tidak diindahkan oleh debt collector maka konsekuensi sanksi yang diberlakukan dapat berupa peringatan tertulis, denda, pembantasan kegiatan usaha, pembekuan produk/kegiatan usaha, pencabutan izin produk dan pencabutan izin usaha.

Jauh sebelumnya, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 18/PUU-XVII/2019 pada pokoknya menyebutkan bahwa kekuatan eksekutorial pada Pasal 15 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dimaknai “Terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.”

Putusan tersebut berangkat sebagai akibat karena adanya multi-tafsir dalam memaknai Pasal 15 Ayat (2) Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia bahwa Sertifikat Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Akibat dari multi-tafsirnya dalam memahami pasal tersebut mengakibatkan adanya legitimasi dan normalisasi terhadap praktik penarikan yang dilakukan secara sepihak di jalanan.

Lebih mengikat lagi Mahkamah Konstitusi mempertegas kembali setelah pernah diputus sebelumnya bahwa perusahaan pembiayaan tidak bisa melakukan penarikan paksa kendaraan apabila debitur keberatan dan melakukan perlawanan.

Hal itu yang kemudian dituangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-XIX/2021 dalam uji materi terhadap Undang-Undang Fidusia.

Konsekuesinya, apabila semua ketentuan hukum tersebut di atas tidak dilaksanakan dan para debt collector tetap bersikeras untuk melakukan penyitaan atau penarikan secara paksa terhadap kendaraan maka secara hukum pidana perbuatan tersebut dapat dikenakan dengan Pasal 362, 365 KUHP maupun Pasal 368 Jo. Pasal 53 Ayat (1) KUHP.

Urgensi Perlindungan Konsumen

Jalan raya bukanlah ruang persidangan untuk menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah. Tidak ada keadilan yang dihasilkan dari hasil perampasan hak atas seseorang.

Bahkan dengan surplus kuasa sekali pun, kewenangan tersebut dibatasi dan diatur oleh prosedur-formal yang berlaku. Berikut juga dengan problem pelik mengenai praktik tarik-menarik kendaraan bermotor oleh debt collector di jalan raya.

Ketiadaan proses penyelesaian sengketa yang efektif, lemahnya pengawasan di lapangan, minimnya serta rendahnya kesadaran hukum masyarakat dan keterbatasan kompetensi dan profesionalisme debt collector yang semestinya sesuai dengan kapasitas dan prosedur yang telah ditetapkan menjadi beragam permasalahan kongkret dan pekerjaan rumah bagi pemangku kebijakan.

Baca juga: Sejarah Hukum Pidana di Indonesia

Penulis masih optimis bahwa masih banyak para debt collector yang bekerja secara profesional dengan semua kelengkapan prosedur dan landasan hukumnya.

Namun, sebagian dari mereka itu justru akhirnya ternegasikan oleh banyaknya oknum yang bertindak layaknya preman yang mengatasnamakan diri mereka sebagai debt collector untuk mendapatkan keuntungan sendiri.

Meskipun Mahkamah Konstitusi telah memberikan kepastian melalui putusannya, kita masih menunggu langkah kongkret apa yang akan dilakukan oleh para pihak yang ikut ambil andil dalam peristiwa ini.

Tentu kita mesti mendorong adanya sinergitas antara aparat penegakan hukum dalam hal ini Kepolisian Republik Indonesia, Perusahaan Pembiayaan serta Penyedia Jasa Debt Collector untuk menyeragamkan pemahaman dan menyamakan frekuensi interpretasi mengenai penyelesaian sengketa yang bersifat win-win solution dengan harapan bahwa peristiwa semacam ini tidak lagi terulang dikehidupan masyarakat dan pengendara.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *