PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia
Opini  

Bullying Anak: Begini Pandangan Hukumnya!

Bullying Anak

Bullying Anak

Bullying atau perundungan dalam bahasa Indonesia adalah kata yang diberi imbuhan yang berasal dari kata Rundung atau Merundung yang menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah sebagai berikut:

“Menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun psikis, dalam bentuk kekerasan verbal, sosial, atau fisik berulang kali dan dari waktu ke waktu, seperti memanggil nama seseorang dengan julukan yang tidak disukai, memukul, mendorong, menyebarkan rumor, mengancam, atau merongrong.”

Di sini, bullying dimaknai sebagai tindakan yang melukai seseorang dengan beragam bentuk dan dilakukan secara berulang. Jadi seorang siswa SMP yang dari hari senin sampai hari sabtu dipukul dan dicaci-maki setiap jam istirahat sekolah, maka anak tersebut sudah pasti menjadi korban bullying.

Masalah bullying merupakan masalah yang serius di Indonesia. Komisi Nasional Perlindungan Anak menyatakan bahwa di tahun 2023 telah terjadi 16.720 kasus perundungan anak di sekolah (Dzaky Nurcahyo, Krisiandi: 2023).

Penulis beranggapan bahwa kasus bullying bisa ada sebanyak ini karena diam dan tidak pedulinya masyarakat sekitar untuk menanggapi pelaku bullying serta ketidaktahuan masyarakat akan akibat yang ditimbulkan dari bullying serta persepsi teman-teman korban bahwa bullying itu “sekedar bercanda” yang mana semakin menyudutkan korban.

Baca juga: Bullying Semakin Marak di Dunia Kedokteran

Masalah bullying terhadap anak ini memiliki dampak yang besar pada seorang anak. Selain dapat menimbulkan memar hingga cedera fisik yang mengganggunya dan membatasi ruang geraknya setiap hari, seorang anak dapat juga mengalami trauma mental berkepanjangan yang menghambatnya untuk memaksimalkan setiap potensi dirinya. Ia jadi enggan untuk belajar, menekuni hobi, dan menjalankan keperluannya sebagai anak. Ia jadi merasa rendah diri karena pengkondisian lingkungan sosial yang tidak sehat.

Di sini hukum perlu untuk mengambil peran untuk mengatasi permasalahan ini sesuai dengan prinsip negara hukum dan hak perlindungan anak dari kekerasan di pasal 1 ayat (3) Jo pasal 28B ayat (2) UUD 1945.

Hukum mesti memastikan bahwa pelaku mendapatkan ganjaran yang setimpal dengan perbuatannya dan korban mendapatkan ganti rugi yang layak sesuai dengan prinsip keadilan korektif Aristotelian. Keadilan korektif itu bertujuan untuk memulihkan keadaan seperti semula.

Di sini penulis berfokus pada tiga hal: apa akibat hukum bagi seorang anak yang menjadi pelaku bullying, apa saja bentuk ganti rugi untuk anak korban bullying, dan bagaimana cara mendapatkan restitusi atau ganti rugi untuk anak korban bullying yang diatur oleh hukum Indonesia.

Akibat Hukum Bullying Anak

Karena kasus bullying ini adalah ranah kekerasan maka masuk ke dalam kategori hukum pidana. Hukum pidana adalah hukum publik yang mengatur tindakan apa saja yang dilarang oleh perundang-undangan berikut akibat hukumnya.

Di dalam hukum pidana sendiri ada sebuah asas hukum yang berbunyi “Geen straf zonder schuld,” yang bermakna “Tiada hukuman tanpa terlebih dahulunya ada kesalahan.” Jadi seseorang itu bisa divonis hukum kalau memang di dalam dirinya terdapat kemampuan untuk mempertanggungjawabkan tindakannya secara hukum yang salah satu faktornya yaitu cukup umur.

Karena kasus bullying ini marak pada anak dan dilakukan oleh anak, maka pertanggungjawabannya dilihat dari perspektif hukum pidana anak dan kecukupan umur anak untuk bisa dihukum sesuai dengan asas hukum “Lex specialis derogat legi generali,” yang bermakna “Hukum yang khusus mengesampingkan hukum yang umum.”

Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur bahwa anak yang berperkara secara hukum adalah anak yang sudah berumur 12 tahun namun belum sampai berumur 18 tahun yang diduga sudah melakukan tindak pidana.

Jadi kalau ada seorang anak sekolah berumur 12,13, atau 14 tahun yang diketahui menganiaya anak orang lain, maka menurut ketentuan hukum ini, anak yang melakukan penganiayaan tersebut dapat diselidiki, disidik, didakwa, diperiksa, dan pada akhirnya divonis bersalah secara hukum terlepas anggapan orang-orang bahwa dia itu masih “anak kecil dan tak layak diproses hukum.”

  1. Akibat Hukum Penganiayaan Ringan

Namun penting untuk diketahui bahwa untuk kasus pidana anak, pemberian pidana itu dijadikan jalan terakhir apabila ternyata diversi itu gagal untuk dilakukan. Merujuk pada pasal 1 angka 7 UU Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur bahwa yang dimaksud dengan Diversi adalah pemindahan penyelesaian masalah hukum anak dari tahapan di dalam pengadilan menjadi tahapan di luar pengadilan.

Pasal 7 ayat (1), dan (2) huruf a dan b nya mengatur bahwa Diversi itu harus dilaksanakan pada tahap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan anak di pengadilan negeri tapi dengan syarat yang dituduhkan itu pidana penjara di bawah tujuh tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

Hal ini sendiri dilakukan supaya yang mendapatkan kesempatan diversi itu bukan seorang anak yang melakukan tindak pidana berat dan bukan seorang anak yang tidak belajar dari kesalahannya terdahulu.

Apabila kemudian seorang anak melakukan penganiayaan ringan yang pidananya di bawah tujuh tahun yang tidak sampai memunculkan penyakit atau menghalangi kegiatan bekerja atau mencari nafkah sebagaimana diatur oleh pasal 352 KUHP lama, maka anak tersebut dapat melakukan upaya diversi untuk menyelesaikan kasus hukumnya.

Hasil kesepakatan diversi sendiri diatur di pasal 11 UU Sistem Peradilan Pidana Anak yang berbunyi sebagai berikut:

“Hasil kesepakatan Diversi dapat berbentuk, antara lain:

  1. Perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian;

  2. Penyerahan kembali kepada orang tua/Wali;

  3. Keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau

  4. Pelayanan masyarakat.”

Catatan: LPKS adalah singkatan dari Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (ketentuan pasal 1 angka 22 UU Sistem Peradilan Pidana Anak).

Di sini penulis mengkritik frasa “atau tanpa ganti kerugian.” Perdamaian tanpa ganti kerugian itu merampas hak korban atas rasa aman dan keadilan. Orang yang telah mengalami luka seperti luka mental dalam bentuk trauma perlu untuk pulih seperti sediakala supaya dia bisa menjalani kesehariannya seperti sediakala.

Ia berhak mendapatkan ganti kerugian untuk membiayai pengobatan atau pemulihan. Perdamaian tanpa ganti rugi juga menghilangkan pertanggungjawaban orang tua/atau wali seorang anak yang menjadi pelaku bullying. Apa yang sudah dirampas mesti dikembalikan.

Penulis pun beranggapan bahwa frasa “atau tanpa ganti rugi” pada pasal 11 huruf a UU Sistem Peradilan Pidana Anak secara hierarki perundang-undangan bertentangan dengan pasal 28B ayat (2) UUD 1945 Jo pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengatur tentang jaminan hak perlindungan anak dari kekerasan serta jaminan hak perlindungan dan kepastian hukum yang adil.

Baca juga: Pencegahan Perundungan Dunia Maya (Cyberbullying) Pada Anak

Tetapi walaupun begitu ketentuan pada poin b,c, dan d itu tetap bagus (dengan catatan pelaku bullying dikembalikan kepada orang tua/atau walinya apabila sudah menjalani kegiatan pendidikan dan pelayanan pada masyarakat).

Sekarang fokus mesti diarahkan pada akibat hukum pada anak pelaku tindak pidana penganiayaan berat.

  1. Akibat Hukum Penganiayaan Berat

Pasal 81 ayat (1) UU Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur bahwa anak dipenjara di LPKA kalau situasi dan tindakan anak akan membahayakan masyarakat. Penulis beranggapan bahwa ini adalah tindakan yang diperlukan supaya terdapat rasa keadilan dan keamanan di masyarakat.

Pasal 81 ayat (2) UU Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur besaran akibat hukum bagi anak yang telah melakukan tindak pidana penganiayaan berat yaitu pidana penjara paling besar ½ atau setengahnya dari tindak pidana yang diancamkan paling tinggi kepada orang dewasa.

Karena KUHP lama sendiri yang masih berlaku sekarang adalah domain atau wilayah hukum pidana untuk orang dewasa maka norma hukum pidana anak mesti dihubungkan dengan hal tersebut. Pasal 354 ayat (1) KUHP sendiri berbunyi:

“Barang siapa sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.”

Dalam konteks hukum pidana anak hukuman tersebut dikurang ½ atau setengahnya jadi apabila ada seorang anak yang terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan penganiayaan berat, maka ia dapat divonis dengan pidana penjara paling lama 4 tahun (setengah dari delapan tahun dari ancaman pidana orang dewasa).

Ketentuan tersebut bertujuan untuk menyesuaikan ganjaran pidana sesuai porsi anak. Karena seorang anak itu kurang memahami mana yang salah dan yang benar, maka hukuman maksimalnya dikurangi setengahnya.

Namun pembahasan mengenai bullying pada anak tak bisa dilepaskan dari keberadaan korbannya. Anak korban bullying menghadapi penderitaan yang besar yang berkaitan dengan mental dan/atau fisiknya. Maka di sini penulis akan menjelaskan mengenai apa ganti rugi yang layak bagi anak korban bullying serta bagaimana cara mendapatkannya yang diatur oleh hukum Indonesia.

Ganti Rugi untuk Anak Korban Bullying

Perihal urusan bentuk ganti rugi dan bagaimana cara mendapatkan ganti rugi atau restitusi untuk anak korban bullying sendiri diatur di Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana.

Pasal 3 huruf a, b, dan c dari ketentuan ini mengatur bahwa jenis restitusi terhadap anak korban bullying itu ada tiga: ganti kerugian atas kekayaan, ganti kerugian atas penderitaan sebagai akibat tindak pidana, dan/atau penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis.

Ganti kerugian atas kekayaan bermakna bahwa barang, harta, atau kepunyaan korban yang telah rusak, tak layak pakai, atau hilang itu diganti. Ganti kerugian atas penderitaan sebagai akibat tindak pidana bermakna bahwa kehilangan atas rasa aman, tentram, dan nyaman itu wajib untuk diganti.

Penggantian biaya medis dan/atau psikologis di sini bermakna orang tua/atau wali anak yang sudah mengeluarkan uang atau anggaran untuk perawatan kesehatan fisik dan/atau mental di rumah sakit itu uangnya atau anggaran tersebut wajib untuk diganti.

Pasal 4 ayat (1) dan (2) huruf a, b, dan c dari PP ini mengatur bahwa permohonan ganti rugi itu diajukan oleh pihak korban yang bisa datang dari orang tua atau wali anak korban, ahli waris anak yang menjadi korban tindak pidana, dan orang yang diberi kuasa oleh orang tua, wali, atau ahli waris anak yang menjadi korban kejahatan lewat surat kuasa khusus.

Baca juga: Hukuman bagi Pelaku Perundungan Dibawah Umur

Lalu pasal 5 ayat (1), ayat (2) huruf a dan b, serta ayat (3) dari PP tersebut mengatur syarat permohonan restitusi adalah permohonan diberikan dalam bentuk tulisan menggunakan Bahasa Indonesia di atas kertas bermaterai dan diserahkan kepada pengadilan serta hal tersebut diajukan sebelum adanya putusan pengadilan di tahap penyidikan atau penuntutan dan selain itu hal tersebut dapat dilakukan melalui LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) sebagaimana diatur peraturan perundangan-undangan.

Kesimpulan

  • Akibat hukum bagi anak pelaku bullying untuk penganiayaan ringan adalah putusan diversi yang bisa dalam bentuk perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian, pengembalian pada orang tua/atau wali anak, keikutsertaan dalam pendidikan, atau pelatihan di dalam lembaga pendidikan atau LPKS paling lama tiga bulan, atau pelayanan masyarakat (ketentuan pasal 11 huruf a, b, c, dan d UU Sistem Peradilan Pidana Anak);
  • Akibat hukum bagi anak pelaku penganiayaan berat adalah pidana penjara paling lama ½ atau setengah dari maksimal pidana penjara yang diperuntukkan untuk orang dewasa (ketentuan pasal 81 ayat (2) UU Sistem Peradilan Pidana Anak);
  • Bentuk ganti kerugian yang diakui dan dijamin untuk anak korban bullying adalah ganti kerugian atas kekayaan, ganti kerugian atas penderitaan sebagai akibat tindak pidana, dan/atau penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis (ketentuan pasal 3 huruf a, b, dan c PP Nomor 43 Tahun 2017);
  • Syarat permohonan restitusi atau ganti rugi adalah diajukan oleh pihak korban yang dapat terdiri dari orang tua korban/atau wali anak korban tindak pidana, ahli waris anak yang menjadi korban tindak pidana, serta orang yang diberi kuasa oleh orang tua, wali, atau ahli waris anak yang menjadi korban kejahatan lewat surat kuasa khusus (ketentuan pasal 4 ayat (1), dan ayat (2) huruf a, b, dan c PP Nomor 43 Tahun 2017);
  • Syarat permohonan restitusi yang lain adalah permohonan ditulis menggunakan Bahasa Indonesia di atas kertas bermaterai, diserahkan kepada pengadilan sebelum adanya putusan pengadilan di tahap penyidikan atau penuntutan serta selain itu hal tersebut dapat dilakukan lewat LPSK sebagaimana diatur peraturan Perundang-Undangan (ketentuan pasal 5 ayat (1), ayat (2) huruf a dan b, serta ayat (3) PP Nomor 43 Tahun 2017).

Daftar Referensi:

Undang-Undang Dasar 1945.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (versi lama bukan versi 2023 yang baru akan berlaku pada 2026).

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana.

Merundung. (Tahun tidak diketahui). Pada KBBI Daring. Diakses 13 April 2024.

Nurcahyo, D., & Krisiandi. 2023. “Komnas PA Temukan 16.720 Kasus Perundungan di Sekolah”

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *