Mantan Koruptor Sebagai Caleg dalam Pemilu
Mantan koruptor dapat mencalonkan diri sebagai calon legislatif di pemilu yang akan datang selalu menjadi suatu topik yang hangat bahkan panas diperbincangkan menjelang tahun perayaan demokrasi.
Di tengah realita permasalahan korupsi yang semakin memperihatinkan saat ini justru muncul aturan hukum yang seolah-olah memberikan toleransi terhadap kejahatan korupsi.
Hal ini menarik untuk diperdebatkan ditambah lagi dengan Mahkamah Konstitusi yang dalam putusannya tidak memberi larangan bagi seorang mantan koruptor mencalonkan diri kembali dalam pemilu dengan syarat tertentu.
Adanya aturan terkait mantan koruptor menimbulkan pertanyaan apakah seorang mantan koruptor yang maju sebagai caleg dalam pemilu sejatinya merusak sendi-sendi demokrasi dan mengganggu hak pilih masyarakat.
Baca juga:Pemilu 2024: Partai Politik Perlu Dibenahi Demi Mewujudkan Negara Demokrasi
Aturan Hukum Mantan Terpidana Korupsi Maju dalam Pemilu
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu memberikan legalitas bagi mantan koruptor untuk mencalonkan dirinya kembali sebagai anggota legislatif di mana hal tersebut termuat dalam Pasal 240 ayat (1) huruf g yang pada intinya memberikan kesempatan bagi mantan terpidana dengan hukuman 5 (lima) tahun penjara atau lebih untuk mencalonkan diri kembali dengan catatan harus mengungkapkan kepada publik bahwa ia adalah seorang mantan narapidana.
Mahkamah Konstitusi selaku The Guardian of Constitution dalam Putusannya yakni Putusan Nomor 87/PUU-XX/2022 menyatakan bahwa Pasal 240 ayat (1) huruf g tidak memiliki kekuatan hukum tetap sepanjang tidak dimaknai dengan beberapa syarat.
Pertama, tidak pernah dipidana berdasarkan putusan pengadilan dengan hukuman penjara 5 tahun atau lebih dan di kecualikan bagi mantan terpidana kealpaan dan tindak pidana politik.
Kedua, mantan terpidana dapat mencalonkan diri setelah 5 tahun dihitung sejak selesainya masa pidana dan secara terbuka telah mengungkap identitasnya sebagai mantan terpidana.
Ketiga, bukan kejahatan yang berulang.
Mantan Koruptor dan Pemenuhan Hak Politiknya
Landasan konstitusi telah menjamin political rights seseorang khususnya dalam hal perolehan kesempatan yang sama untuk duduk di pemerintahan sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 28D ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.
Jika menalar pada maksud dari pasal 240 ayat (1) huruf g Undang-Undang Pemilu, maka dapat diartikan seorang mantan terpidana korupsi dijamin haknya untuk dipilih dalam kursi legislatif meskipun pernah melakukan tindak pidana korupsi.
Baca juga: Reformasi Birokrasi Indonesia Dalam Perspektif Administrasi Publik
F.J Stahl memberikan konsep gambaran negara hukum (rechstaat) pada negara civil law yakni negara hukum yang bercirikan:
a) pembatasan antar kekuasaan untuk menjamin hak asasi manusia;
b) penghormatan hak asasi manusia warga negara;
c) pemerintahan yang dijalankan sesuai dengan dasar peraturan-peraturan; serta
d) eksistensi peradilan administrasi untuk menghindari tindakan sewenang-wenang penguasa.
Penghormatan terhadap hak asasi manusia di dalam konstitusi tidak dapat diartikan secara mentah-mentah sebab konstitusi sendiri juga mengatur terkait pembatasan hak asasi demi menjamin pengakuan kebebasan maupun hak dari orang lain.
Jika pembatasan dilakukan dengan menghilangkan hak narapidana demi menjamin penghormatan hak orang lain, lantas dalam hal ini siapa dan apakah hak yang dirampas apabila narapidana yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Putusan Mahkamah Konstitusi mengikuti pemilihan legislatif kembali.
Menurut pandangan penulis, tidak ada hak asasi manusia orang lain yang tercela akibat adanya aturan ini karena kita tidak boleh melupakan bahwa di dalam pemilu nantinya rakyat yang tetap akan memberikan pilihannya dalam pesta demokrasi tersebut.
Kedaulatan tertinggi tetap diberikan di tangan rakyat sehingga mantan koruptor yang secara jujur dan terbuka menyatakan bahwa ia merupakan mantan terpidana seharusnya tetap diberikan kesempatan dalam hal hak dipilih karena keputusan tetap ada di tangan rakyat sehingga biarlah rakyat yang akan menilai apakah seorang mantan narapidana korupsi masih pantas dan layak duduk untuk memimpin dalam kursi legislatif itu sendiri.
Baca juga: Fakta Mengerikan Apabila Masyarakat Hidup Tanpa Hukum
Adapun pembatasan sebagaimana yang dimaksud dalam konstitusi Pasal 28 J UUD NRI Tahun 1945 sejatinya telah diatur secara rinci dalam Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan memberi larangan bagi mantan terpidana yang tergolong residivis dan yang tidak secara jujur menyatakan bahwa ia seorang mantan narapidana untuk ikut maju dalam pemilu sehingga pembatasan tersebut dilakukan secara proporsional sesuai dengan tindakan yang dilakukan
Terdapat pernyataan dari Prof. Bagir Manan yang menyebutkan bahwa di dalam democracy under the law tidak dikenal istilah the end justifies the means yang berarti segala bentuk tindakan pemberantasan korupsi apabila dilakukan dengan mengabaikan hak asasi manusia dan prinsip-prinsip hukum tetap tidak dapat dibenarkan.
Sumber Referensi
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XX/2022
Mujaddidi, S. (2021). Konstitusionalitas Pembatasan Hak Asasi Manusia dalam Putusan Mahkamah Konstitusi.
Frederick Julius Stahl, Constitutional Government and Democracy:Theory and Practice in Europe and America, Dalam Miriam Budihardjo.
Sobari, A. (2022). Mantan Terpidana Korupsi Menjadi Calon Legislatif. National Journal Of Law, 5(2).
Riskiyanti, R., & Adiarsa, S. R. (2022). Konstradiksi Hak Asasi Mantan Narapidana Korupsi Dan Pencabutan Hak Oleh Putusan Pengadilan. Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan, 8(15).
Respon (1)