Latar Belakang Disahkannya RUU Kesehatan
Pemerintah bersama DPR secara resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan Menjadi Undang-Undang (UU) pada rapat paripurna DPR masa persidangan V Tahun 2022-2023.
Pengesahan UU Kesehatan ini dilatarbelakangi sebagai upaya transformasi untuk mengatur hilirisasi penguatan sistem kesehatan nasional. Selain itu, UU Kesehatan ini bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan diharapkan menumbuhkan daya saing bangsa Indonesia.
Baca juga: Implementasi Pemberian Makanan yang Layak terhadap Narapidana Lanjut Usia
Pro Kontra UU Kesehatan Disahkan
Nyatanya, pengesahan UU kesehatan ini juga tidak lepas dari banyak penolakan serta kritik dari berbagai pihak, khususnya organisasi profesi medis. Diantaranya Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI(, dan Ikatan Bidan Indonesia.
Adapun alasan mengapa UU Ini banyak menuai kritik bahkan penolakan, karena mengandung poin-poin, diantaranya :
Pertama, UU tidak transparan, tertutup dan tidak partisipatif
Senyapnya pembahasan dan tidak dilibatkannya pemangku kepentingan termasuk organisasi profesi, kelompok pakar, akademisi, ilmuwan serta kelompok masyarakat/publik. Dimana semestinya, perumus UU wajib melibatkan publik sejak awal pembahasan, tidak hanya sosialisasi draft yang telah disusun. Partisipasi publik ini bermakna penting dalam menjamin hasil dari suatu Undang Undang untuk mencapai tujuan hukum dan perwujudan perlindungan kesehatan publik yang sebenarnya.
Kedua, Lemahnya urgensi Kebutuhan yang terkandung dalam UU Kesehatan dan tidak cukup menjawab persoalan kesehatan
UU Kesehatan dengan metode omnibus law tidak cukup menjelaskan mengapa melarutkan 10 (sepuluh) peraturan perundang-Undangan. Jangka waktu yang singkat, terburu buru, dan tidak adanya transparansi sehingga perlu dikaji ulang. Terlebih lagi, luasnya cakupan dan persoalan kesehatan yang terjadi, nyatanya tidak begitu diakomodir. Pembentuk UU terlalu fokus pada isu terkait organisasi profesi dan tidak mengindahkan substansi isu penting lainnya.
Sehingga UU kesehatan yang digadang-gadang menjadi transformasi nyatanya tidak mengakomodir sejumlah persoalan kesehatan yang marak terjadi di Indonesia. Diantaranya, yaitu, bagaimana upaya peningkatan transparansi obat di seluruh fasilitas kesehatan, upaya pencegahan dan penangan praktik kolusi dan gratifikasi yang melibatkan perusahaan farmasi, serta korupsi dan segala bentuk fraud
Ketiga, UU Kesehatan terkesan meliberalisasi dan mengkomersialisasi kesehatan
UU Kesehatan dinilai memberikan kemudahan investasi di bidang kesehatan, pendidikan dokter, dan farmasi berpotensi mengabaikan perlindungan kepentingan publik dan tujuan dari perluasan pelayanan kesehatan bagi rakyat Indonesia.
Selain itu, dibentuknya UU Kesehatan dengan metode Omnibus law juga memiliki muatan pasal-pasal kontroversial, diantaranya
Baca juga: Buang Sampah di Sungai Rangkui: Dampaknya Terhadap Kesehatan dan Kebersihan Air
Pasal-Pasal Kontroversial UU Kesehatan
Adapun muatan pasal-pasal kontroversial yang dimaksud, diantaranya :
- Pasal 31 ayat (2) tentang Pembatasan Jumlah Organisasi Profesi. Organisasi Profesi yang diizinkan hanya dapat membentuk 1 (satu) organisasi profesi, dimana pasal ini dinilai dapat marginalisasi dan mengamputasi peran dari masing organisasi profesi yang telah ada.
- Pasal 239 ayat (2) tentang pengalihan posisi dan tanggung jawab Konsil Kedokteran Indonesia dan Konsil tenaga Kesehatan Indonesia dari sebelumnya bertanggung jawab kepada Presiden kini beralih kepada Menteri.Maknanya, wewenang Menteri menjadi lebih luas serta melemahkan independensi, tanggung jawab dan tugas organisasi profesi tersebut.
- Pasal 206 disebutkan standar pendidikan kesehatan dan kompetensi tenaga kesehatan disusun dan ditentukan oleh Menteri Kesehatan. Pengambilalihan wewenang pendidikan dan pelatihan peningkatan kesehatan, serta pengelolaan SDM yang kini berada di bawah kekuasaan kementrian kesehatan dari hulu ke hilir. Hal ini merupakan bentuk absolutisme kekuasaan yang berpotensi terjadinya abuse of power terhadap tenaga medis dan tenaga kesehatan.
- Pasal 462 ayat (1) tentang Pemidanaan terhadap tenaga medis atau kesehatan yang melakukan kelalaian.Pasal ini dinilai kontroversi karena dikhawatirkan menimbulkan kriminalisasi kepada dokter karena tidak ada rincian penjelasan terkait kelalaian yang dimaksud.
- Pasal 154 ayat (3) terkait Penggabungan tembakau menjadi kelompok zat adiktif menimbulkan kekhawatiran akan mengekang tembakau. Sebab posisi tembakau dikategorikan dengan narkotika dan psikotropika.
- Pasal 36 ayat (7) tentang transfer data dan informasi kesehatan. Pasal ini dinilai bertentangan dengan ketentuan UU Nomor 27 tahun 2022 tentang Perlindungan data Pribadi (UU PDP). Pasal ini dinilai pengumpulan informasi data genetik rakyat Indonesia dinilai rentan disalahgunakan dan mengalami kebocoran.
- Pasal 409 tentang Mandatory Spending. Dalam pasal ini disebutkan, bahwa pemerintah pusat akan mengalokasikan anggaran kesehatan yang bersumber dari APBN bukan berdasarkan besarnya alokasi, melainkan kebutuhan belanja dan komitmen program kesehatan nasional yang tercantum dalam rencana induk kesehatan. Bahwa berkaitan dengan alokasi kesehatan sebetulnya telah diatur besarannya dalam pasal 171 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Sehingga dengan dihapuskannya alokasi anggaran minimal akan berdampak pada kondisi pemenuhan hak atas pelayanan kesehatan dan berkonsekuensi buruknya pelayanan serta fasilitas kesehatan.
- Pasal 4 ayat (3) berkaitan tentang pengecualian hak bertentangan dengan HAM. Pasal ini dianggap diskriminatif, contohnya pada pasien gangguan mental psikososial berpotensi memungkinkan penderita kehilangan hak mereka untuk menerima atau menolak dimasukkan ke rumah Sakit Jiwa
- Pasal 135 tentang pemeriksaan kesehatan dalam rangka penentuan kelulusan seleksi pekerjaan.
Pasal ini dinilai mendiskriminasi kaum disabilitas untuk mendapatkan pekerjaan khususnya dalam hal pengadaan pemeriksaan kesehatan secara fisik. Adapun pasal 135 berbunyi :
- Dalam rangka pengadaan pegawai atau pekerja pada perusahaan/instansi harus dilakukan pemeriksaan kesehatan baik fisik maupun jiwa, dan pemeriksaan psikologi;
- Hasil Pemeriksaan kesehatans ebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai pertimbangan dalam penetapan kelulusan dalam proses seleksi.
Referensi:
Dpr.go.id. Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Kesehatan. https://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/BALEG-RJ-20230214-012516-3408.pdf diakses pada tanggal 19 Juli 2023, pukul 17.00 WIB
Kemenkumham.2023. Pemerintah dan DPR sepakati RUU Kesehatan.
https://www.kemenkumham.go.id/berita-utama/pemerintah-dan-dpr-sepakati-ruu-kesehatan , diakses pada tangal 18 Juli 2023 pukul 12.00 WIB.
YLBHI.2023. Tunda Pengesahan RUU Kesehatan : Perbaiki dan Pastikan Partisipasi Publik Yang Bermakna.
https://ylbhi.or.id/informasi/siaran-pers/tunda-pengesahan-ruu-kesehatan-perbaiki-dan-pastikan-partisipasi-publik-yang-bermakna/ , dikases pada tangal 19 Juli 2023, pukul 14.00 WIB
Tempo.com. 2023. 9 Pasal Kontroversial dalam UU Kesehatan.
https://bisnis.tempo.co/read/1747292/9-pasal-kontroversial-dalam-uu-kesehatan, dikases pada tanggal 18 Juli 2023, pukul 10.30 WIB
Respon (2)