Proporsional Tertutup Ditolak, Ini Alasannya!
Sistem pemilu proporsional tertutup atau terbuka ramai diperbincangkan, hal itu bermula dari permohonan enam orang atas nama Riyanto, Nono Marijono, Ibnu Rachman Jaya, Yuwono Pintadi, Demas Brian Wicaksono, dan Fahrurrozi atas pengujian UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) terhadap UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia.
Mereka berpendapat bahwa terdapat inkonstitusionalitas norma yang diatur dalam Pasal 168 ayat (2) yang secara eksplisit menyebut frasa ‘proporsional terbuka’ untuk sistem penyelenggaraan Pemilu dan norma-norma lain yang diatur sebagai kelanjutan dari Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu yaitu Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d UU Pemilu harus dibatalkan juga karena merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan.
Para pemohon menganggap norma Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 yang menganggap bahwa peserta Pemilu adalah partai politik sehingga seharusnya Pemilu dilaksanakan dengan sistem proporsional tertutup.
Setelah melalui proses persidangan, akhirnya pada hari kamis tanggal 15 Juni tahun 2023 lalu Mahkamah Konstitusi (MK) mencapai keputusan dan menolak permohonan provisi serta menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya dengan Putusan Nomor 114/PUU-XX/2022. Sehingga penyelenggaraan Pemilu pada tahun 2024 mendatang akan tetap dilaksanakan dengan sistem proporsional daftar terbuka.
Alasan-alasan MK menolak sistem proporsional tertutup yang diajukan oleh para pemohon menurut Putusan Nomor 114/PUU-XX/2022 adalah sebagai berikut
Baca juga: Diskusi Hukum Nasional “Masa Depan Demokrasi: Pemilu Proporsional Terbuka atau Tertutup?”
Potensi Praktik Politik Uang dan Tindak Pidana Korupsi Ada Pada Kedua Sistem Pemilu
Para pemohon berpendapat bahwa sistem proporsional daftar terbuka dapat mengakibatkan praktik politik uang dan tindak pidana korupsi, oleh karena itu sebaiknya sistem proporsional daftar tertutup akan lebih baik untuk diterapkan dalam penyelenggaraan Pemilu di Indonesia. Atas pendapat tersebut, Majelis hakim menyatakan bahwa baik sistem proporsional daftar terbuka maupun sistem proporsional daftar tertutup sama-sama memiliki potensi menimbulkan praktik politik uang dan tindak pidana korupsi.
Menurut Mahkamah, sistem proporsional daftar terbuka memiliki resiko tinggi terjadinya praktik politik uang karena sistem ini mengharuskan modal politik yang besar untuk proses pencalonan dan melakukan kampanye dimana para kandidat perlu mengeluarkan biaya untuk membuat iklan, melakukan promosi, bertransportasi dan lain-lain.
Begitu pula dengan sistem proporsional daftar tertutup, dimana para kandidat harus membeli nomor urut calon anggota DPR/DPRD atau jual beli kandidasi dan nomor urut kepada para partai politik karena para kandidat akan berusaha dengan segala cara untuk merebut ‘nomor urut calon jadi’ agar mereka terpilih menjadi calon anggota legislatif. Dengan begitu, praktik politik uang maupun tindak pidana korupsi pun akan terjadi di antara kalangan elit partai politik dengan para calon anggota legislatif.
Menurut Mahkamah, masalah politik uang dan tindak pidana korupsi bukan disebabkan pilihan sistem Pemilu yang digunakan, tetapi disebabkan oleh sifatnya yang struktural. Sehingga menurut Mahkamah, praktik politik uang dan tindak pidana korupsi dalam penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dijadikan dasar untuk mengarahkan tudingan bahwa tindakan-tindakan tersebut terjadi akibat dari penggunaan sistem Pemilu tertentu.
Sistem Proporsional Terbuka Sesuai Konstitusi UUD 1945
Para pemohon berpendapat bahwa sistem Pemilu yang dimaksud dalam norma Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan “Peserta Pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik” adalah sistem proporsional dengan daftar tertutup sehingga pemilihan anggota DPR dan DPRD yang diatur oleh Pasal 19 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 18 ayat (3) UUD 1945 juga dimaknai sebagai Pemilu dengan sistem proporsional daftar tertutup, oleh karena itu menurut mereka Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu yang secara eksplisit menggunakan frasa ‘proporsional tertutup’ adalah bertentangan dengan norma Pasal 22E ayat (3) UUD 1945.
Menurut Mahkamah, karena norma Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 tidak secara eksplisit menyebut sistem Pemilu yang digunakan untuk memilih anggota DPR/DPRD dan oleh karena UUD 1945 sudah tidak lagi memiliki Penjelasan, maka pemohon harus melihat terlebih dahulu original intent atau tafsir otentik dari norma Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 yang disusun oleh para pengubah UUD 1945. Setelah ditelaah, Mahkamah menguraikan bahwa pada intinya original intent dari Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 adalah sebagai berikut:
- Adanya keinginan para pengubah UUD 1945 untuk merubah sistem Pemilu dari proporsional dengan daftar tertutup yang dilakukan dalam memilih anggota DPR/DPRD sebelum amandemen UUD 1945 (termasuk dalam Pemilu 1955 dan Pemilu 1999);
- Sistem Pemilu yang ditawarkan para pengubah UUD 1945 adalah sistem yang dinilai dapat memberikan peluang bagi rakyat/pemilih untuk memilih calon anggota DPR/DPRD secara langsung. Para pengubah UUD 1945 menawarkan sistem Pemilu distrik atau plurality/majority system. Jika tetap harus bertahan dengan sistem proporsional, mayoritas pengubah UUD 1945 menghendaki sistem proporsional daftar terbuka.
- Meskipun para pengubah UUD 1945 berulang kali mengusulkan perubahan sistem Pemilu dari sistem proporsional dengan daftar tertutup menjadi sistem distrik dan sistem proporsional dengan daftar terbuka, tetapi pada akhirnya para pengubah UUD 1945 sepakat bahwa sistem Pemilu anggota legislatif dalam hal ini anggota DPR/DPRD tidak dinyatakan atau diatur secara eksplisit dalam UUD 1945.
Selain menelaah original intent dari Pasal 22E ayat (3) UUD 1945, Mahkamah juga menyatakan bahwa untuk dapat memahami norma Pasal tersebut juga dapat menggunakan penafsiran sistematis dengan cara menghubungkan dengan norma-norma lain dalam UUD 1945 dan tidak dimaknai secara tunggal. Untuk memahami makna dari Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 harus dikaitkan dengan norma Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa ‘Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar’.
Dalam pembahasan Pemilu dan sistem Pemilu dalam perubahan UUD 1945, prinsip kedaulatan rakyat selalu menjadi satu kesatuan pembahasan dengan Pemilu. Menurut Mahkamah bila norma Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 dimaknai sebagai norma yang menentukan sistem Pemilu yang digunakan adalah sistem Pemilu proporsional daftar tertutup yang menutup ruang bagi pemilih untuk dapat menentukan pilihannya dan memberikan keputusan tersebut sepenuhnya kepada partai politik, maka hal tersebut akan mengingkari makna dari kedaulatan rakyat dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945.
Oleh karena itu, Mahkamah menganggap sistem Pemilu proporsional dengan daftar terbuka lebih sesuai dengan apa yang diinginkan atau ditetapkan oleh UUD 1945. Sehingga dalil-dalil para pemohon yang menyatakan sistem proporsional daftar terbuka sebagaimana diatur oleh Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Baca juga: Putusan Mahkamah Konstitusi
Sistem Proporsional Terbuka Lebih Demokratis
Mahkamah menegaskan bahwa Pemilu harus dilaksanakan dengan berdasarkan kepada prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana diatur oleh Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang juga menjadi dasar hukum yang menyebutkan bahwa negara Indonesia adalah negara demokrasi. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, Mahkamah berpendapat bahwa sistem proporsional dengan daftar terbuka lebih sesuai dengan apa yang diinginkan oleh UUD 1945 sebagai konstitusi negara Indonesia yang menganut sistem demokratis yaitu dilaksanakannya Pemilu berdasarkan kedaulatan rakyat bukan berdasarkan kepada partai politik seperti apa yang dikehendaki oleh para pemohon melalui pengajuan diberlakukannya sistem proporsional daftar tertutup dalam menyelenggarakan Pemilu.
Mahkamah dalam menguji materiil UU Pemilu ini juga merujuk kepada putusan-putusan yang telah dijatuhkan sebelumnya dan salah satunya yaitu Putusan Nomor 22-24/PUU-VI/2008 yang menguji UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD terhadap UUD 1945. Dalam putusan tersebut Mahkamah telah menyatakan pertimbangan hukum yang memperkuat penerapan sistem proporsional terbuka dengan merujuk kepada norma Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang mengatur bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat.
Mahkamah kemudian menguraikan makna dari kedaulatan berada di tangan rakyat itu berarti rakyat-lah yang memiliki kedaulatan, tanggung jawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis memilih anggota DPR dan DPRD sesuai dengan pilihannya. Hal ini dapat terwujud dengan sistem proporsional daftar terbuka, tetapi tidak dengan sistem proporsional daftar tertutup karena pemilik kedaulatan itu rakyat, bukan partai politik.
Melalui Putusan Nomor 22-24/PUU-VI/2008 yang ditegaskan kembali oleh Mahkamah dalam uji materiil UU Pemilu ini, Mahkamah juga telah menyatakan pertimbangan hukum yang memperkuat penerapan sistem proporsional terbuka yaitu bahwa melalui Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, penyelenggaraan Pemilu diamanatkan akan lebih berkualitas dengan terlibatnya rakyat seluas-luasnya atas prinsip demokrasi, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Sistem proporsional terbuka ini sebagai wujud kedaulatan rakyat dan jaminan prinsip keterwakilan guna menyampaikan aspirasi rakyat. Sistem proporsional terbuka oleh para pengubah UUD 1945 dari awal diagendakan dan diterapkan dalam penyelenggaraan Pemilu guna mengembalikan kedaulatan kepada rakyat untuk dapat memilih secara langsung.
Referensi:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 114/PUU-XX/2022 tentang Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Humas MKRI, Sistem Pemilu 2024 Tetap Proporsional Terbuka, mkri.id, Diakses pada 25 Juni 2023.