Daftar Isi
ToggleApakah membagikan warisan sebelum meninggal diperbolehkan?
Jawaban
PENGERTIAN WARISAN
Apabila ahli waris meninggal dunia, maka pewarisan menjadi berlaku berdasarkan Pasal 830 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hal ini menyusul Pasal 171 huruf a Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyatakan bahwa Hukum Waris adalah seperangkat peraturan yang mengatur tentang siapa yang dapat menjadi ahli dan bagaimana hak milik ahli waris atas harta warisan (tirkah). ditransfer. ahli waris dan proporsi kepemilikan yang akan dimiliki masing-masing pihak. Pasal 171 huruf b KHI mendefinisikan ahli waris adalah seseorang yang setelah meninggal dunia atau diputuskan oleh pengadilan Islam, mewariskan harta benda atau hak kepada orang lain.
Dari uraian di atas terlihat jelas bahwa kedua hukum nasional Indonesia—hukum Islam dan hukum positif—memiliki pemahaman yang sama mengenai pewarisan. Pewarisan dapat terjadi jika kemudian terjadinya kematian dari pewaris. Oleh karena itu, mengingat rumitnya teori hukum di Indonesia, permasalahan ini harus ditinjau kembali berdasarkan hukum Indonesia. Hukum adat yang berlaku di segala bidang dan mencakup topik-topik terkait, ada berdampingan dengan hukum positif dan hukum Islam. berurusan dengan aturan suksesi yang didasarkan pada tradisi kelompok masyarakat adat tertentu.
Namun dalam pembahasan kali ini cukup dibatasi hukum perdata dan hukum Islam mengingat ini adalah dialog yang membahas bolehkah membagikan warisan sebelum meninggal? Mengingat hukum adat di Indonesia juga banyak, sehingga menyebabkan tulisan ini menjadi melebar. Selain itu, istilah “ahli waris”, “warisan”, dan “ahli waris” semuanya merujuk pada aspek konsep pewarisan yang berbeda. Ahli waris adalah orang yang kepadanya orang yang meninggal itu mewariskan harta bendanya dengan surat wasiat. Siapapun yang secara sah mengambil peranan sebagai ahli waris suatu harta warisan, baik seluruhnya maupun sebagian, dianggap sebagai ahli waris. Segala harta peninggalan seorang ahli waris setelah kewajibannya dilunasi, dianggap sebagai harta warisan, atau warisan. Ini termasuk harta benda yang dikumpulkan secara pribadi oleh ahli waris. Pasal 171 huruf d dan e KHI yang berdasarkan hukum Islam menyebutkan ada dua jenis warisan. Yang pertama adalah warisan, yaitu harta peninggalan ahli waris. Harta tersebut dapat berupa benda atau hak ahli waris. Harta yang kedua adalah harta warisan, yang meliputi harta perorangan dan harta bersama. Yang pertama dapat digunakan untuk membayar hutang, membeli hadiah untuk anggota keluarga, membayar biaya pengobatan, dan menafkahi ahli waris jika meninggal atau sakit.
Baca juga: Aspek Hukum dalam Kebijakan Full Call Auction terhadap Perlindungan Investor Saham di Indonesia
GOLONGAN AHLI WARIS
Hak waris seseorang dijamin oleh Pasal 832 KUH Perdata kepada seluruh anggota keluarga sedarahnya, tanpa memandang apakah ia dilahirkan dalam keluarga sah atau tidak sah, atau dari suami-istri yang berumur panjang. Selain itu, menurut KUH Perdata (Pasal 833), ahli waris dianggap sebagai pemilik sah atas segala harta benda, hak, atau piutang yang berada di bawah penguasaannya. Menurut KUHPerdata, ada dua cara untuk mengakui seseorang sebagai ahli waris: Penerus menurut undang-undang dan mereka yang disebutkan dalam surat wasiat.
Besaran batasan yang diperoleh ahli waris dijelaskan dalam Pasal 914 KUH Perdata. Jika ada seorang anak saja, maka bagian mutlaknya adalah setengah dari harta warisan. Bagian mutlak ahli waris, jika terjadi keturunan ganda, adalah setengah dari warisan. Selain itu, jika ada tiga orang anak atau lebih, maka ahli warisnya bisa mendapat tiga perempat bagian harta warisan, bukan setengahnya.
Pada KUHPerdata terdapat aturan yang menyangkut atas waris. Segala sesuatu yang berkaitan dengan kelayakan ahli waris untuk menerima warisan dari ahli waris termasuk di dalamnya. Keterangan berikut ini digunakan untuk mengelompokkan ahli waris ke dalam empat kategori menurut KUH Perdata:
1. Golongan I (satu)
Termasuk pasangan yang paling lama hidup dan anak-anak yang mereka miliki, sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 852, 852a, 852b KUH Perdata, dan kemudian ditambah dengan Pasal 541 dan 545.
2. Golongan II (dua)
Terdiri dari orang tua dan saudara kandung pewaris.
3. Golongan III (tiga)
Yang mengikuti garis lurus dari orang tua ahli waris adalah seluruh garis sanak saudara.
4. Golongan IV (empat)
Golongan ini meliputi sanak saudara tingkat pertama (misalnya paman dan bibi), saudara derajat kedua (misalnya saudara kandung dari kakek dan nenek), serta ahli waris dari kedua orang tuanya (sebagaimana dimaksud dalam Pasal 858, 861, dan 873 KUHPerdata).
Hukum waris Islam menjelaskan bahwa ada dua jenis ahli waris dan ketentuan masing-masingnya. Tipe yang pertama dikenal dengan ahli waris nasabiyah dan didasarkan pada hubungan darah atau ikatan kekerabatan. Tipe kedua disebut ahli waris sababiyah dan didasarkan pada hubungan, misalnya perkawinan sah atau perjanjian.
Pembagian yang lebih spesifik terdapat dalam hukum waris Islam, dimana setiap penerus menerima sejumlah tertentu sebagai batas atau bagiannya (lihat surat an-Nisa’ dalam Al-Qur’an). Dalam hukum waris Islam, harta warisan dibagi menjadi enam kategori:
1. Pihak yang mendapatkan setengah bagian, yaitu:
2. Pihak yang mendapatkan seperempat;
3. Pihak yang mendapatkan seperdelapan;
4. Pihak yang mendapatkan dua pertiga;
5. Pihak yang mendapatkan sepertiga;
6. Pihak yang mendapatkan seperenam.
Besaran bagian yang tersebut telah dijelaskan secara rinci pada Pasal 176-182 KHI.
Jika merujuk pada Pasal 174 KHI maka penggolongan ahli waris dapat diringkas menjadi:
a. Menurut hubungan darah:
- Ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman, dan kakek merupakan kelompok laki-laki.
- Perempuan dalam kelompok tersebut terdiri dari seorang ibu, seorang anak perempuan, dan seorang cucu dari nenek.
b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari: duda atau janda.
Garis suksesi yang ketat didefinisikan dalam hukum Islam sesuai dengan pembagian yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Baca Juga: Hukum Waris dalam Peradilan Agama di Indonesia
KETETAPAN HUKUM WARISAN SEBELUM MENINGGAL
Peninjauan terhadap warisan sebelum meninggal dengan kacamata hukum nasional dalam hal ini adalah hukum perdata bertentangan dengan Pasal 830 KUHPerdata dimana pewarisan dilakukan saat pewaris sudah meninggal dunia. Inilah titik balik yang menjadikan suatu warisan yang diwariskan sebelum meninggal dunia menjadi tidak sah dari segi hukum. Apabila dinyatakan batal dan tidak sah menurut Pasal 1335 KUH Perdata, yaitu apabila suatu perjanjian didasarkan pada alasan yang salah atau dilarang atau tidak ada sebab sama sekali, maka perjanjian itu tidak mempunyai kekuatan. Null and void adalah nama lain dari “tidak mempunyai kekuasaan” dalam konteks ini. Dengan adanya keadaan batal demi hukum ini akan berimplikasi pada proses pemberian warisan sebelum meninggal dianggap tidak pernah ada karena dibuat yang didasarkan pada sebuah sebab yang dilarang yang melanggar atau memiliki kontradiksi pada Pasal 830 KUHPerdata. Oleh sebab itu pemberian warisan sebelum meninggal dapat dilakukan penarikan kembali apabila merugikan salah satu pihak ahli waris.
Pemberian warisan sebelum meninggal merupakan bentuk dari kebiasaan yang lama-lama menjadi suatu adat. Sehingga kemudian pelaksanaan dari pemberian warisan sebelum meninggal tersebut menjadi lumrah di masyarakat karena menganggap hal tersebut adalah adat turun temurun. Pemberian warisan sebelum meninggal muncul karena adanya keyakinan bawah bentuk cara yang tepat. Sehingga sebelum meninggalnya pewaris akan memberikan kepastian pada ahli waris tentang bagian-bagiannya, mengingat bawah persoalan harta merupakan sesuatu hal yang sangat rentan terjadinya konflik entah rasa tidak puas atau iri hati yang diakibatkan oleh sifat keserakahan karena merasa tidak adilnya pembagian sesuai denyan syariat Islam. Jika mengutip Pasal 211 KHI yang menyebutkan bahwa pemberian orang tua kepada anaknya dapat dianggap sebagai warisan, maka warisan sebelum kematian tersebut dapat dianggap sebagai hibah. Sehingga kemudian akan berimplikasi pada ahli waris (dalam Pasal 211 KHI merupakan seorang anak) yang telah mendapat pembagian dari warisannya kemudian akan berkurang atau justru tidak akan mendapat bagiannya dikarenakan sudah didapatkan ketika pewaris masih hidup.
Baca Juga : Hukum Membagi Warisan yang Tidak Berdasarkan Ketentuan Waris Islam
KESIMPULAN
Pewarisan sendiri merupakan suatu konsep dimana diberikan oleh pewaris kepada ahli waris ketika pewaris telah meninggal dunia konsep ini sejalan dengan peraturan pada hukum perdata dan hukum Islam. Pengaturan dari hukum waris ini diatur pada KUHPerdata dan KHI. Secara hukum perdata pemberian warisan sebelum meninggal tersebut bertentangan dengan Pasal 830 KUHPerdata yang menjelaskan konsep dasar terjadinya pewarisan dan pada Pasal 171 huruf a KHI. Namun perlu diingat berkembangnya konsep pemberian warisan sebelum meninggal merupakan bentuk dari kebiasaan yang berubah menjadi adat dan dilangsungkan secara turun menurun yang menganggap hal tersebut baik untuk dilaksanakan demi memberikan kepastian bagian bagi ahli waris dan menghindari konflik di kemudian hari. Namun akibat hukum yang timbul dari perbuatan hukum pemberian warisan sebelum meninggal pada konteks hukum perdata adalah batal demi hukum, karena bertentangan dengan Pasal 830 KUHPerdata, yang didasarkan pada sebab yang palsu sehingga kemudian perbuatan hukum pemberian warisan sebelum meninggal dianggap tidak ada sebagaimana diatur dalam Pasal 1444 KUHPerdata. Berbeda dengan hukum perdata, hukum Islam masih memberikan kelonggaran dimana pemberian warisan sebelum meninggal bisa diasosiasikan dengan hibah sesuai dengan Pasal 211 KHI dengan syarat antara orang tua dengan anak. Dimana nantinya jika orang tua (pewaris) meninggal maka anak (ahli waris) yang telah mendapat hibah bagiannya akan berkurang atau bahkan tidak dapat.
Baca Juga: Warisan Budaya dan Identitas dalam Hukum Adat
REFERENSI
Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.
Afandi, Ali, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian Menurut Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (BW), Jakarta : PT. Bina Aksara, 1984.
Windia, Wayan P., dan Ketut Sudantra, Pengantar Hukum Adat Bali. Denpasar: Lembaga Dokumentasi Dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2006.
Assyafira, Gisca Nur. “Waris Berdasarkan Hukum Islam Di Indonesia.” Hukum Islam dan Pranata Sosial Islam, No.1, Vol.8, 2020.
Jainuddin, Jainuddin. “PEMBAGIAN HARTA WARISAN; TELAAH PEMBAGIAN WARISAN OLEH PEWARIS KEPADA AHLI WARIS SEBELUM PEWARIS MENINGGAL PADA MASYARAKAT BIMA.” SANGAJI: Jurnal Pemikiran Syariah dan Hukum, No.2, Vol.4, 2020.
Raysally, Made, Augustine Pradwi, Ayu Putu, Laksmi Danyathi, Fakultas Hukum, dan Universitas Udayana. “Urgensi Pentingnya Surat Wasiat Dalam Kepada Ahli Waris.” Jurnal Kertha Wicara, No.08, Vol.12, 2023.
Swardhana, Gde Made, Bagian Hukum Perdata, Fakultas Hukum, dan Universitas Udayana. “AKIBAT HUKUM PEMBERIAN WARISAN SAAT PEWARIS MASIH HIDUP BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA Oleh:” Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum, No.1,Vol.5, 2016.
Tantu Asbar, Salim Mussaad, Achmad, Muh Arief, Haerolah, Munarif. “HUKUM WARIS ISLAM DAN HUKUM WARIS PERDATA DI INDONESIA (STUDI PERBANDINGAN) ISLAMIC INHERITANCE LAW AND CIVIL INHERITANCE LAW IN INDONESIA (COMPARATIVE STUDY).” AL-MASHADIR Jurnal Ilmu Hukum dan Ekonomi Islam, No.2, Vol.4, 2022