Korupsi, Hukum, dan Investasi
Dalam riset yang telah dilaporkan oleh Transparency International mengidentifikasi bahwa indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2022 mengalami kemunduran. Laporan ini membuat Indonesia tercatat sebesar 34 poin dari skala 100, artinya indikator negara melorot 4 poin dari indeks tahun sebelumnya, sehingga data tersebut menjadi catatan buram.
Indeks persepsi korupsi yang menurun ini berdampak pada peringkat Indonesia jatuh dari angka 110 dari total keseluruhan 180 negara. Problem korupsi sungguh tampak akut menggerogoti sektor perekonomian, dan keuangan negara sebagai jantung pembangunan nasional. Peristiwa ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia mengalami degradasi penegakan hukum.
Sebagai negara terkorup ke-110 adalah atas dasar variable seluruh institusi pemerintah baik itu korupsi yang terjadi di lembaga eksekutif (Kementerian), yudikatif (MA/MK, dan pengadilan tingkat pertama-tinggi), dan legislatif (DPR) bahkan yang melibatkan pelbagai oknum pelaku korporasi (perusahaan swasta) pun relatif besar ikut dalam permainan ini.
Baca juga: Korupsi Kehendak Tuhan
Korupsi adalah tindakan yang seolah-olah tak menemukan solusi baru sebab dipotong satu tumbuh seribu. Oleh sebab itu, saya bertanya apakah hal ini karena penegakan hukum yang bermasalah? Ataukah peraturan perundang-undangan yang punya potensi memberikan celah untuk korupsi? Lantas, kenapa koruptor tak pernah berhenti melakukan regenerasi?
Pertanyaan tersebut menunjukkan indikator kerugian keuangan negara akibat tindakan koruptif cukup fantastis, karena tindak pidana korupsi adalah perbuatan yang melawan hukum. Namun, hal itu juga dapat berdampak buruk terhadap peluang pemerintah dalam menarik investasi seluas-luasnya di tengah arus deras tantangan globalisasi, dan laju ekonomi.
Bahkan, sisi lain dampak korupsi adalah sebagai penyakit awal yang dapat memukul mundur suatu kemajuan sendi-sendi kehidupan berbangsa, dan bernegara. Masalah lain yang muncul antara lain putusnya generasi pendidikan yang disebabkan oleh faktor kelesuan ekonomi, dan pengangguran kian merajalela. Semua itu tak lain karena faktor akutnya korupsi.
Potret Korupsi
Perilaku koruptif di kalangan oknum elite makin membabi buta karena moralitas, dan integritasnya tergerus oleh nafsu duniawi sekalipun tindakan itu melanggar hukum agama atau hukum positif negara. Koruptor harus diidentifikasi sebagai orang yang sadar hukum tapi memanfaatkan kesempatan. Dalam situasi kondusif atau ramai justru mereka makin cerdik.
Tak heran kalau IPK korupsi pada tahun 2022 melorot 4 poin karena kasus-kasus korupsi kelas kakap yang merugikan negara begitu besar. Sepanjang sejarah bangsa Indonesia merdeka, korupsi kelas kakap, antara lain korupsi Asabri dengan nilai Rp 23,74 triliun, Jiwasraya sebesar Rp 13,7 triliun, Bank Century nominal Rp 6,76 triliun, BLBI berkisar 4,58 triliun, PT. Trans Pacific Petrochemical Indotama (PT. TPPI) senilai Rp 37,8 triliun, dan Duta Palma Group nominal Rp 78 triliun, E-KTP 2,3 triliun, hingga korupsi PT. Pelindo II yang mencapai Rp 6 triliun.
Dalam konteks Indonesia membongkar kasus korupsi kelas kakap nyaris ada pelbagai faktor, dan problem akut pada ranah penegakan hukumnya. Dari sebagian besar korupsi yang ditindak oleh aparat penegak hukum tak berjalan semulus mungkin, dan kerugian negara belum sepenuhnya bisa diupayakan langkah-langkah strategis termasuk upaya asset recovery.
Realitas pencegahan dan pemberantasan korupsi tampaknya tak kunjung mampu menemukan jalan terang, jabatan strategis seseorang yang koruptif makin sulit dijerat melalui pendekatan KUHP, dan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, dan UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).
Baca juga: Quo Vadis Korupsi Sebagai Kejahatan
Di sisi lain, kewenangan khusus KPK dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi didukung oleh fungsi aktif, dan peran Polri, serta Kejaksaan tak terjalin koordinasi aktif. Hal ini memang menjadi salah satu faktor penting kenapa penegakan hukum di negeri ini selalu pancaroba, sehingga koordinasi yang tak efektif inilah yang memicu surutnya penegakan hukum.
Kuasa Hukum
Pada hemat penulis, hukum di negeri ini punya dampak postif dan negatif. Sisi negatifnya menghambat pembangunan nasional apabila yang mengendalikan adalah manusia yang setengah hati untuk melakukan pemberantasan korupsi. Pun dampak positifnya, hukum bisa mengawal investasi untuk mendorong kemajuan nasional, dan membuka akses lapangan kerja.
Upaya-upaya kebijakan pemerintah terkait adanya deregulasi telah menorehkan prestasi dengan adanya Omnibus Law Cipta Kerja. Bahkan, presiden Joko Widodo mengeluarkan PERPU Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Artinya, hukum di era pemerintahan sekarang menimbulkan manfaat besar karena mendorong keadilan, dan kesejahteraan.
Untuk menekan laju investasi demi kepentingan pembangunan nasional, maka kunci awal yang harus diatasi adalah persoalan korupsi. Pasalnya, korupsi tak hanya soal ketidakpatuhan seseorang terhadap ketentuan hukum yang berlaku, melainkan terkait bagaimana hukum itu mampu mengawal laju investasi di negeri ini agar mendapat locus secara khusus. Karena itu, untuk mempermudah setiap pelaku usaha termasuk investor dalam mengurus hal-hal administratif.
Baca juga: Bupati Sumenep Ingkar Janji, IMKS: Perbaiki Jalan dan Subsidi Kapal
Dalam kerangka filsafat hukum, asas keadilan, kepastian, dan kemanfaatan sangat dijunjung tinggi. Maka, penerapan asas-asas tersebut juga penting dalam dunia politik, dan ekonomi, sehingga dengan pemberlakuan ini. Paling tidak, hukum menjadi kontrol bagi siapa pun yang hendak melakukan kejahatan maupun praktik skandal korupsi di pelbagai institusi.
Fungsi koordinasi dalam setiap lembaga bisa mendorong kinerja yang transparan, dan akuntabel. Di satu sisi, juga berpotensi memutus ruang gerak generasi korup. Hal ini bisa jadi sebagai langkah konkret penegakan hukum yang pregresif supaya tak hanya melulu soal korupsi, tapi hukum harus berfungsi aktif dalam mengontrol bisnis yang dapat mendorong laju investasi.
Penulis
Hasin Abdullah adalah Direktur Eksekutif Center for Indonesian Legal Studies (CELES).