Jatuh Tempo
Hukum Islam memberi nilai positif kepada orang yang memberi hutang dengan motif menolong, oleh karena itu, orang yang berutang pun tidak dipermasalahkan dalam Islam, berutang tidak termasuk meminta-minta yang dicela dalam Islam, sebab berutang guna memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Oleh karenanya, Islam mengajarkan agar orang yang berutang jangan lalai dan ingkar, jika dia telah berkelapangan jangan ditunda-tundan untuk membayarnya.
Menangguhkan dan berlambat-lambat dalam pembayaran hutang bagi orang yang telah berkemampuan merupakan salah satu macam tindakan penganiayaan.
Baca juga: Pandangan Islam Terhadap Pemanfaatan Barang Gadai
Hal ini menunjukkan adanya pembatasan waktu dalam gadai yang didasarkan atas perjanjian kedua belah pihak. Akan tetapi, pembatasan waktu ini tidaklah bersifat mutlak dan harus memperhatikan keadaan penggadai.
Mengapa pada waktu yang telah ditentukan itu penggadai belum bisa membayar hutangnya. Apabila keterlambatan pelunasan hutang disebabkan oleh adanya kesempitan dan bukan maksud sengajan serta bukan karena unsur kelalaian yang dialami rahin, maka murtahin memperpanjang waktu hingga penggadai memperoleh kelapangan untuk membayar kembali hutangnya.
Sebagaimana yang telah dicantumkan dalam Al-Qur’an:
ميسرة إلى فنظرة ذوعسرة كان وان
Dalam ayat ini terkandung prinsip tolong-menolong atau tabarrru’ yang harus selalu menjiwai perjanjian hutang-piutang, baik dengan gadai atau tanpa gadai.
Dalam ketentuan ini, pembayaran hutang tidak mempunyai batasan waktu, akan tetapi memperhatikan keadaan orang yang berhutang itu sendiri, apakah dia sudah sanggupan untuk membayar hutangnya atau belum.
Apabila pihak rahin pada waktu yang telah ditentukan sudah mampu membayar kembali hutangnya, maka bersegeralah untuk membayar dan jangan memperlambat pembayaran.
Namun, tak jarang dalam prakteknya rahin seringkali lalai bilamana tidak ditetapkan mengenai batas-batas waktunya. Oleh karena itu, perlu adanya pembatasan waktu agar kedua belah pihak tidak melalaikan kewajibannya masing-masing.
Baca juga: Hutang
Ketika tidak ada batas waktu dan pihak pemberi gadai dalam jangka waktu yang lama dari murtahin, maka pihak penerima gadai akan melimpahkan barang gadaian tersebut pada pihak ketiga tanpa seizin atau sepengetahuan dari pihak pemberi gadai, dan ketika pemberi gadai ingin membayar hutangnya serta mengambil barang miliknya (barang gadaian).
Maka pemberi gadai diperintahkan oleh pihak kedua untuk mengambil barang gadaiannya kepada pihak ketiga selaku penerima pelimpahan barang gadaian karena pihak kedua sudah lepas tanggung jawab dari barang gadaian tersebut.
Hal tersebut merupakan salah satu akibat dari tidak adanya pembatasan waktu dalam transaksi gadai tersebut. Dengan demikian, tidak adanya batas waktu dalam akad gadai tidak diperbolehkan.
Beberapa ketentuan dalam gadai setelah terjadinya penyerahan dan penerimaan yang berhubungan dengan pembiayaan (pemeliharaan), pertumbuhan barang gadai dan pemanfaatan serta jaminan pertanggung jawaban bila rusak atau hilang.
Pertumbuhan atau pertambahan barang gadai setelah digadaikan adakalanya bergabung dan adakalanya terpisah. Bila tergabung seperti, (bertambah) gemuk, maka ia masuk dalam barang gadai dengan kesepakatan ulama. Sedangkan jika terpisah, maka dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan yang menyepakatinya memandang tambahn dan tumbuhnya barang gadai yang terjadi setelah barang gadai ditangan Murtahin, maka termasuk dalam barang gadai tersebut.
Sedangkan Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm dan yang menyepakatinya memandang, tambahan atau pertumbuhan bukan ikut barang gadai, tetapi menjadi milik orang yang menggadaikannya.
Hanya saja Ibnu Hazm berbeda dengan Syafi’i menyangkut barang gadai yang berupa kendaraan dan hewan menyusui. Ibnu Hazm berpendapat, dalam kendaraan dan hewan yang menyusui, (pertambahan dan pertumbuhannya) milik yang menafkahinya.
harus hati-hati ni dalam berhutang hhehe
wah ngggk boleh lalai bayar hutang ni heheh