Identitas Buku
Judul Buku: Viktimologi dan Sistem Peradilan Pidana
Penulis: Amira Paripurna, Ph.D., Dr. Astutik, S.H., M.H., Prilian Cahyani, S.H., M.H., LL.M., Riza Alifianto Kurniawan, S.H., MTCP.
Penerbit: DEEPUBLISH
Tempat Diterbitkan: Yogyakarta
Warna: Coklat
Edisi: Cetakan Pertama, Maret 2021
Jumlah Halaman: 129 Halaman
ISBN: 978-623-02-2591-8
ISBN (E): 978-623-02-2654-0
Pendahuluan
Judul buku ini adalah “Viktimologi dan Sistem Peradilan Pidana”. Buku ini akan melengkapi literatur bacaan terkait hukum pidana, kriminologi atau bahkan buku viktimologi itu sendiri, yang dimana kebanyakan buku viktimologi berfokus pada perundang-undangan atau aspek hukum yang terkait dengan perlindungan korban kejahatan.
Buku ini tidak hanya sebagai pengisi kekosongan literatur tapi juga menghubungkannya dengan literatur yang lain tentang korban kejahatan (viktimologi) yang ada di Indonesia.
Buku ini tergolong lengkap dalam memberikan pemahaman terkait viktimologi sebagai bidang ilmu, sebab bahasan dalam buku ini memusatkan perhatian pada 3 (aspek) penting dalam ilmu korban (viktimologi), yaitu:
pertama, melihat interaksi antara korban dan sistem peradilan pidana.
Kedua, melihat aspek psikologis kejahatan pada korban.
Ketiga, melihat hubungan antara korban dan pelaku kejahatan.
Mungkin akan muncul pertanyaan dibenak pembacanya, terkait cakupan bahasan yang luas dan banyaknya disiplin ilmu yang tergabung dalam viktimologi.
Namun memang pada dasarnya viktimologi sebagai disiplin ilmu merupakan hasil dari perpaduan beberapa bidang ilmu, mulai dari ilmu hukum, kriminologi, sosiologi hingga psikologi.
Jadi tidak mengherankan, viktimologi mempertimbangkan banyak aspek dari sudut pandang korban kejahatan.
Baca juga: Resensi Buku: Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia
Isi Resensi
Pada awal bab buku ini, terlihat bahwa penulis tidak ingin mengesampingkan keterkaitan antara ilmu korban (viktimologi) dan ilmu kejahatan (kriminologi), sehingga penulis memaparkan secara singkat sejarah ilmu korban (viktimologi) dalam tataran teori, bahwa ilmu korban (viktimologi) muncul pada tahun 1948 dalam buku karya Hans Von Heting yang saat itu mengkritik kajian serta tulisan-tulisan ilmiah yang hanya berfokus pada sudut pandang pelaku kejahatan.
Tidak jauh berbeda dalam tataran praktik, hal itu dapat dilihat dalam sejarah panjang bagaimana hukuman dijatuhkan terhadap pelaku kejahatan.
Munculnya ilmu korban (viktimologi) menurut Jerin dan Moriaty dalam buku ini, sebenarnya terdapat 3 (tiga) masa/era yang memberikan pandangan terhadap peran korban dalam sistem peradilan, yaitu:
Era Keemasan, pada masa ini hukum kesukuan (tribal law) mendominasi sistem hukum, dan hukum tertulis serta pemerintah belum banyak digunakan.
Pada masa ini korban kejahatan bebas dalam menentukan hukuman terhadap pelaku. Itulah mengapa disebut sebagai masa keemasan dalam ilmu korban (viktimologi).
Sehingga konsep pembalasan dan menuntut ganti rugi diniali sebagai solusi dalam masalah pidana. Dalam kondisi ini penentuan tingkatan kesalahan dan konsekuensi yang diterima pelaku akan bergantung pada pengaruh dan karakter korban.
Meninggalkan masa keemasan, kemudian viktimologi memasuki era kegelapan, yang ditandai dengan dominasi Greja Katolik Roma, pemerintah terstruktur, perundang-undangan dalam arti formal semakin berkembang dan banyak contoh lain yang mengakhiri era keemasan dalam ilmu korban (viktimologi).
Setiap kejahatan dan pelanggaran hukum tidak lagi dinilai sebagai melanggar kepentingan korban kejahtan, namun juga melanggar kepentingan negara (dan hukum ditetapkan oleh raja).
Tahun 1950/1960an disebut sebagai priode re-emergence victim, yang ditandai muncul kesadaran akan hak dan kebutuhan korban yang terabaikan dalam proses peradilan.
Kesadaran ini kemudian berlanjut hingga melahirkan ilmu korban (viktimologi) yang berfokus pada upaya menangani kebutuhan korban atau mengurangi penderitaan korban.
Meskipun diawal kemunculan viktimologi sebagai bidang ilmu hanya sebatas mengkaji dan mencari jawaban terkait peran korban dalam sebuah kejahatan, hubungan korban dan pelaku kejahatan serta kesalahannya (yang artinya masih menjadi bagian dari kriminologi atau ilmu kejahatan) sebelum akhirnya keluar dan menjadi bidang ilmu yang berdiri sendiri.
Sehingga dalam tataran praktik dan teori, ruang lingkup serta pengertian viktimologi terus-menerus mengalami perkembangan.
Hal ini kemudian dapat dilihat dalam buku ini yang memaparkan tipologi korban menurut para ahli, namun dalam garis besar, ada 5 (lima) macam korban, yaitu:
-
Yang sama sekali tidak bersalah
-
Yang jadi korban karena kelalaiannya
-
Yang sama salahnya dengan pelaku
-
Yang lebih bersalah dari pelaku
-
Korban adalah satu-satunya yang bersalah (dalam hal ini pelaku dibebaskan)
Dalam bahasan pembagian tipe korban, beberapa ahli membagi 7 sampai dengan 13 tipe korban.
Baca juga: Resensi Buku: Mengenal Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan
Bagian unik dari buku ini, penulis memaparkan terkait timbulnya korban kejahatan dari beberapa aspek, yaitu:
Struktur Sosial
Dalam struktur sosial, timbulnya korban disebut dengan viktimisasi struktural. Ini dipengaruhi ekonomi dan kekuatan masyarakat secara struktur, maksudnya kelompok yang terabaikan dan tidak berdaya menjadi korban dan viktimisasi (kekerasan) dalam struktural ini.
Dijelaskan pula bahwa dari sebuah diskriminasi sosial dan melemahnya hubungan antara komunitas menjadi kecenderungan lahirnya korban dari bagian yang lebih lemah.
Contoh yang disebutkan dalam buku adalah suku Aborigin di Australia yang telah kehilangan separuh dari hak budaya dan identitas yang dimilikinya.
Budaya
Viktimisasi budaya yang dimaksud adalah lahirnya korban kejahatan dari motif ras, etnis, atau budaya. pada dasarnya viktimisasi budaya ini merupakan bentuk subjektif dari viktimisasi sosial.
Sehingga sebagian besar studi tentang viktimisasi budaya berfokus pada penghinaan berdasarkan ras atau menyerang ras tertentu, dan sebagian yang lain dilakukan dengan cara lain seperti pengucilan sosial dan penyebaran rumor.
Pelembagaan
Viktimisasi institusional atau pelembagaan muncul dari lembaga-lembaga yang tidak menjalaskan tugas dan fungsi sebagaimana mestinya.
Contohnya kekerasan di lembaga pendidikan. Sebagaimana akhir-akhir ini korban kejahatan dan kekerasan muncul dari lembaga pendidikan, salah satunya dari pengajar dan murid.
Pada bab yang berbeda, dalam buku ini juga dijelaskan terkait perlindungan hukum terhadap korban kejahatan dalam perspektif hukum nasional.
Bahwa menurut penulis, norma Hukum Acara Pidana masih berorientasi pada hak-hak tersangka dan terdakwa dalam penyelesaian perkata pidana.
Anggapan ini didukung dengan pendapat sarjana hukum Andi Hamzah “dalam bahasan hukum acara pidana khususnya yang berkaitan dengan hak asasi manusia, ada kecenderungan untuk mengupas hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak tersangka tanpa memperhatikan pula hak-hak para korban”.
Penulis melanjutkan, bahwa meski pelaku dihukum, masih saja ada putusan hakim yang mengabaikan dampak fisik, psikis dan trauma yang dialami korban kejahatan.
Selain itu kompensasi dan ganti kerugian serta pemulihan dalam sistem peradilan pidana terpadu menurut penulis dalam buku ini belum meksimal.
Baca juga: Transnasionalisme : Peran Aktor Non-Negara dalam Hubungan Internasional
Kelebihan dan Kekurangan Buku
Buku ini memiliki bahasan yang lengkap dari berbagai macam sudut pandang dan tidak berdiri diatas pemahaman penulis sendiri tapi didasari pendapat ahli dan sarjana hukum baik dalam hingga luar negeri.
Buku ini juga tidak berfokus pada peraturan perundang-undangan dan aspek hukum formal. Kekurangannya buku ini mungkin akan sulit dipahami bagi mereka yang tidak terjun dalam dunia hukum, kriminologi dan viktimologi sebagai ilmu, sebab buku ini lebih melihat kepada praktik.