PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia

Hukum Puasa bagi Ibu Hamil atau Menyusui di Bulan Ramadhan

Hukum Puasa bagi Ibu Hamil atau Menyusui di Bulan Ramadhan

Puasa di bulan Ramadhan merupakan salah satu rukun islam yang wajib dijalankan oleh seluruh umat Muslim. Para Ulama Fiqh berpendapat bahwa puasa Ramadhan adalah fardhu dan wajib dilaksanakan bagi setiap muslim yang telah baligh, berakal sehat, suci (tidak datang haid atau nifas), bermukim (tidak dalam perjalanan), dan sanggup untuk mengerjakannya. Hal ini sejatinya telah tertuang dalam Firman Allah SWT dalam Surat Al-Baqarah ayat 183, yang berbunyi:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (Q.S Al-Baqarah: 183)

Namun, bagaimanakah hukum puasa bagi ibu hamil atau menyusui? Apakah dia tetap menjalankan ibadah puasa?

Baca juga: Hukum Perdata Menurut Para Ahli

Untuk menjawab pertanyaan di atas, mari kita renungi firman Allah SWT dalam Surat Al-Baqarah ayat 184, yang berbunyi:

اَيَّامًا مَّعْدُوْدٰتٍۗ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗ وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهٗ ۗ وَاَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

“(Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yan berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, yaitu: memberi makan seorang msikin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Q.S Al-Baqarah: 184)

Dari ayat di atas, Allah SWT memberikan peluang bagi orang-orang yang tidak mampu atau dalam kondisi sukar berpuasa untuk cukup dengan membayar fidyah. Dan sebagaimana hadist Nabi Muhammad SAW, bahwa ibu hamil atau menyusui mendapatkan keringanan dalam puasanya.

Baca juga: Unsur-Unsur Hukum

Keringanan (rukhshah) bagi ibu hamil atau yang sedang menyusui sejatinya telah ditegaskan dalam sabda Rasulullah SAW, yang artinya:

“Sesungguhnya Allah meringankan setengah shalat untuk musafir dan meringankan puasa bagi musafir, wanita hamil, dan menyusui.” (HR. An-Nasai no. 2275, Ibnu Majah no. 1667, dan Ahmad 4:347)

Hukum Puasa bagi Ibu Hamil atau Menyusui di Bulan Ramadhan Menurut Empat (4) Mazhab

Namun, keringanan (rukhshah) untuk tidak berpuasa terhadap ibu hamil atau yang sedang menyusui, terdapat beberapa perbedaan yang menjadi perdebatan di kalangan ulama terkait kewajiban yang harus dilakukan setelahnya, yakni apakah ibu hamil atau menyusui berkewajiban mengqadha’ puasanya saja atau cukup dengan membayar fidyah, ataukah diwajibkan terhadap keduanya, yakni membayar fidyah dan mengqadah’ puasanya. Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat para ulama, yaitu:

  1. Mahzab Hanafi berpandangan bahwa ibu hamil atau menyusui diperbolehkan untuk tidak berpuasa jika dikhawatirkan menimbulkan bahaya ketika menjalani ibadah puasa baik bagi dirinya dan anaknya, maka wajib baginya untuk mengqadha’ puasanya tanpa harus membayar fidyah.
  2. Mahzab Imam Syafi’i berpandangan bahwa ibu hamil ataupun menyusui diperbolehkan untuk tidak berpuasa saat Ramadhan jika ia khawatir ketika menjalankan ibadah puasa akan menimbulkan bahaya baginya dan anaknya, dengan syarat wajib baginya untuk mengqadha’ puasanya. Namun, jika ibu menyusui atau hamil khawatir akan kondisi anaknya saja, maka wajib baginya untuk mengqadha’ puasanya disertai dengan membayar fidyah.
  3. Mazhab Hambali berpendapat bahwa diperbolehkan bagi ibu hamil atau menyusui untuk tidak berpuasa apabila dikhawatirkan akan menimbulkan bahaya jika ia menjalankan puasa, baik baginya maupun anaknya, atau pada dirinya sendiri. Dalam kondisi ini, maka diwajibkan baginya untuk mengqadha’ puasanya tanpa membayar fidyah. Sedang, apabila ia khawatir akan anaknya saja, maka ia harus mengqadha’ puasanya disertai dengan membayar fidyah.
  4. Sementara, menurut Mahzab Maliki, bahwa ibu hamil atau menyusui diperbolehkan untuk tidak berpuasa dengan syarat wajib baginya untu mengqadha’ puasanya di kemudian hari. Menurut mazhab ini, ibu hamil tidak diwajibkan untuk membayar fidyah, sementara bagi ibu yang menyusui wajib untuk membayar fidyah.

Baca juga: Istilah Rechtstaat dan Machtstaat: Apakah Perbedaannya?

Namun, terdapat juga pendapat dari Imam Abu Hanifah, ibu hamil atau yang sedang menyusui, apabila ia mengkhawatirkan dirinya atau anaknya maka boleh baginya untuk tidak berpuasa, dan apabila ia tidak berpuasa maka harus membayar qadha’, tidak perlu untuk membayar fidyah, karena hukumnya bagi hal ini yaitu merupakan seperti orang yang sakit.

Kesimpulan

Terkait perbedaan pendapat para ulama diatas, maka sangatlah relatif untuk memilih karena selain melihat corak sosio-kultural masyarakat di suatu tempat dalam bermazhab, juga sangat dipengaruhi oleh keyakinan seseorang dalam menjalankan ibadahnya.

Namun, dalam hal ini yang lebih disepakati oleh kebanyakan ulama, yaitu diwajibkan untuk menunaikan fidyah dan tetap mengqadha’ puasanya sesuai jumlah hari puasa yang ia tinggalkan. Dengan demikian, pilihlah pendapat yang terbaik dalam permasalahan ini agar ibadah yang dikerjakan dapat berjalan sempurna dan dapat diterima oleh Allah SWT.

Maka kesimpulan dari penjelasan diatas, yaitu diperbolehkan untuk tidak berpuasa bagi ibu hamil atau menyusui apabila ia tidak kuat menjalankan puasa, fisiknya lemah dan dikhawatirkan membahayakan dirinya dan anaknya.

Dengan syarat dapat membayar fidyah dan mengqodho’ puasanya di kemudian hari. Sedang, apabila ia mampu berpuasa, tidak berpengaruh terhadap janinnya, dan kuat fisiknya maka di wajibkan baginya untuk berpuasa.

Sumber Referensi

Muhammad Bin Abdurrhaman Ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Mazhab, Terjemahan, Abdullah Zaki Alkaf, (Bandung: Hasyimi Press, 2010), hlm.154.

Ririn Fauziyah, “Ketentuan Puasa Bagi Wanita Hamil dan Menyusui”, Jurnal Hukum Islam Nusantara, Vol. 4 No. 1 (2021), Januari – Juni 2021, 86-87.

Tri Suharyati, “Hukum Puasa Ramadhan bagi Wanita Hamil dan Menyusui”, news.detik.com, diakses pada 05 Januari 2023.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *