Islam dan Politik di Indonesia
Islam merupakan sebuah sistem kepercayaan di mana agama berkaitan erat dengan perpolitikan. Islam memberikan pandangan terhadap individu maupun masyarakat, termasuk dalam bidang politik.
Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa Islam dan politik merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan karena mempunyai hubungan yang saling berkaitan satu sama lain secara fungsional yaitu Islam berfungsi bagi politik dan begitu pun sebaliknya politik juga berfungsi bagi Islam.
Perdebatan ilmiah antara Islam dan politik atau agama dan negara merupakan perdebatan yang tidak pernah alot untuk diperdebatkan karena kedua hal tersebut merupakan topik yang menarik untuk dibahas terutama setelah pandangan politik sekularisme di dunia Islam termasuk negara Indonesia berkembang pesat.
Perdebatan ini kembali menemukan momentumnya sejak runtuhnya kekhalifahan Islam Ottoman 1924 dengan dihapuskannya sistem kekhalifahan Turki Usmani oleh Mustafa Kemal al-Tattur pada tanggal 3 Maret 1924 yang diikuti dengan pencabutan agama Islam sebagai agama resmi negara dan penghapusan syari’at sebagai sumber hukum tertinggi negara.
Latar belakang perdebatan mengenai Islam dan politik di Indonesia adalah isu yang sangat kontroversial dan memiliki banyak pandangan berbeda dari berbagai pihak.
Perdebatan ini menjadi penting untuk dikaji lebih dalam karena memiliki dampak besar terhadap perkembangan dan kesejahteraan masyarakat.
Adanya pandangan yang berbeda mengenai bagaimana Islam seharusnya berinteraksi dengan dunia politik memicu perdebatan yang berlangsung sejak lama dan masih berlangsung hingga saat ini.
Perdebatan tersebut tidak hanya terbatas pada masyarakat biasa, namun juga melibatkan pemimpin politik, pemimpin agama, dan tokoh masyarakat.
Hal ini dapat dilihat dalam berbagai peristiwa sejarah, seperti pergolakan politik dan perdebatan tentang sistem pemerintahan yang seharusnya diterapkan di Indonesia.
Menurut buku “Islam dan Politik di Indonesia: Sejarah dan Kontemporer” karya Zulkarnain Hamzah, perdebatan ini memiliki sejarah panjang dan sangat kompleks. Dalam buku tersebut, Hamzah menjelaskan bahwa perdebatan ini berasal dari perbedaan pandangan antara mereka yang berpendapat bahwa Islam harus berinteraksi dengan dunia politik dan mereka yang berpendapat bahwa agama dan politik harus dipisahkan.
Baca juga: Esensi Kepemimpinan Menurut Perspektif Islam
Sejarah Islam dan Politik di Indonesia
Pada masa kesultanan (abad ke-13-17) kultur politik Islam sudah mulai terbentuk serta digunakan. Kultur politik Islam tersebut dapat dilihat dari pemakaian simbol-simbol tradisi politik Islam, seperti pembuatan dokumen resmi negara yang menggunakan aksara melayu, pembuatan kalender resmi pemerintah yang menggunakan tahun Hijriyah, dan lain-lain. Sultan dalam periode ini berperan sebagai penguasa dan pelindung agama Islam.
Pada zaman penjajahan Belanda, simbol tradisi politik islam mulai kehilangan maknanya (abad ke-18) dan sultan kehilangan otoritasnya sebagai penguasa dan pelindung agama islam sehingga menyebabkan kekuatan politik islam berada ditangan pribadi atau kelompok Islamis di luar struktur keislaman.
Pada zaman penjajahan Jepang (1942-1945), islam dipandang sebagai alat untuk mencapai tujuan. Oleh sebab itu, jepang berusaha merangkul umat Islam dengan menjanjikan kemerdekaan pada bangsa Indonesia yang mayoritas beragama muslim.
Dalam sidang BPUPKI dan PPKI, kelompok islamis mulai memperjuangkan Islam sebagai sebuah ideologi namun hal itu tidak berhasil.
Setelah Indonesia merdeka, kelompok islamis kembali memperjuangkan Islam sebagai sebuah ideologi namun tetap tidak berhasil.
Sehingga, sebagian kelompok islamis menjadikan Islam sebagai ideologi negara. Hal tersebut dapat dilihat dengan didirikannya negara Islam Indonesia (Darul Islam).
Pada masa orde baru, mulanya Presiden Soeharto memandang Islam sebagai ideologi politik yang bisa mengancam keutuhan Pancasila dan UUD 1945.
Tetapi tahun 1990, Presiden Soeharto mengubah pandangannya dengan merangkul umat muslim untuk memperkuat posisinya dan untuk mengamankan Pancasila dan UUD 1945. Sehingga kelompok islamis tidak lagi memperjuangkan Islam sebagai ideologi.
Baca juga: Negara Hukum: Rechtstaat dan Rule of Law
Sejak masa pemerintahan Orde Baru, Indonesia telah mengalami perdebatan antar partai-partai politik yang berbasis agama.
Pada awalnya, pemerintah Orde Baru membatasi aktivitas partai politik, termasuk partai-partai yang berbasis agama. Namun, setelah Reformasi pada tahun 1998, partai-partai politik berbasis agama mulai muncul dan memainkan peran penting dalam pemilu.
Pada era reformasi, muncul gerakan-gerakan politik, seperti Laskar Jihad dan Front Pembela Islam (FPI), Komite Persiapan Pelaksanaan Syari’at Islam (KPPSI).
Selain gerakan-gerakan politik, lahir juga kelompok-kelompok yang mendambakan berdirinya negara khilafah, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Wahdah Islamiyah.
Partai-partai politik berbasis agama memainkan peran penting dalam pemilu karena memiliki basis massa yang kuat dan memiliki pandangan yang konsisten terhadap Islam dan politik.
Perdebatan Politik dan Islam di Indonesia
Pada hakikatnya terdapat polarisasi dalam pemikiran politik yang memandang Islam dan politik atau agama dan negara.
Polarisasi dalam pemikiran politik yang berkembang di Indonesia dibagi menjadi tiga, yaitu:
(1) pemikiran yang menghendaki agama terpisah dari sistem kenegaraan atau sekularisme;
(2) pemikiran bahwa agama dan negara bersifat komplementer; dan
(3) dan pemikiran yang bersifat integralistik.
Pandangan dari pemikiran politik sekular yang menghendaki pemisahan antara agama dan sistem kenegaraan dalam arti menolak pendasaran negara kepada Islam, atau paling tidak menolak determinasi Islam akan bentuk tertentu dari pada negara.
Pemikiran terhadap pemisahan agama dengan negara ini, menolak adanya kehadiran “negara agama”, juga kaitan hukum keagamaan.
Negara tidak mungkin dikuasai oleh agama pada umumnya, dan oleh sebab itu agama tidak mempengaruhi penyelenggaraan negara, dan tidak mungkin negara diagamakan. Pemikiran ini mencoba memisahkan antara urusan agama dan urusan negara.
Pemikiran bahwa agama dan negara bersifat komplementer diawali dengan konsepsi “negara Islam” oleh Soekarno yang menghendaki terjadinya pemisahan agama Islam dari negara.
Meskipun Soekarno berpendapat demikian, namun beliau tetap memberi peluang bagi umat Islam untuk berjuang dalam jalur politik.
meskipun Soekarno memisahkan Islam dari negara, namun pandangan ini tidak mendasar, karena sesungguhnya pandangan beliau bersifat “lunak”, seperti dapat dilihat dari pernyataannya bahwa “Ini bukan berarti penghapusan aturan-aturan Islam.
Karena peraturan itu bisa dimasukkan ke dalam Undang-Undang dan peraturan dari negara, asal sebagian besar dari wakil-wakil rakyat di dalam perwakilan itu terdiri dari wakil-wakil Islam.”
Baca juga: Generasi Milenial Sebagai Pemimpin Masa Depan Umat Islam
Pemikiran bahwa agama dan politik yang bersifat integralistik dapat dilihat dari tiga macam integratif yakni:
(1) Integrasi total dan idiologis,
(2) Integrasi dalam konsepsi negara Pancasila adalah negara Islam, dan
(3) Integrasi non-idiologis dan non-formal.
Integrasi total idiologi, merupakan integratif yang gagasannya sudah mengkristal di masa awal kemerdekaan, dengan rumusan konstitusi yang berkekuatan hukum, hal ini tertuang dalam dasar negara Pancasila pada tanggal 22 Juni 1945.
Kemudian, integrasi dalam konsep negara Pancasila sebagai negara yang Islami dapat diterima, dan oleh sebab itu pemerintah memiliki hak dalam mengelola zakat, karena zakat yang merupakan urusan keagamaan ditangani oleh negara.
Selanjutnya, integrasi non-idiologis dan non-formal, integrasi ini mirip dengan komplementer “nasionalisme Islam” Soekarno, dapat dilihat melalui sintesis ajaran Islam dan demokrasi yang dapat disimbolkan dengan pemikiran Muhammad Natsir yang menampilkan sintesis yang rasional-logis.
Dalam pengertian bahwa prinsip demokrasi adalah menghargai keadilan, persamaan, maka perpaduan Islam dan demokrasi dapat saja menghasilkan partai Islam yang demokratis, atau idiologi Islam yang terbuka dan toleran.
Kesimpulan
Perdebatan tentang hubungan antara Islam dan politik di Indonesia memiliki sejarah panjang dan kompleks. Sejak awal kemerdekaan, banyak tokoh dan kelompok Muslim memainkan peran penting dalam politik Indonesia.
Namun, ada beberapa pandangan yang berbeda mengenai bagaimana Islam seharusnya terlibat dalam politik.
Pada satu sisi, ada yang berpendapat bahwa Islam harus memainkan peran aktif dalam politik dan mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Mereka berpendapat bahwa ini merupakan cara untuk memastikan bahwa nilai-nilai Islam dan hukum syariah dipahami dan diterapkan dalam masyarakat.
Di sisi lain, ada yang berpendapat bahwa Islam harus terpisah dari politik dan bahwa politik harus ditinggalkan kepada arena sekuler.
Mereka berpendapat bahwa campur tangan agama dalam politik dapat menimbulkan konflik dan mengganggu integritas sistem politik.
Perdebatan ini memiliki implikasi penting bagi perkembangan politik dan kebijakan publik di Indonesia. Bagaimanapun, kebijakan publik yang diterapkan oleh pemerintah harus memperhatikan pandangan dan kepentingan berbagai kelompok dan agama dalam masyarakat.
Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan masyarakat untuk bekerja sama dan membangun kesepakatan yang inklusif dan berkeadilan bagi semua pihak.
Sumber Referens
Abduh Wahid. 2019. “Pergumulan Islam Dan Politik di Indonesia”. Jurnal Politik Profetik, Vol. 7/No. 1/2019.
Sumarkan. 2012. “Islam Dan Politik Kenegaraan Perspektif Muhammad Arkoun”. Jurnal Al-Daulah: Jurnal Hukum Dan Perundangan Islam, Vol. 2/No. 2/Oktober 2012
Usman. 2017. “Islam Dan Politik (Telaah atas Pemikiran Politik Kontemporer di Indonesia)”. Jurnal Al-Daulah, Vol. 6 / No. 1 / Juni 2017.
Zulkarnain Hamzah. 2017. “Islam dan Politik di Indonesia: Sejarah dan Kontemporer” Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.