Esensi Kepemimpinan
Kepemimpinan sebagai realitas sosial yang tidak dapat dihindarkan untuk mengatur hubungan antar individu yang tergabung dalam kesatuan masyarakat.
Setiap individu memiliki tujuan kolektif yang ingin diwujudkan bersama dalam masyarakat. Islam mendorong umatnya untuk mengatur kehidupan bersama dalam masyarakat.
Memotivasi munculnya kepemimpinan berdasarkan kesepakatan masyarakat, yakni dengan menunjuk seseorang yang dipercaya mampu memimpin dan memberikan petunjuk atas segala persoalan kehidupan.
Esensi Kepemimpinan Menurut Perspektif Islam
Esensi kepemimpinan menurut perspektif Islam, pada dasarnya setiap agama memiliki konsep dan doktrin kepemimpinan, paling tidak dengan mengadopsi pola perilaku para pelopor dan pemimpin agama sebagai kebiasaan yang dijadikan teladan atau ukuran-ukuran etika dalam kehidupan beragama sekaligus kehidupan sosial.
Diskursus kepemimpinan secara konseptual dalam Islam memunculkan berbagai istilah dan konteks yang berbeda-beda. Namun secara umum, paling tidak dapat diidentifikasi 3 konsep besar mengenai kepemimpinan yang paling sering ditemui dalam khazana keislaman.
Tiga Konsep Kepemimpinan Menurut Islam
Konsep pertama mengenai kepemimpinan Islam adalah khilafah. Secara harfiah, khilafah berarti penggantian atau suksesi, yang bermakna penggantian kepemimpinan pasca Nabi Muhammad Saw, bukan dalam hal kedudukannya sebagai Nabi, namun sebagai pemimpin umat.
Pemegang jabatan khilafah disebut khalifah. Kendati demikian, kata khalifah lebih populer diartikan sebagai kepala negara dalam Islam sepeninggal Nabi Muhammad Saw.
Baca juga: Pengertian Islam: Agama Allah Nomor Satu di Indonesia
Namun, jika merujuk kepada konteks kebahasaan aslinya, maka khalifah yang dimaksud dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 30 adalah wakil Allah di bumi.
Konotasi tersebut mempunyai makna yang berbeda, terlebih apabila khalifah diartikan sebagai pengganti Allah. Manusia sebagai wakil Allah dapat dipahami sebagai salah satu perangkat untuk pengelolaan bumi.
Hal ini berarti, Allah memberikan kepercayaan kepada manusia untuk menggunakan potensinya dalam menjaga dan memelihara bumi.
Kemudian, konsep kedua mengenai kepemimpinan Islam yaitu Imamah. Imamah adalah ism mashdar atau kata benda dari kata amama yang artinya “di depan”.
Sesuatu yang di depan disebut dengan “Imam”, yang sering dimaknai untuk menunjuk orang yang memimpin shalat jamaah. Arti harfiah dari kata tersebut adalah orang yang berdiri di depan untuk menjadi panutan orang-orang yang di belakangnya.
Dengan demikian, imam berarti orang yang memimpin orang lain. Sementara, imamah adalah lembaga kepemimpinan.
Adapun konsep yang terakhir adalah imarah. Imarah berasal dari kata “amr” yang artinya perintah, persoalan, urusan atau dapat pula dipahami sebagai kekuasaan.Amir adalah orang yang memerintah, orang yang menangani persoalan, orang yang mengurus atau penguasa.
Umara merupakan istilah untuk menyebut orang-orang yang bertindak sebagai pemimpin legal formal dalam suatu negara atau sekumpulan manusia.
Sedangkan imarah secara harfiah diartikan secagai lembaga yang berwenang memerintahkan sesuatu kepada orang lain. Kepala negara dalam Islam sering pula disebut sebagai “amirul mu’minin,” gelar yang mula-mula dipergunakan oleh Umar bin Khathab yang menggantikan Abu Bakar.
Berbeda dengan kedua konsep sebelumnya, konsep imarah justru lebih bernuansa sosial dan hampir tidak berhubungan dengan aspek doktrin Islam.
Baca juga: Negara Hukum: Rechtstaat dan Rule of Law
Sistem Pemerintahan Menurut Islam
Berdasarkan sejarah Islam terdapat bentuk dan sistem pemerintahan yang berbeda-beda. Di zaman Nabi Muhammad SAW yang menjadi kepala negara adalah Nabi sendiri, yang diangkat oleh Allah, tanpa menggunakan gelar khalifah, raja, sulthan atau lainnya.
Nabi Muhammad SAW meminta pendapat para sahabat dalam memutuskan perkara, namun hasil akhirnya diserahkan kepada Allah SWT. Sistem ini dapat disebut sebagai theo-demokrasi, yaitu demokrasi yang berdasarkan ketuhanan.
Selanjutnya di zaman Khulafarur Rasyidin selain menggunakan istilah Khalifah al-Rasul, seperti Abu Bakar, Usman dan Ali, juga menggunakan istilah Amirul Mukminin, sebagaimana yang digunakan oleh Umar Ibn Khattab, karena ia tidak mau menggunakan istilah khalifah khalifatur Rasul, yakni khalifah penggantinya khalifah Rasul.
Istilah ini dianggapnya kurang praktis. Sistem yang digunakan adalah aristokrat demokrasi, yakni demokrasi yang ditentukan oleh kelompok elit yang dikenal dengan istilah ahl halli wa al-aqdi, yang terdiri dari shabat senior, yaitu Abu Bakar, Umar, Usma, Ali, Thalhan, Zubair, dan Sa’ad bin Abi Waqas.
Seluruh khalifah al-Rasyidin terdiri dari kaum Muhajirin dan suku Quraisy. Ini menunjukkan bahwa pengaruh kesukuan masih cukup kuat.
Dalam pada itu di zaman Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah menggunakan nama khalifah, namun dalam prakteknya mengambil bentuk monarki atau kerajaan, karena seorang khalifah tidak diangkat berdasarkan pemilihan, melainkan didasarkan pada turun temurun.
Disamping itu kedua kekhalifahan tersebut masih berbasis ashabiyah, karena didasarkan pada keturunan, yakni keturunan bani Ummayah dan keturunan Abbasiyah dari Bani Hasyim.
Selain itu, mereka itu masih berbasis pada keturunan Quraisy, kecuali pada akhir masa bani Abbasiyah yang sudah didasarkan pada keturunan Persia.
Setelah kekhalifahan Abbasiyah hancur, nama kekhalifahan berubah menjadi kesulthanan atau dinasti seperti kesulthanan Turki Usmani, kesulthanan Syafawi, kesulthanan Mughul, yang isinya masih berbentuk kerajaan.
Namun sudah tidak lagi berbasis pada ashabiyah, melainkan sudah berpindah pada ideologi Sunni dan Syi’ah. Kesulthanan Usmani dan Mughal misalnya beraliran Sunni, sedangkan kesulthanan Syafawi beraliran Syi’ah.
Selanjutnya setelah perang dunia kedua, dan negara-negara Islam melepaskan diri dari penjajahan Eropa (Inggris, Perancis, Jerman, Belanda, Portugus, dll), dan penjajahan Barat (Amerika Serikat dan sekutunya), bentuk pemerintahan negara Islam sudah bervariasi.
Baca juga: Begini Kriteria Pemimpin Menurut Islam
Ada yang mengambil bentuk kerajaan seperti Saudi Arabia dan Maroko; Kesultanan seperti Bruneai Darus Salam; perpaduan kesultanan dan parlementer seperi Malaysia; negara Islam seperti Iran dan Pakistan; negara republik seperti Mesir; negara sekuler seperti Turki, dan bukan negara sekuler serta bukan negara agama, seperti Indonesia.
Berdasarkan fakta sejarah dapat dikemukakan beberapa catatan kepemimpinan dalam dunia Islam, yaitu:
- Tidak ada bentuk negara yang seragam yang digunakan oleh negara Islam.
- Tidak ada ada lagi negara Islam yang menggunakan sistem khilafah.
- Berbagai bentuk negara tersebut sesuai dengan pilihannya yang didasarkan pada keadaan situasi sosial, ekonomi, politik, budaya yang terdapat dalam negara.
- Bentuk negara bermacam-macam, namun prinsip-prinsip etika Islam yang harus ditegakan dalam negara tersebut tetap dipelihara, yaitu sikap adil, jujur, amanah, bertanggung jawab, berbuat baik kepada sesama, dan mensejahterakan masyarakatnya, serta melindungi hak-hak asasi manusia. Yaitu hak hidup, hak beragama, hak memperoleh pendidikan, hak memiliki harta, dan hak memiliki keturunan (Maqashid al-Syar’iyah).
Sumber Referensi
Komputer, Jurnal Ilmu, and Manajemen Jikem. “Konsep Kepemimpinan Dalam Persfektif Islam” 2, no. 2 (2022): 2441–2450.
Moshinsky, Marcos. Pola Komunikasi Dan Model Kepemimpinan Islam. Nucl. Phys. Vol. 13, 1959.
Nata, Abuddin. “Kepemimpinan Dalam Perspektif Islam.” UIN Jakarta (n.d.).
Respon (1)